Mohon tunggu...
Ali Label
Ali Label Mohon Tunggu... wiraswasta -

Seorang freelance

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Namaku, Batam Indera Perkasa

4 November 2014   06:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:44 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku memotret diam-diam seorang gadis yang sedang berziarah di salah satu kuburan Camp Sinam. Dari zoom lensaku, dapat kulihat dengan jelas kulit putih dan wajah orientalnya. Aku meyakiniia keturunan dari para manusia perahu yang pernah tinggal disini.

Tiba-tiba saja ia menoleh. Aku langsung gelagapan.

Oh, tidak, aku tertangkap basah.” Pekikku dalam hati.

Kamera masih dalam genggaman mengarah padanya. Dia pasti tahu aku mencuri gambarnya. Aku pasang wajah tak berdosa dan tersenyum padanya.

Oh, ia membalas senyumku!

Ah, lega rasanya.

Tiba-tiba ada yang memanggilnya dan ia buru-buru pergi. Aku hanya bisa memandangi kepergiannya.

***

Ini pertama kali aku ke Camp Sinam yang dulunya menjadi sebuah perkampungan pengungsi Vietnam di pulau Galang. Para pengungsi itu bisa sampai di sini karena perang saudara. Ribuan orang memilih meninggalkan negaranya dengan parahu kayu untuk menyelamatkan diri dari perang saudara tersebut. Itu sebabnya para pengungsi disebut juga manusia perahu.Dalam satu perahu bisa berisi puluhan orang sehingga over kapasitas. Berlayar tanpa tujuan yang jelas membuat sebagian ada yang perahunya tenggelam di laut atau dirampok dilaut. Bahkan ada kisah yg sangat tragis terpaksa memakan daging salah satu pengungsi karena mereka kehabisan bekal di tengah laut.

Banyak dari para pengungsi akhirnya terdampar di pulau-pulau Kepulauan Riau termasuk di dekat rumahkumasih ada bekas perahunya. Enam belas tahun lamanya para pengungsi itu tinggal disini.

Kini situasi Camp Sinam jadi sebuah perkampungan mati tanpa penghuni kecuali petugas kebersihan. Bekas bangunan seperti rumah sakit, rumah-rumah penampungan, rumah pekerja PBB, vihara, gereja, depo bahan bakar, jalan-jalan penghubung, pelabuhan kecil, perahu bekas para pengungsi, dan areal pemakaman masih terdapat hingga saat ini.

Kini Camp Sinam menjadi objek wisata sejarah. Para pengungsi yang telah sukses hampir setiap beberapa tahun melakukan reuni untuk mengenang kembali kesulitan mereka. Sepertinya para pengungsi itu mau mendidik anak keturunan mereka, kalau perang itu, tidak ada untungnya. Karena hanya menghasilkan penderitaan yang berkepanjangan hingga ke beberapa generasi. Seperti di Timur Tengah, perangnya sampai sekarang belum juga berkesudahan.

Mudah-mudahan Indonesia tidak ada lagi perang saudara dan tidak pernah berperang dengan negara manapun.

***

Aku melanjutkan berkeliling mengitari dan memotret sudut-sudut yang menarik di Camp Sinam, mencari titik-titik yang menarik untuk  kegiatan foto pra wedding.

Setelah puas berkeliling dan memotret sudut-sudut Camp Sinam, aku  memutuskan pulang. Tetapi sesampainya di Jembatan Barelang, aku berhenti ingin menikmati sejenak pemandangan indah dari atas jembatan.

Pulau Galang dan Pulau Batam ini terpisah oleh laut dan beberapa pulau lainnya, tapi dapat dilewati melalui jalur darat. Ada enam jembatan yang menghubungkan enam pulau sekaligus, Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru.

Keenam jembatan ini biasa disebut Jembatan Barelang yang di ambil dari akronim keenam pulau. Tapi kami juga sering menyebutnya Jembatan Habibie, karena Beliaulah yang memprakarsai pembangunan jembatan ini saat masih menjadi menteri di zaman Presiden Soeharto.

Niat membangun keenam jembatan ini bukan untuk para pengungsi sebenarnya, melainkan untuk sebuah tujuan mulia. Untuk kemajuan bangsa dan negara kita. Sayangnya ketika rezim Orde Baru Soeharto runtuh, semua rencana itu buyar.

Jembatan Tengku Fisabilillah berada paling dekat dengan kota Batam sehingga paling banyak dikunjungi untuk sekadar berfoto oleh para turis.

Sore hari adalah waktu yang paling ramai dikunjungi. Mulai dari berekreasi, melihat pemandangan, berfoto, termasuk anak-anak muda yang berpacaran.

Saat sampai, sudah banyak orang sudah berkumpul di tepi Jembatan. Ada segerombolan ibu yang asyik berfoto-foto dengan centil, ada pasangan-pasangan remaja, banyak juga yang hanya duduk-duduk, sambil menikmati sate udang, otak-otak maupun gorengan makanan yang lazim ditemui di kawasan ini.

Pemandangan alam dari jembatan Tengku Fisabilillah memang cukup bagus. Lautan yang terbentang luas merupakan pemandangan penyejuk mata. Hamparan pulau-pulau kecil yang bertebaran makin melengkapi keindahan pemandangan disini.

Jembatan ini dulunya juga sering dijadikan ajang taruhan uji nyali. Caranya dengan terjun bebas dari atas jembatan ke laut. Aku pernah tiga kali taruhan uji nyali disini dan mendapatkan motor sport temanku. Namun ketika salah satu lawanku muntah darah saat terjun ke laut, aku tidak pernah melakukannya lagi. Bukan karena takut, tetapi aku tidak mau dijadikan kambing hitambila ada yang terluka atau sakit. Sebab ada yang mati tenggelam saat adu nyali ini.

***

Aku mengeluarkan kamera dan mengabadikan sudut-sudut jembatan Fisabilillah dan pemandangan alamnya. Tempat ini juga cocok untuk kegiatan foto pra wedding.

Saat asyik menjepret, aku merasakan sesuatu. Aku menoleh...

Dan benar saja, ternyata ada seorang wanita kepergok tengah mengambil gambarku. Sekitar tiga puluh meter dari tempatku berpijak. Segera saja ia terkesiap mendapati kesigapanku. Ia gugup dan salah tingkah.

Oh…ternyata ia adalah gadis yang tadi aku foto diam-diam di areal pemakaman Camp Sinam. Sepertinya ia mau membalas perbuatancandidku. Meski terlihat gugup, ia masih melepaskan senyum manisnya. Aku membalasnya.

Melihat jenis kamera dan cara memegangnya, aku meyakini ia pasti seorang fotografer profesional. Aku langsung pasang gaya ‘bak’ model ketika ia hendak memotret lagi. Untuk beberapa saat aku menjadi obyek fotonya, meski jarak kami cukup berjauhan. Kami saling tersenyum tanpa berusaha untuk saling mendekat.

Kini giliranku memotretnya dan iaberpose menjadi modelnya. Sayang, baru satu kali jepret, ia dipanggil temannya. Ragu-ragu ia menatapku dan temannya secara bergantian, seperti enggan beranjak.

Temannya memanggil sekali lagi, ia tampak bergegas. Merasa tak punya pilihan, gadis itu meninggalkanku. Aku hanya memandanginya meski di dalam hati  ada niatan untuk berkenalan dengannya.



Dua Minggu Kemudian…

Speed boat yang membawaku dari Singapura akhinya tiba di Pelabuhan Sri Bintan Tanjung Pinang. Dari pelabuhan aku langsung menuju rumah Hendro yang berjarak sepuluh menit dari pelabuhan.

Hendroini teman baikku sejak SMA. Ia seorang fotografer profesional yangsudah mengenal dunia fotografi sejak kecil. Bapaknyaseorang fotografer dan mempunyai dua studio foto baik di Tanjung Pinang dan Batam. Hendroini yang banyak mengajariku tentang fotografi sejak empat bulan terakhir ini.

“Ndro, minta teh botol satu lagi. Aku haus sekali,” pintaku.

“Di Batam kamu ngapain aja, Tam?” tanya Hendro sambil memberikan teh botol.

“Hehehe. . . aku lihat tabunganku mulai menipis, jadi aku cari tambahan dulu.”

“Berjudi, maksudmu?” tanya Hendro serius.

“Aku menang besar. 40 juta.”

“Wah. . . kalau untuk yang satu itu, kamu memang sangat berbakat,” Hendro mengakui.

“Ya. . . ini memang cara paling cepat untuk mendapatkan banyak uang,” balasku dengan senyum bangga.

“Tapi Tam, kamu tidak berpikir kalau suatu hari nanti hobi dan keahlianmu itu akan membawa masalah?” ujarnya serius.

Aku hampir tersedak mendengarnya. Terus terang, aku juga berpikir kesana. Bagaimana pun, teman berjudiku bukan orang-orang sembarangan.

“Ini cuma kesenangan, Ndro” ucapku menutupi rasa gusar.

“Disitulah letak masalahnya. Kamu berjudi tidak pernah mau rugi. Lawanmu habis-habisan, kamu setengah hati. Kalau lagi bermain bagus kamu main terus-terusan tetapi ketika bermain jelek kamu berhenti. Jelas cara berjudimu itu membuat sakit hati orang yang kalah. Kamu bukan sekali dua kali dikeroyok orang gara-gara itu.”

“Tenang aja. Aku tahu apa yang kulakukan,” jawabku enteng sambil menenggak teh botol lagi.

“Tapi lawan judimu juga ada yang dari kalangan mafia. Sejago apa pun kamu berkelahi, tetap kalah dengan peluru.”

Aku yang sedang menenggak teh botollangsung terdiam. Mulut botol itu terpaku di depan mulutku. Rasa khawatir tetap muncul jika berjudi dengan mereka. Aku sering melihat beberapa orang lawan mainku menitipkan pistolmereka sebelum masuk ke tempat perjudian gelap. Untuk beberapa saat lamanya aku tertegun.

“Kamu itu sangat cerdas. Dan kamu bisa menjadi apa saja.”

Aku diam saja.

“Kamu tekuni fotografi ini dengan serius. Aku yakin kamu bisa lebih hebat dariku,” tambah Hendro.

“Kamu bisa aja, Ndro…” balasku tersenyum.

Aku mengamati kameraku dan meniup debu yang menempel di lensa.

“Mana hasil jepretanmu?” tanya Hendro.

Aku menyodorkan hasil jepretanku selama lima belas hari mulai dari berangkat ke Batam, Pulau Galang, Singapura, sampai pulang kembali ke Bintan.

“Kamu ke Singapura juga, ya?”

“Ya. Aku memang sudah merencanakan kesana, menjepret sudut-sudut kota Singapura. Siapa tahu ada yang mau prawedding disana.”

“Ah, aku tidak percaya jika kamu ke Singapura hanya untuk memotret.” Ucapnya sinis.

“Hehehe, . kamu tahu aja ya. Ya, sih. . aku sempat singgah ke Marina Bay.”

“Seperti dugaanku.”

Aku hanya tersenyum sementara Hendro kembali melihat-lihat hasil jepretanku.

“Kamu memang berbakat, Tam. Tidak sia-sia aku mengajarimu. Kualitas jepretanmu sangat bagus. Sudah seperti profesional saja,” puji Hendro begitu melihat hasil fotoku.

“Thanks, Ndro, sudah mau berbagi ilmu denganku.”

“Ya. Sebaiknya tingkatkan terus skill-mu.”

“Itu pasti.”

Hendro terus mengamati hasil jepretanku dengan serius, memperhatikan detail setiap gambar yang berhasil aku potret.

Tiba di foto seorang gadis, dia bersiul.

“Fotogenik nih gadis. Siapa gadis Cina ini, Tam?”

“Oh, dia teman baru. Kami bertemu di Camp Sinam tapi berkenalan di jalan saat aku ke Singapura. Tapi dia bukan orang Cina. Ibunya orang Vietnam.”

“Mirip Agnes Monica, ya?”

Ya mirip-miriplah. Selama di Singapura aku menumpang di apartemennya,” jelasku.

“Wah, kok, dia mau memberi tumpangan?”

“Katanya sih, dia percaya aku ini pria baik-baik. Hahaha. . . .”

“Dia tinggal sendiri?”

“Sudah sebatangkara.”

“Dia masih single?”

“Begitulah.”

Hendro tertawa penuh arti.

“Wah… ini… dia yang motret kamu?” decaknya kagum.

“Ya. Ternyata dia pintar memotret.”

“Dia fotografer juga?”

“Yup. Ia fotografer profesional.”

“Keren!” sahut Hendro. “Eh, nanti dulu…. Dia tidak ada hati padamu, kan?” matanya menyelidik.

“Maksudmu?”

Hendro menunjukkan sebuah gambar kepadaku. “Coba perhatikan tatapannya, terutama ketika dia tersenyum. Jelas sekali dia terlihat sangat bahagia ketika difoto. Menurutku, dia senang padamu, Tam,” ujar Hendro dengan yakin.

Aku menggeleng. “Aku tidak memperhatikan sejauh itu. Udah, ah, udah sore. Aku mau pulang,” ujarku sambil membereskan perlengkapan kamera dan beberapa tumpukan foto yang telah aku cetak.

***

Batam Indera Perkasa adalah nama lengkapku, dan aku biasa di panggil Batam.

bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun