Mohon tunggu...
Isa Alïmusa
Isa Alïmusa Mohon Tunggu... -

I walk like a cat on a hot tin roof. Cautiously. Some say it's easy, some say it's not. I think it's not. I do my best not to fall.\r\n\r\n"What is the victory of a cat on a hot tin roof? - I wish I knew... Just staying on it, I guess, as long as she can" \r\n(Tennessee Williams)\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Eat Pray Love… and Pay

7 Maret 2011   00:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:00 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bali punya ‘tambang emas’ baru. Dibekali cuplikan adegan di benak dan buku Liz Gilbert di tangan, wisatawan memadati lokasi film Eat Pray Love (EPL) di Ubud. “You will become rich!” Pak Ketut mengeluarkan secarik surat dari peti kayu. Selembar kertas itu selalu ia perlihatkan pada tamu-tamunya. Guratan pena tersebut adalah surat pribadi penulis Elizabeth (Liz) Gilbert. “Saya dengar, Anda sempat terbaring sakit dan kini telah pulih. Teriring salam dan doa saya selalu menyertai Anda. Setiap hari, saya memikirkan Anda. Terima kasih untuk pemahaman makna kasih sayang yang Anda ajarkan,” tulis Liz. Dengan seksama, Pak Ketut melipat surat itu dan memasukkan kembali ke kotak kayu di hadapannya. Di bawah peti itu, tumpukan uang menyembul. Biaya konsultasi dengan Pak Ketut – tak lebih dan tak kurang – Rp 250.000 per sesi.

Ketut Liyer adalah medium atau ‘orang pintar’. Ia pandai membaca garis tangan dan memberikan terapi pengobatan alternatif. Banyak yang bilang, ia cocok memerankan sosok ahli nujum di EPL. Sayang, ia jatuh sakit sebelum shooting EPL dimulai di Ubud. Pak Ketut ‘dipaksa’ tunduk oleh dunia medis modern. Tergeletak diinfus, ia melupakan racikan jamu, kembang setaman, dan ramuan serbuk kayu berkhasiat yang selalu menemani praktiknya. Ia pun merelakan penggantinya, Hadi Subiyanto, bersanding dengan aktris Julia Roberts di EPL. “Liss (Liz) menemukan tambatan hatinya dan sudah menikah. Sekarang, ia tenar dan rezekinya mengalir lancar. Ramalan saya terbukti manjur,” ujar Pak Ketut sumringah.

[caption id="attachment_94657" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi: IDMB"][/caption] Di kediamannya, tampak beberapa ‘pasien’ sabar menunggu. Sebagian duduk bersila di lantai dan terlihat gugup. Seorang wanita paruh baya menadahkan telapak tangan dan menutup matanya.Sembari bermeditasi, ia berusaha menangkap suasana magis tempat praktik Pak Ketut. Apa pun risikonya, ia siap dikonfrontasi dengan ‘kekuatan gaib’ dan wejangan Pak Ketut. Kekuatan itu amat dahsyat. Elizabeth Gilbert sendiri kagum dengan nasehat ‘dokter cinta’ Pak Ketut.

Pembaca Gilbert tak hanya menikmati roman EPL, mereka pun percaya dengan EPL. Mereka seakan menjadi salah satu karakter hidup di EPL dan – mengikuti jejak Gilbert – berupaya memahami arti cinta kasih, entah itu melalui ajaran Yesus atau Buddha. Jejak tersebut membawa mereka ke Ubud dan berlabuh di pekarangan rumah Ketut Liyer. EPL, tiga aksara ‘sakti’ itu, seolah-olah menghipnotis Ubud. Lafalkan tiga huruf itu, hampir semua orang Ubud bakal mengangguk paham.

“Betul, saya ke sini karena EPL,” ungkap Nede, turis kelahiran Iran yang sudah lama menetap di California. “EPL begitu menyentuh. Saya sudah menginjakkan kaki di Italia dan sekarang giliran Bali. Saya hampir sepuluh hari di sini,” lanjutnya berbinar-binar. Mengekor Elizabeth Gilbert – dimainkan oleh Julia Roberts – Nede mencoba menyelami ‘roh’ Pulau Dewata itu. “Bali mereguk saya. Entah mengapa, saya ingin terus ada di sini. Saya tak mungkin meninggalkan pulau ini. Barangkali, pengaruh otobiografi itu. Seusai membaca EPL, saya merasa simpati dan begitu akrab dengan penulisnya,” tambah Nede berfalsafah.

Pak Ketut dan Ubud mafhum apa yang dicari pengunjungnya – kebanyakan vegetarian, beralas kaki sandal, tidak buta literatur, gemar seni, dan menjinjing tikar yoga mungil. Hari-hari mereka dimulai dengan senam di The Yoga Barn, dilanjutkan dengan herbal tea di Bali Buddha. Rombongan ‘earth conscious people’itu juga mengunjungi tempat-tempat yang tercantum di buku atau film EPL. Apa sebenarnya yang mereka cari? Apa yang terlintas di pikiran Liz ketika mengayuh sepeda ditemani hamparan sawah? Hidup harmonis dan bahagia? Mensyukuri kebesaran Sang Khalik? Boleh jadi, Ubud menyimpan semua itu.

[caption id="attachment_94653" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi: Louis Würth"]

1299455359556897425
1299455359556897425
[/caption]

Bali Buddha menawarkan psychic readings dan cenayang kartu tarot Sylvius. Tak mau kalah, Jelila – Bali’s Top National Healer – mengiklankan retret EPL tiga hari dengan jaminan ‘kenikmatan duniawi dan pengalaman surgawi’. Puluhan selebaran gratis dan brosur ditempel di dinding penginapan mengiming-imingi pengunjung dengan kegiatan supranatural dan penemuan jati diri yang (pernah) hilang. Bagi turis awam, mungkin penawaran berikut terkesan nyeleneh: feedback loops, seven spheres dance, rebirthing, Tibetan sound therapy, angelic healing, divine transcendence, biodanza, dan masih banyak istilah ‘ajaib’ lainnya.

Tak semua program spiritual itu dibahas EPL, kendati pelayanan khusus tersebut membidik konsumen yang sama. Mudah ditebak, tempat-tempat yang dijabarkan EPL meroket popularitasnya. Orang Ubud pasti tahu di mana Yoga Barn (belum lama ini direnovasi dan diperbesar), Café Wayan atau Three Monkeys Restaurant. Ironisnya, fenomena itu tak ada hubungannya dengan Bali. Para pelancong itu biasanya haus spiritualisme, mendambakan soulmate, punya fanatisme agak berlebihan, korban cerai, dan ada di ambang menopause.

Pengunjung di ruang tunggu Pak Ketut mayoritas berusia 40+, pernah cerai atau sedang mencari pasangan, dan berasal dari Amerika. Pak Ketut gesit melayani ‘pasien’nya yang duduk berjejer di ruang praktiknya. Ia berbincang singkat dan membaca garis tangan tamu-tamunya secara kolektif. Setelah itu, satu-persatu mereka ditraktir dengan pujian setinggi langit. “Mata Anda memancarkan sinar terpelajar. Veeeery smart. Bibir Anda sweeeet. Anda cantik, sudah menikah?” cecar Pak Ketut. “Tiga kali cerai!” jawab si pasien. “Anaknya ada dua?” sergah Pak Ketut. “Tiga!” potong sang pasien. “Oya, garis tipis ini terlewat oleh saya,” seloroh Pak Ketut lirih.

Sepanjang hari, kata-kata bombastis terngiang di pelataran rumah Pak Ketut: You’re very handsome. So sweeeet. Veeeery smart. Married? You’ll become rich… Ia tak ambil pusing dengan orientasi seksual tamu lelaki di hadapannya. Projit, gayketurunan India yang bermukim di New York, diramal akan punya dua momongan dalam waktu dekat. Tak jadi soal. “He is Ketut from the book!timpal Projit. Boleh jadi, rekan-rekan Projit dan penggemar EPL bakal iri mendengar pengalamannya dan sudah siap melontarkan pertanyaan: “Sungguh? Bagaimana rasanya? Apa healer itu betul-betul arif?”

[caption id="attachment_94654" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi: Louis Würth"]

12994553801951518978
12994553801951518978
[/caption]

EPL tidak kenal kompromi – digandrungi atau dibenci. Baik buku, maupun adaptasi layar lebarnya. Tak ada jalan tengah. Layaknya bunglon, Ubud jeli pula beradaptasi. Selama ada permintaan, rumah makan tak keberatan menyajikan hidangan bebas daging, kedai minum disulap jadi lounge, galeri seni menjamur, dan orang sah-sah saja mengaku pemusik, pelukis, atau mistikus dadakan. Pemeluk Hindu pun tak dilarang menjual patung dan pernak-pernik Buddha. Petani juga tak sungkan berpose bersama turis dengan imbalan Rp 5.000. Yang penting, roda ekonomi terus berputar. Ubud adalah fatamorgana EPL. So simple is that!

Tak perlu risau… Ubud ‘lainnya’ masih menunggu untuk dinikmati. Gemerisik bulir-bulir padi yang siap dipanen atau pengangon yang sedang menuntun kawanan bebeknya di pinggir ladang terasa seperti musik dan lukisan alami. Asli. Jauh dari sentuhan komersial dan basa-basi spiritual. Tanpa pretensi dan bukan ilusi. Mengutip Liz Gilbert, rasanya ingin berdiam di sini selamanya. Tak mungkin meninggalkan khayangan ini. Om swastiastu…

Sumber: Harian de Volkskrant “Magische goudmijn” (08-01-2011)

12991788471689539536
12991788471689539536

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun