Mohon tunggu...
Alimah Fauzan
Alimah Fauzan Mohon Tunggu... social worker -

just love to share inspiration for better life

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Apa Kabar Perda Diskriminatif?

2 Juli 2012   04:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:21 1316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, melihat proses pembentukan suatu kebijakan yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung melatarbelakangi kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif. Termasuk dalam kategori tidak berpartisipatif adalah proses penyususnan dan pembahasan suatu kebijakan, yang tidak melibatkan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif yang secara khusus menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada keterlibatan peremuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya.

Pentingnya Peningkatan Keterwakilan Perempuan

Di sisi lain, dalam dunia politik sendiri, perempuan adalah bagian dari warga negara yang selama ini mengalami diskriminasi. Termasuk jumlah perempuan yang duduk di DPR-RI hasil 10 kali Pemilihan Umum yang tidak pernah mencapai angka kritis 30% adalah buktinya. Padahal, minimnya keterwakilan perempuan di lembaga pengambil kebijakan secara lagsung akan menyebabkan suata perempuan menjadi tidak terwakili, sehingga pengalaman khas dan spesifik yang dialami perempuan tidak terangkat. Lebih jauh, masih berdasarkan rilis Komnas Perempuan pada Rabu (8/2/2012), fakta kekerasan terhadap perempuan akan kehilangan ruang untuk disuarakan dan diangkat sebagai bagian dari persoalan bangsa yang harus dicegah dan ditangani.

Berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-bangsa, jumlah minimum 30% (tiga puluh per seartus) merupakan suatu critical mass untuk memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Penetapan 30% ditujukan untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan politik. Dengan demikian, diharapkan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dapat menjadi salah satu ruang penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui kebijakan publik.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI), Ir. Hj. Andi Timo Pangerang. Menurutnya, maraknya kebijakan diskriminatif terutama di daerah-daerah tidak terlepas dari persoalan keterwakilan perempuan.
“Munculnya sebuah Perda tidak terlepas dari kondisi sosial-budaya dan politik di daerah tersebut, sementara perwakilan perempuan di daerah sendiri sangat minim, semakin di daerah, perwakilan perempuan semakin minim, terutama di Kabupaten. Di provinsi juga hanya sekitar 15% sampai 16 %, apalagi di Kabupaten makin rendah lagi, sehinga berdampak pada suara perempuan dan pada akhirnya suara perempuan sebagai minoritas dan proses pengesahan Perda-perda lebih didominasi suara laki-laki. Jadi walaubagaimana pun, kualitas dan kuantitas perwakilan perempuan di parlemen sama-sama pentingnya,” ungkap perempuan yang akrab disapa Bu Andi ini.

Bu Andi juga menambahkan, sampai saat ini KPP-RI terus bekerjasama dengan sejumlah pihak yang peduli terhadap persoalan perempuan, seperti Komnas Perempuan serta jaringan KPP-RI di kabupaten. Karena menghapus kekerasan terhadap perempuan melalui upaya mendorong keterlibatan perempuan dalam lembaga perwakilan hendaknya dibaca sebagai upaya bersama untuk mengevaluasi segala hal yang mendiskriminasi perempuan, mulai dari multi-burden (beban berganda), stereotyping (pelabelan negatif), hingga budaya yang cenderung menghalangi atau bahkan membatasi perempuan untuk beraktivitas di ruang publik dan politik seperti larangan perempuan menjadi pemimpin dan larangan perempuan keluar malam.

Selain itu pemunculan pendapat tertentu yang mencoba menegasikan kepemimpinan perempuan, perlu direspon melalui pengungkapan kekayaan penafsiran yang mencoba melihat kembali relasi perempuan dan laki-laki dalam konteks setara dan ramah pada kemanusiaan. Seperti larangan terhadap perempuan beraktivitas di malam hari dengan alasan untuk menghindarkan perempuan dari tindak kejahatan seharusnya direvisi oleh pemerintah daerah setempat, melalui penyediaan tenaga keamanan yang berpatroli dan berjaga pada malam hari agar perempuan tetap mendapatkan jaminan atas hak keamanan selama beraktivitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun