Akhir-akhir ini banyak kita jumpai kaum cendekiawan yang sikapnya sangat tidak mencerminkan filosofi tanaman padi yaitu “semakin berisi,semakin merunduk”. Banyak orang yang membanggakan diri ketika ilmunya dirasa tinggi. Terkadang ada orang yang pintar malah ilmunya dislah gunakan untuk membodohi orang yang notabenenya kurang pintar. Buktinya, banyak kasus penipuan yang kerap sekali terjadi ditengah-tengah masyarakat. Entah apapun dan bagaimanapun bentuknya, namun dengan adanya kasus tersebut sangat berbalik negatif dengan sifat dan karakter bangsa kita yang terkenal dengan sifat sopan santun serta kejujurannya yang tinggi.
Filosofi tanaman padi yang semakin berisi, semakin merunduk sekarang juga jarang dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam bidang pendidikan. Sekarang yang laris manis dalam masyarakat adalah kesombongan dan merasa dirinya bisa walaupun sebenarnya tidak bisa. Orang yang memiliki ilmu tinggi merasa berkuasa dan juga dengan mudahnya meremehkan orang yang memiliki ilmu lebih rendah daripada dirinya. Hal tersebut yang memicu adanya kesenjangan dalam kehidupan bermasyarakat. Karakter budaya indonesia yang telah mendarah daging dikubur dalam-dalam dengan tumpukan kesombongan yang menjadi gaya hidup baru bagi kalangan masyarakat sekarang.
Padahal kalangan cendekiawan banyak diandalkan untuk memperbaiki serta membangun bangsa yang hampir terpuruk ini. Banyak kasus yang mencerminkan adanya sikap egois, diantaranya yang masih hangat dan masih mengiyang ditelinga kita adalah mahalnya harga daging sapi. Mahahalnya daging terjadi karena adanya oknum yang curang dalam mendistribusikan daging ke daerah-daerah, sehingga ada beberapa daerah yang mengalami kelangkaan yang akhirnya dari kelangkaan tersebut muncullah mahalnya harga daging yang tentunya merugikan banyak pihak. Setelah ditelusuri ternyata yang melakukan kecurangan tersebut adalah kaum yang terpelajar dan memiliki ilmu yang tinggi. Sungguh tak mengherankan memang, karena sekarang ini seseatu hanya dipandang dari segi materi saja tanpa memikirkan baik buruk yang dirasakan masyarakat.
Dalam konteks agama misalnya, banyak kita jumpai kasus saling mengkafirkan, membidahkan antar aliran satu sama lain, saling menjelek-jelekkan dan menganggap bahwa alirannya yang paing baik. Sikap tersebut muncul karena adanya rasa primordialisme dan etnosentrisme yang berlebihan dalam masyarakat. Itu jelas menjadi bukti kurang adnya rasa solidaritas dan toleransi dalam kehidupan yang sangat plural ini.
Selain itu, dalam dunia pendidikan yang hampir terjadi di negeri ini adalah tidak adanya rasa solidaritas antar mahasiswa yang bisa dengan mahasiswa yang belum bisa. Malah kadang-kadang kaum pintar mengejek dan meremehkan kaum yang kurang pintar. Sebenarnya, kata-kata Ki Hajar Dewantoro yang sering kita jumpai disekolah-sekolah yang berbunyi “ing ngarso sun tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” jika bisa dipraktikkan dalam dunia pendidikan dapat menggilas kesombongan dan keangkuhan yang kini laris manis diburu masyarakat.
Memang sangat sulit untuk menumbuhkan sikap semakin berisi, semakin merunduk dalam masyarakat, karena sudah kronis menginfeksi mindset masyarakat modern. Dan dibutuhkan kesadaran dalam diri masing-masing individu untuk menanamkan sikap positif yang sudah mulai layu tersebut. Jika semakin hari semakin bertambah tak hayal bangsa ini akan mengalami kehancuran. Bangsa ini memang haus akan kaum cendekiawan yang memiliki jiwa bangsawan. Maka dari itu ditengah kehausan bangsa dalam menciptakan generasi yang berjiwa nasionalis, perlu adanya kesadaran dalam diri pribadi masing-masing untuk menghidupkan rasa solidaritas, toleransi dan juga rasa nasionalisme terhadap bangsa dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H