Namun, kehadiran media digital juga membuka ruang bagi penyebaran informasi yang cepat dan tersebar luas, baik yang benar maupun yang salah. Dalam konteks ini, Anies harus hati-hati dalam memilih narasi yang akan disampaikan, mengingat bahwa media sosial sering kali diserbu dengan konten hoaks dan disinformasi yang dapat mempengaruhi persepsi publik. Dalam hal ini, upaya branding melalui Instagram bukan hanya soal menyampaikan pesan yang tepat, tetapi juga tentang menjaga konsistensi citra positif di tengah arus informasi yang sangat cepat dan terkadang menyesatkan.
- Polarisasi Politik dalam Konteks Media Sosial
Polarisasi politik merupakan salah satu fenomena yang tak terelakkan dalam komunikasi politik di era digital, dan ini sangat terlihat dalam Pemilu 2024 di Indonesia. Polarisasi ini diperburuk oleh media sosial yang cenderung menciptakan "echo chambers" yaitu ruang di mana individu hanya terpapar dengan informasi yang memperkuat pandangan mereka sendiri. Penggunaan Instagram @ubahbareng juga tidak lepas dari dampak polarisasi politik ini.
Di Indonesia, pemilu seringkali menjadi ajang pertempuran antara berbagai kubu politik, dengan masing-masing pihak memanfaatkan media sosial untuk memperkuat citra mereka dan menyerang lawan politik. Anies Baswedan yang mengusung citra perubahan dan narasi positif, tentu menghadapi tantangan dalam mengatasi polarisasi ini. Seringkali, para pendukungnya akan saling memperkuat narasi yang menguntungkan mereka di media sosial, sementara kelompok yang tidak mendukung Anies akan menggunakan platform yang sama untuk menyerang citra dirinya. Hal ini membuat komunikasi politik menjadi semakin terpolarisasi, di mana narasi yang berbeda sering kali tidak mendapatkan ruang untuk dibahas secara objektif.
Polarisasi politik yang diperburuk oleh media sosial ini juga bisa mempengaruhi sikap dan perilaku pemilih. Pemilih yang terjebak dalam polaritas ini mungkin akan lebih mudah terpengaruh oleh narasi yang sesuai dengan kelompok mereka, tanpa memperhatikan substansi kebijakan atau visi calon pemimpin. Oleh karena itu, meskipun media sosial memberikan kebebasan berpendapat, namun juga berpotensi memperburuk ketegangan politik dan membatasi ruang diskusi yang konstruktif.
- Dampak Terhadap Masyarakat: Citra, Persepsi, dan Partisipasi Politik
Komunikasi politik melalui media sosial, terutama Instagram, memiliki dampak yang besar terhadap masyarakat Indonesia, terutama dalam hal pembentukan citra dan persepsi terhadap calon pemimpin. Citra Anies Baswedan yang dibangun melalui Instagram @ubahbareng, dengan narasi perubahan, kesederhanaan, dan kedekatan dengan generasi muda, menciptakan kesan bahwa Anies adalah pemimpin yang relevan bagi tantangan masa depan Indonesia.
Namun dampak ini tidak selalu positif. Pembentukan citra melalui media sosial dapat bersifat sementara dan lebih berfokus pada aspek visual dan emosional daripada substansi kebijakan yang konkret. Generasi Z yang aktif di media sosial, cenderung lebih mudah dipengaruhi oleh citra dan narasi yang disajikan secara menarik, meskipun kadang-kadang tidak cukup menggali lebih dalam tentang kebijakan yang akan diimplementasikan. Oleh karena itu, meskipun media sosial dapat meningkatkan partisipasi politik, namun juga dapat menurunkan kualitas diskusi politik dan menyebabkan masyarakat lebih terfokus pada citra daripada pada pemahaman yang mendalam terhadap isu-isu politik.
Di sisi lain, media sosial juga memberikan ruang bagi masyarakat untuk lebih aktif dalam partisipasi politik. Generasi Z yang lebih terbiasa dengan dunia digital merasa lebih mudah untuk terlibat dalam percakapan politik dan menyuarakan pendapat mereka melalui media sosial. Dalam konteks Pemilu 2024, hal ini memberikan peluang bagi Anies Baswedan untuk membangun komunikasi dua arah yang lebih langsung dengan pemilih muda, yang selama ini mungkin merasa terpinggirkan dari politik konvensional.
Pencitraan politik di sosial media memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap  komunikasi politik di Indonesia, komunikasi politik di Indonesia tidak hanya melibatkan media tradisional tetapi juga semakin bergantung pada media sosial yang menjadi alat utama bagi politisi untuk membentuk citra politik, menyebarkan pesan politik, dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Pemilu 2024 menjadi ajang penting di mana politisi dan partai politik, seperti Anies Baswedan memanfaatkan platform digital seperti Instagram @ubahbareng untuk membangun citra diri yang lebih personal, dekat dengan rakyat, dan relevan dengan generasi muda, khususnya generasi Z. Citra politik yang dibangun melalui media sosial memberikan politisi kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan pemilih, memperkenalkan diri, dan menyampaikan visi misi mereka. Namun, meskipun media sosial menawarkan banyak potensi dalam menciptakan komunikasi politik yang lebih inklusif, ia juga membawa tantangan besar seperti polarisasi politik yang semakin tajam, penyebaran hoaks, dan penurunan kualitas informasi yang diterima publik.
Media tradisional, meskipun tergerus oleh dominasi media digital tetap memainkan peran penting dalam komunikasi politik di Indonesia. Ia memberikan informasi yang lebih terstruktur dan sering kali lebih terpercaya. Namun, media tradisional juga tidak lepas dari kecenderungan pemberitaan yang berat sebelah atau terpengaruh oleh kepentingan politik tertentu. Di sisi lain, media sosial memungkinkan komunikasi politik yang lebih cepat, lebih fleksibel, dan langsung, tetapi dampak negatifnya seperti polarisasi yang semakin mengental dan kualitas informasi yang terkadang diragukan tetap menjadi masalah besar yang harus diperbaiki.
Polarisasi politik yang terjadi di media sosial menciptakan ruang di mana perbedaan pendapat lebih sering dianggap sebagai perpecahan, bukan sebagai bagian dari proses demokrasi yang sehat. Di tengah fenomena ini, citra politisi menjadi sangat penting tetapi harus didukung dengan substansi yang solid. Citra semata tanpa adanya kebijakan yang konkret dan relevan bisa saja berbalik merugikan politisi, karena masyarakat semakin cerdas dalam menilai tokoh politik yang benar-benar membawa perubahan, bukan sekadar retorika.