Mohon tunggu...
Alimah Fauzan
Alimah Fauzan Mohon Tunggu... social worker -

just love to share inspiration for better life

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ia Ibarat Kitab Hayat

28 November 2012   07:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:33 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13540782941796866590

Rama mengibaratkan dirinya sebagai kitab hayat (buku kehidupan), jika kita membacanya maka akan menemukan makna dan manfaatnya… Demikian penuturan Dewi Kanti (43 Tahun), salah seorang puteri dari Pangeran Djatikusuma yang akrab disapa Rama Djati, Tokoh Penghayut Cigugur Kuningan. Namun dari penuturannya, Dewi Kanti menegaskan bahwa ia tidak bermaksud agar Rama Djati menjadi sosok yang dikultuskan, melainkan sebagai motivasi bagi komunitas Paseban untuk banyak belajar dan bertanya. Sementara Rama Djati sendiri enggan menceritakan perihal peribadinya. Namun banyak pihak yang tak habis-habisnya berkisah tentang sosoknya. Termasuk sejumlah media, entah berkisah tentang sosoknya maupun menggali rasa ingin tahu mereka tentang pandangan Rama Djati tentang kehidupan. Rama Djati lebih banyak bercerita tentang Seren Taun dan Sunda Wiwitan. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana diskriminasi terhadap penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa maupun komunitas adat sampai detik ini masih terus berlangsung. Sejumlah peraturan yang dikeluarkan secara sistematis oleh pemerintah dan menjadi hukum positif telah mendiskriminasi para penganut aliran kepercayaan dan komunitas adat Indonesia. Jangankan untuk mendapatkan pengakuan atas tradisi adat dan spiritual yang diyakini sebagai agama, untuk mendapatkan dokumen sipil dengan pengakuan terhadap kepercayaan mereka, itu masih dapat dikatakan mustahil. Dalam konteks negara, bentuk diskriminasi itu bersumber dari sejumlah perundangan dan peraturan yang dinilai sangat merugikan para penganut kepercayaan dan komunitas adat di Indonesia. Karena semua itu, Pangeran Rama Djatikusumah, atau yang akrab disapa Rama Djati, harus mendekam di penjara selama beberapa waktu, begitu pun dampak pada ketiga anaknya. Mereka tidak bisa mendapatkan akte kelahiran, sedangkan puluhan anggota mereka harus berpindah agama dulu untuk bisa mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sementara itu, para penghayat yang kebetulan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak bisa melangsungkan sumpah jabatan untuk promosi karir kepegawaian maupun mendapatkan fasilitas yang seharusnya mereka dapatkan sebagai PNS, seperti tunjangan keluarga (isteri dan anak) dan lain sebagainya. Proses diskriminasi tidaklah bersifat alamiah. Diskriminasi bukan gempa bumi, tidak pula angin badai yang datang tiba-tiba. Diskriminasi lebih mirip dengan tindakan akibat sikap rasisme yang memandang budaya dan cara hidupnya terunggul, sementara pilihan hidup yang lain sebagai cacat dan rendah. Selanjutnya, ia dipertahankan dan berjalin-kelidan dengan kekuasaan. Ia direproduksi dan diproduksi terus menerus untuk mengukuhkan dominasi dan kepentingan. Dan salah satu alat reproduksinya adalah melalui kurikulum dan pendidikan sekolah, sebagaimana dialami sejumlah keluarga para penghayat di Cigugur termasuk anak-anak Rama Djati sendiri. Karena enggan menceritakan perihal pribadinya, maka di sini lebih banyak mengungkap pemaparannya tentang Seren Taun dan Sunda Wiwitan itu sendiri. Dan tidak heran mengapa Dewi Kanti menyebutnya sebagai “kitab hayat” seperti yang juga diungkapkan Rama Djati sendiri, sosok yang memberi motivasi untuk banyak belajar dan bertanya. Mengejar Kekayaan Batin, Bukan Materi Tentang Seren Taun, ia memaparkan bahwa inti dari tujuan diadakannya upacara Seren Taun adalah di samping sebagai bentuk syukur dan permohonan berkah serta limpahan kesejahteraan kepada Tuhan, juga sebagai sarana yang efektif untuk mewarisi tradisi luhur para leluhur yang dimiliki bangsa dan penggalian kearifan local. Budaya local yang dimaksudnya adalah yang bisa menemukan dan menumbuhkan jati diri dan perilaku manusia yang seharusnya. Baik sebagai makhluk ciptaan Tuhan maupun sebagai bangsa. “Karena dalam upacara ini yang dikejar adalah kekayaan batin bukan perolehan materi yang melimpah,” paparnya. Bulan Rayagung dipilih sebagai symbol dari perayaan terhadap keagungan Tuhan. Selanjutnya menjelaskan makna dari angka 22 yang diambil karena memiliki makna simbolik tertentu. Angka 22 sendiri adalah terbagi 2 pertama angka 20 memiliki makna sifat wujud makhluk hidup ke-20 sifat itu adalah getih, daging, bulu, kuku, rambut, kulit, urat, polo, bayah/paru, ati, kalilimpa/limpa, mamaras/maras, hamperu/empedu, tulang sumsum, lemak, lambung, usus, ginjal dan jantung. Sementera angka 2 bermakna keseimbangan karena segala sesuatu terdiri dari 2 unsur positif dan negatif, seperti adanya siang dan malam, laki-laki dan perempuan. Angka 22 kemudian digunakan sebagai jumlah berat padi yang akan ditumbuk yang hasilnya diserahkan kepada masyarakat setiap pelaksanaan Seren Taun, padi yang digunakan seberat 22 kwintal, 20 kwintal ditumbuk dan dikembalikan dan 2 kuintal lainnya sebagai bibit yang akan ditanam. Upacara ngajayah, pengolahan padi hasil panen masyarakat kemudian ditumbuk bersama-sama yang kemudian berasnya akan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Jumlah padi yang ditumbuk 20 kuintal, 2 kuintal yang dijadikan bibit dengan total 22 kuintal. Selama tahapan ini dilaksanakan diiringi dengan mantera-mantera mistis. Upacara ini merupakan upacara simbolik penuh makna. Inti dari upacara ini adalah mempertemukan dan mengawinkan benih jantan dan benih betina dan dari tumbuhan yang diyakini sebagai tahap bertemunya energi hidup dari sang Hyang Asri Pwah Aci. Energy Pwah Aci yang berupa energi kesuburan dan keselamatan turun kebumi dan kemudian meresap ke dalam apa yang dimakan. Pwah Aci merupakan zat Tuhan, sehingga apabila Pwah Aci turun ke bumi dan meresap kedalam bahan makanan maka setidaknya akan ada dua kesadaran yang akan diraih. Yaitu rasa syukur atas nikmat dan berlaku tidak sewenang-wenang terhadap alam karena dalam setiap bagian alam terdapat zat tuhan yang harus dihormati. Menitik Beratkan Pikiran, Naluri, dan Rasa Ajaran sunda wiwitan dikenal dengan ajaran Tritangtu. yakni Tritangtu di buana, Tritangtu di naraga, dan Tritangtu di nagara. Ajaran Tritangtu merupakan ajaran yang menitik beratkan makna apa yang ada dalam pikiran, naluri dan rasa. Paseban dipakai sebagai tempat berkumpul dan bersyukur dalam merayakan ketunggalan selaku umat Gusti Hyang Widi Rasa dengan meyakinkan kemanunggalan dalam mengolah kesempurnaan getaran dari 3 unsur yang disebut sir, rasa dan pikir dimana unsur lainnya, panca indera dapat menerima dan merasakan keagungan Gusti. Begitu pula dalam laku kehidupan benar-benar merupakan ketunggalan selaku manusia dan kemanunggalan antara cipta, rasa, dan karsa diwujudkan dalam tekad, ucap, serta lampah. Menyatakan diri manusia seutuhnya dalam memancarkan pamor kebudayaan bangsa dengan ketentuan hukum kodrati. Intinya Paseban Tri Panca Tunggal merupakan tempat penyatuan pikiran, perkataan dan perbuatan dari pihak manusia tanpa melihat latar belakang agama, suku, etnis, dan ras. Sebagai wujud mensyukuri yang diberikan Sang Pencipta. “Kita memang tidak sepengakuan tetapi kita sepengertian, menghargai perbedaan yang ada dan tidak menjadi hambatan untuk melakukan hal bersama-sama, ulah mikir naon nu dipikamenang, tapi mikir anu bisa dilakukeun (jangan berpikir apa yang didapat, tapi berpikir apa yang bisa dilakukan).” Dalam malam satu suro yang bertepatan pada tanggal 14 November 2012 tahun masehi, Rama Djati memberi wejangan kepada masyarakat Sunda wiwitan di ruangan Paseban agar selalu menjaga tatakrama, bersikap dan bertutur kata sopan dan santun kepada  orang lain. Sesepuh masyarakat adat Karuhun Urang, Rama Djatikusumah mengatakan, berkumpulnya masyarakat adat dari berbagai daerah diharapkan bisa menunjukkan keragaman masyarakat dan budaya di Indonesia. "Inilah gambaran Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia. Jangan hanya sekedar menjadi slogan. Dengan berkumpul seperti ini, tidak ada lagi orang Sunda, orang Jawa, atau orang Kalimantan. Kita semua disini putra Nusantara, bersatu dan berkata bahwa kita orang Indonesia," tutur pria berusia 76 tahun ini di sela-sela Seren Taun, Sabtu (20/12). Perbedaan, lanjut Rama Djati, bukan berarti setiap kelompok masyarakat adat mengkotak-kotakkan diri. "Dalam perbedaan itu sesungguhnya ada dasar kepercayaan yang sama. Meskipun cara menyebut dan menyembahnya berbeda. Generasi sekarang ini banyak yang sudah lupa cara cirinya sebagai manusia, makhluk Tuhan dan manusia dalam berbangsa," ujarnya. Keberadaan masyarakat, seharusnya dipandang sebagai modal untuk menguatkan kearifan lokal. Bersatunya beberapa kelompok masyarakat adat di Cigugur, mendapat perhatian luas dari masyarakat sekitar. Dalam Helaran yang digelar siang tadi, 22 delman yang membawa puluhan masyarakat yang mengenakan pakaian adatnya, diarak keliling Kuningan. Ratusan masyarakat terlihat antusias mengikuti rombongan yang bergerak dari Gedung Paseban-Kota Kuningan-Gedung Paseban. Lagu-lagu yang dilantunkan pun tak melulu lagu daerah, tapi juga didominasi dengan lagu wajib yang menyuarakan semangat persatuan. "Dari sini (Cigugur), kami berharap ada gema persatuan yang sampai ke seluruh penjuru Tanah Air. Bisa menggetarkan daya rasa dan daya pikir serta menimbulkan kedamaian," ungkap Rama Djati. Dari Cigugur, ia berharap kebhinekaan Indonesia bisa semakin menguat dalam ketunggalikaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun