Mohon tunggu...
Alim El Choy
Alim El Choy Mohon Tunggu... -

Tak semua yang ku tulis itu aku, tak semua yang kau baca itu kau

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tuhan dalam ‘isim’

14 Juni 2013   23:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:00 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tuhan dalam ‘isim’

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk merendahkan keluhuran Tuhan. Tidak sama sekali. Tulisan ini juga tak bertujuan untuk menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Tidak sama sekali. Sebab, bagaimanapun juga Tuhan sama sekali tak sama dengan sekedar sebuah nama atau petanda. Tulisan atau kata “Allah”, “Ar-rahman”, maupun “Ar-rahim” yang merujuk pada makna Tuhan, bukanlah merupakan dzat Tuhan itu sendiri. Kata-kata itu tak lebih dari sebuah simbol atau lambang belaka.

Tulisan singkat ini sekedar otak-atik saja, mencoba melihat nahwu dari sisi teologis.

Unsur pokok dalam sebuah kalam, tentu tak pernah lepas dengan apa yang disebut isim, fi’il dan huruf. Dari ketiga komponen krusial tersebut, yang paling istimewa tentu saja adalah “isim”. Tak heran bila di dalam banyak literatur penyebutan sekaligus pemaparan isim mendahului fi’il maupun huruf.

Ada beberapa alasan kenapa isim menempati posisi teratas dibanding fi’il maupun huruf:

Pertama: isim memiliki fungsi ganda, “ma yukhbaru bihi wa yukhbaru ‘anhu”, maksudnya ia bisa menjadi khabar (informasi) sekaligus ‘obyek’ yang diinformasikan. Berbeda dengan fi’il yang hanya mampu menjadi khabar, ia tak bisa dijadikan sebagai obyek yang diinformasikan, berbeda pula dengan huruf yang sama sekali tak memiliki dua fungsi di atas. Ia tak bisa jadi khabar maupun obyek yang diinformasikan. Karakteristik dan ciri khas isim yang berbeda dengan kalimah-kalimah lain inilah yang kemudian melambangkan sifat Tuhan “mukhalafatu lil hawadits”.

Kedua: isim itu kalimat merdeka, ia independen dan mandiri. Maksudnya, kalam akan tetap terbentuk meski tanpa disertai kalimah fi’il maupun huruf. Berbeda dengan fi’il maupun huruf yang masih selalu butuh kehadiran isim dalam membentuk kalam. Baik fi’il maupun huruf sama-sama membutuhkan dan bergantung pada eksistensi isim. Karakteristik independen yang dimiliki isim inilah yang membuat ia dijadikan lambang sifat Tuhan “Qiyaamuhu binafsihi”.

Ketiga: isim itu tak terikat waktu, sebagaimana definisi populernya bahwa isim adalah kalimah yang menunjukkan makna dengan sendirinya tanpa disertai dengan zaman (waktu). Berbeda dengan fi’il yang tak bisa dilepaskan dengan waktu, ia selalu terikat dengan masa depan, sekarang atau masa lampau. Berbeda pula dengan huruf, yang walaupun ia juga tak berkaitan dengan waktu, tetapi ia tak bisa memberikan makna secara mandiri, ia masih butuh eksistensi lain. Karakteristik isim yang tak terikat waktu ini melambangkan sifat Tuhan yang terbebas dari ruang dan waktu, sifat Qidam dan Baqa’nya Tuhan sama sekali tak berkaitan dengan ruang maupun waktu yang diciptakan-Nya sendiri.

Karena kelebihan-kelebihan inilah, wajar bila kemudian kalimat isim itu dinamai dengan “Isim” dari akar “sumuww”, yang berarti luhur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun