Apakah memang hanya sampai disana kesadaran manusia itu?
Adanya kesenjangan kaya-miskin pasti tak lahir begitu saja. Ada hukum sebab akibat yang sederhana. Nafsu yang besar, misal saja. Nafsu itu bukan hanya soal libido dan makanan, tapi juga soal proyek dan kekuasaan. Saking besarnya nafsu ini, kita sampai tega merampas jatah yang lain-lain juga. Ya. Kita mengerti alasan ini, tapi mengapa kita hampir selalu bermuka masam saat pengamen dan pengemis hilir mudik ‘meminta’ saat kita sedang makan, mengumpat dan memendam marah malah, sambil pura-pura tak melihat.
Ya Tuhan kami, hanya sampai disinikah hidupnya hati kami melihat sekeliling kami?
Membatunya hati, bisa jadi, bukan karena kita tak peduli. Tapi kepedulian berlebih terhadap diri yang menimbulkan belas kasihan berlebih. Ia suka menyemai kedengkian dalam hatinya, setiap kali melihat orang lain berhasil melakukan sesuatu yang lebih baik darinya, ia merasakan dirinya sebagai pusat kegagalan semesta.
Namun, sekali lagi, ia lupa melihat, ia lebih beruntung. Ia tak layak menyiksa diri dengan kedengkian tak beralasan. Kedengkian itu membuat diri menjadi angkuh, merasa paling benar dan paling bermutu. Dengan pongah memicingkan mata merendahkan dan senyum berhiaskan sinisme. Kau tak akan pernah bahagia dengan cara ini. Tak akan.
Maka saat kau berhasil, lihatlah ke sekitar. Di antara jabatan tangan itu, ada juga ia yang tengah diamuk kedengkian. Ia yang merasa luka karena dikalahkan.
Nak, aku ingin kau melihat kisah ini bukan sebagai Pangeran atau Burung, apalagi Tuhan. Aku ingin kau menjadi salah satu warga kota yang melihat kesenjangan itu, merasakan ketulusan pengorbanan itu, sementara batinmu bergolak tak ingin menyalahkan diri. Dengan begitu, kau menjadi manusia. Karena kau bertempur dengan batinmu, untuk melihat segala sesuatu dengan lebih bijaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H