bagiku sepertinya sulit mencari istilah yang tepat untuk judul di atas. bagaimana agar tetap berbagi cerita yang tak sekadar berbagi. tapi bersama-sama membangun sudut pandang yang tetap memihak perempuan. maka tanpa berpikir agar bombastis dan memang tidak ada kepentingan agar bombastis, maka secara sederhana kuberi judul yang sangat biasa. selain itu, tulisan ini juga tidak untuk mewakili bagaimana gambaran perempuan Lombok seluruhnya, ini hanya sedikit yang baru kuketahui dari perempuan Lombok. ini juga tentang perempuan Lombok juga label-label yang dilemparkan pada mereka. yang jujur, aku masih tidak sepakat dengan itu dan mencari istilah yang tepat untuk menggantikannya. pertemuan pertamaku dengan mereka, perempuan Lombok, sangat singkat. tepatnya awal Oktober 2-5 Oktober 2011 lalu. itu pun hanya demi kepentingan salah satu workshop. namun sebelumnya aku telah mendengar cerita salah seorang kawan aseli Lombok dan juga salah satu peneliti budaya Lombok. selebihnya hanya membaca dari media. dan awal Oktober itu adalah pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di Lombok dan menatap secara langsung perempuan-perempuan Lombok. sampai pada awal Januari lalu menemukan sebuah artikel tentang Lombok Pulau Janda yang diangkat di website Radio Nederland Wereldomroep Indonesia (NWI). pemilihan judul artikel yang cukup singkat itu membuatku risih, meskipun ampuh untuk menarik pembaca dan menggelitik pemerintah agar lebih memperhatikan nasib mereka. menulis apapun, akan memiliki kesan tersendiri pada pembacanya. maka menulis sesuatu juga harus ada perspektif tersendiri. bagiku pribadi, menulis tentang persoalan perempuan haruslah memiliki keberpihakan terhadap perempuannya. keberpihakan ini yang kemudian berpengaruh pada pemilihan judul dan kata-katanya. memang di sini kita harus berhati-hati, tidak semata bombastis. karena apa yang akan kita tulis berdampak pada sudut pandang dan imajinasi yang dibangun pembaca terhadap objek penulisan. tentang label "janda" sebelum berlanjut pada artikel (NWI), mari sejenak berbagi kembali pada label "janda". janda adalah sebuah predikat bagi seorang perempuan (isteri) yang tak lagi bersuami, baik ditinggal cerai atau ditinggal mati. secara sosial predikat janda cerai kerap menimbulkan 'hambatan psikologis' dalam berinteraksi. bisa jadi hambatan ini muncul lantaran cerai berkonotasi dengan 'huru-hara'. konotasi ini semakin menghujam karena tak menjelaskan siapa yang membuat ulah dan akhirnya siapa yang bersalah. masalah ini hanya konsumsi ruang privat bukan publik. namun, tak urung menjadi pembicaraan publik. lain lagi dengan isteri yang ditinggal mati sang suami. predikat ini dianggap masih mengundang rasa simpatik. kendati demikian, tetap tak mampu mengubah omongan miring yang membuat hati miris. tapi mengapa masyarakat tidak merasa perlu terjun dalam 'kesibukan' saat melihat fenomena para duda? padahal realita keduanya sama. sama-sama ditinggalkan cerai atau ditinggal mati pasangannya. realitasnya, janda lebih 'survive' menghadapi kehidupan selanjutnya dibanding duda, meski harus berperan ganda sebagai ibu dan ayah. status janda akhirnya menjadi "sesuatu yang berbeda". 'perbedaan' itu memang telah lama dicitrakan oleh masyarakat sekaligus 'disetujui' pula oleh masyarakat pada umumnya. meski semestinya, sebagai fenomena kemanusiaan, status janda tidak harus disikapi dengan berlebihan. janda. sebuah label yang membuat banyak perempuan takut menyandang predikat itu. tak sedikit yang menganggap perempuan berstatus janda, terutama karena cerai, bukan sebagai 'warga' masyarakat biasa. seakan ada catatan merah. ada lingkaran penanda. 'gelar' baru pulau Lombok di ruang kepala kita, selain Lombok dikenal sebagai pulau seribu masjid, bayangan lainnya adalah keindahan alamnya, juga pantainya yang indah. namun selain itu, Lombok juga dikenal dengan jumlah penduduk perempuannya yang lebih banyak dari kaum lelakinya. mereka yang pernah ke Lombok, setidaknya akan berkisah bahwa selama di Lombok mereka lebih banyak bertemu dengan perempuan. termasuk pengalamanku ketika pertama kali menginjak Lombok dan mencicipi Bandara barunya. di depan Bandara dipenuhi warga sekitar yang juga tengah asyik menikmati Bandara baru mereka. sebagaian besar mereka adalah perempuan dan anaknya. selain itu, mereka menjadi pedagang di pasar tradisional, pelayan di hotel atau bahkan perempuan yang gigih menawarkan cindera mata khas Lombok di tempat-tempat wisata. senyum di bibir kering mereka tetap tulus, meski di tengah terik dan juga keringnya Lombok sekitar Bandara. sepertinya mereka baik-baik saja, tidak ada yang faham bahwa sebelum mereka berangkat bekerja untuk menjajakan barang dan jasa mereka, paginya mereka mendapat kekerasan dari suami -suami mereka baik dalam bentuk fisik maupun batin. setidaknya demikian penggambaran mereka yang pernah menyaksikan secara langsung kehidupan perempuan Lombok. [caption id="attachment_2852" align="aligncenter" width="450" caption="perempuan-perempuan perkasa Lombok (1) dari DetikFoto"][/caption] kekerasan terhadap perempuan di pulau nan indah ini sepertinya sudah menjadi mainstream yang berlaku luas pada masyarakat Lombok pada umumnya. bahkan fenomena kawin cerai menjadi hal yang biasa dan seakan tidak ada masalah dan sangat biasa. termasuk cerita Fadlurrahman, Administrative Reform Team @Center for Good Governance Jogja. dia memiliki catatan tersendiri tentang ini, setidaknya, paparnya, ia menjadi saksi bagaimana pola ini membentuk circle yang melekat erat dalam budaya masayarakat Lombok pada umumnya. sementara dalam artikel NWI tersebut, Pulau Lombok, NTB, mendapat gelar baru karena kerap disebut sebagai pulau dengan ribuan janda. meski lagi-lagi aku tidak sepakat dengan gelar tersebut, karena akan berdampak pada bagaimana perempuan Lombok dilihat dan diperlakukan dunia. bahkan meskipun pemerintah telah mencoba menghapus gelar tersebut, akan sulit hilang di kepala kita karena telah melekat kuat. perempuan yang ditinggalkan suaminya itu, pada umumnya masih berusia belia, belasan tahun. para suami dengan mudahnya menceraikan isteri, dan perempuan-perempuan muda itu tak berdaya. lalu salah satu reporter KBR68H Rony Rahmatha menemui para perempuan yang disebut "janda muda" tersebut di sejumlah daerah di Lombok Barat. sang reporter pun mulai me-list penyebab mereka menjadi janda. mulai dari tidak disetujui orang tua (Ortu) sampai pada bahwa semua itu merupakan sebuah pembenaran. [caption id="attachment_2853" align="aligncenter" width="450" caption="perempuan-perempuan perkasa Lombok (2) dari DetikFoto"]
[/caption] tidak disetujui Ortu. di sini reporter mewawancarai salah satu perempuan Lombok berusia mendekati dua puluh tahun dan telah menjadi janda. namanya Fatmini, di usianya yang tergolong muda tersebut, ia sudah harus sibuk dengan keseharian membesarkan anaknya yang berusia satu tahun. menurut si reporter, seharusnya ia tak perlu terlalu sibuk kalau masih ada suaminya. meski saya menangkapnya bukan berarti perempuan tidak perlu terlalu sibuk, tapi perempuan muda itu kini memiliki beban ganda. sebelum Fathimi menikan dengan suaminya, ia telah melalui masa pacaran yang dijalani selama dua tahun. pernikahan yang tak disetujui orang tua. pernikahan berakhir setelah suaminya menjadi TKI di Malaysia. tragisnya, perceraian hanya dilakukan melalui telpon genggam. kini Fatmini menyandarkan hidupnya bersama orang tua di Hambalan, Lombok Barat. ia malu menjadi beban ibunya dan bertekad mencari pekerjaan. "mau kita cari kerja, tapi bayi ini kan masih kecil. nggak ada yang jagain juga. malu juga kita, apalagi ibu kita sudah tua, bapak aku udah meninggal juga." [caption id="attachment_2854" align="aligncenter" width="450" caption="perempuan-perempuan perkasa Lombok (3) dari DetikFoto"]


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI