Ingin menikmati liburan bernuansa lain? Retret bisa jadi pilihan. Jiwa bersih, raga pun terasa pulih. Tapi, tahan berapa lama?
[caption id="attachment_127601" align="aligncenter" width="527" caption="Ilustrasi: ANP"][/caption]
“Kamar tidur Anda tidak usah dikunci, Romo Kleptomania sedang cuti,” ujar pater Loek (65) seraya berkelakar. Tutur-katanya khas dialek Amsterdam. Ia adalah salah seorang dari 150 penghuni biara Fransiskan di kota Megen, propinsi Brabant Utara, Belanda. Pembawaannya riang dan cekatan – layaknya resepsionis hotel bintang lima.
Tak heran, biara di Megen itu setiap tahun dikunjungi tujuh ribu tamu. Penginap tak perlu religius atau fanatik, yang penting menghargai ritme penghuni biara itu. Aturan utama mereka adalah hidup bersahaja dan hening, kendati para biarawan itu kadang cukup gaduh sehabis makan siang. Barangkali, ordo lain lebih ketat menaati peraturan. Sedangkan pater-pater di Megen hanya betul-betul tenang sewaktu sarapan dan meditasi sesudahnya.
[caption id="attachment_127602" align="aligncenter" width="513" caption="Ilustrasi: ANP"][/caption]
Biara Fransiskan di Megen sudah berdiri sejak 1629. Penghuninya – 150 pater dan 15 ribu lainnya di seluruh dunia – adalah pengikut setia Santo Fransiskus dari Assisi (1181-1226). Semula, anak pedagang kain kaya ini ingin berkarir di dunia militer. Namun, Fransiskus ternyata kurang terampil di medan perang. Setelah mendapat pencerahan dan pengalaman mistik, ia memulai aliran baru ‘radikal’ agama Katholik.
Fransiskus sengaja memilih hidup menggelandang, ekstrem menghukum diri sendiri, mengorbankan diri demi sesama, dan mendirikan ordo baru Fransiskan bagi kaum pria. Pengikut Santa Klara, suster-suster Klaris, membentuk ordo khusus bagi biarawati. Ordo Klaris dianggap memiliki falsafah mirip dengan Fransiskan.
Bukan romantisme semata
Ordo Fransiskan bernaung di bawah Tahta Suci Roma, namun berstatus exempt. Kurang lebih dapat diartikan tidak berada di bawah wewenang keuskupan. Pater Loek sendiri tidak meributkan ‘masalah’ itu. Ia malah menyayangkan perkembangan gereja belakangan ini yang cenderung ortodoks. Ini pula yang menyebabkan biara di Megen selalu ramai pengunjung. Pater-pater Fransiskan lebih menekankan toleransi dan keterbukaan.
Sebetulnya, cukup mudah memahami daya tarik biara di Megen ini. Bangunan kolosal itu terletak strategis di ujung jalan seperti pemandangan cantik di kartu pos. Dari kejauhan, orang dapat melihat pohon-pohon rindang. Selain itu, biara ini memiliki kebun buah-buahan dan sayur-mayur. Di sudut jalan lain, biara Klaris berdiri menjulang. Suster-suster di biara itu membuat sendiri hosti untuk dibagikan ke gereja-gereja dan kapel-kapel kecil di sekitar Megen. Pendek kata, puitis dan romantis.
[caption id="attachment_127603" align="aligncenter" width="563" caption="Ilustrasi: ANP"][/caption]
“Manusia sudah penuh dengan segala macam, Sang Khalik tidak punya tempat lagi. Usahakan hening dan coba kosongkan pikiran. Itu lebih penting,” seru pater Loek. “Mungkin justru terdengar seperti ajaran Buddha,” lanjutnya sambil tersenyum. Setidaknya, ‘khotbah singkat’ pater Loek sejalan dengan tren mindfulness dan keseimbangan batin saat ini. Ia menolak ditulis nama keluarganya. Menurutnya, pengikut Fransiskan biasa memanggil satu sama lain dengan nama depan.
Sepuluh tamu lainnya yang kebetulan berada di biara ini akhir Januari lalu, berpendapat senada, “Kami mencari ketenangan batin di sini. Lega rasanya, sejenak menghindari rutinitas kantor dan rumah.” Seorang ibu paruh baya – setengah berbisik – menimpali, “Kidung-kidung itu buat saya hanya untuk mempermudah meditasi. Kadang saya tidak menyimak apa isinya. Saya pun bukan penganut Nasrani.”
Siap hidup selibat sepanjang hayat
Biarawan Fransiskan banyak berdoa. Empat kali sehari, ditambah dua doa untuk makan malam, dan pukul sepuluh malam sewaktu ‘hari dikembalikan ke pemiliknya atau Sang Pencipta’. Madah pujian pagi hari dimulai pukul setengah delapan dengan himne ‘Tuhan, buka mata hati saya!’. Doa malam berisi refleksi kesalahan yang dilakukan di siang hari, doa pagi justru menyemangati dan penuh harapan, sedangkan doa makan siang – biasanya dipimpin oleh seorang rahib bersuara merdu – membawa pesan seputar nafsu birahi dan ragawi.
[caption id="attachment_127604" align="alignright" width="347" caption="Ilustrasi: ANP"][/caption]
“Singkirkan semua benda dan hawa nafsu. Itu semua milik Sang Ilahi,” senandung pater Loek. Mengekang nafsu badaniah adalah prinsip krusial bagi pater maupun suster dan harus dipegang seumur hidup (!). ‘Panggilan’ untuk mengabdikan diri di jalan Tuhan pun bukan tanpa cobaan. Dulu, umur 20-an sudah dianggap terlambat untuk masuk biara. Sekarang, pemuda-pemuda antusias berusia 20 tahun dianggap terlalu dini menjadi rohaniwan. “Kami imbau untuk menikmati dulu kemudahan duniawi. Selain itu, untuk menghindari konflik dengan orang tua mereka,” terang pater Loek.
Broeder Wim (44) setuju dengan rekannya Loek dan menuturkan, “Saya pernah bekerja sebagai akuntan sebelum memutuskan menjadi biarawan di usia ke-30. Kalau Anda punya romantika percintaan, Anda pasti paham apa yang harus saya korbankan. Kebanyakan, pengikut kami yangterlalu muda malah menyesal belakangan.”
“Mengabdi sepenuhnya di jalan Tuhan dituntut rela melepaskan diri dari banyak hal,” jelas pater Rangel (35) sembari memetik tomat di kebun. Kendati demikian, raut wajah pater-pater itu tampak puas dan tak sedikit pun terbesit penyesalan. “Hidup di sini jauh dari sempurna, tapi saya merasa balans,” imbuh pater Wim. Ia mengutip Mazmur 119:2, “Berbahagialah orang yang mengikuti perintah-Nya, dan dengan segenap hati berusaha mengenal Tuhan.”
Credo in unum Deum, Patrem omnipoténtem, factórem cæli et terræ, visibílium ómnium et invisibílium…
Amsterdam, 8 Agustus 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H