Pada tahun 1602 kapal dagang Belanda mendirikan persekutuan dagang di Hindia-Timur, dikenal sebagai Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Pada masa kompeni Belanda banyak beredar mata uang dengan berbagai satuan nilai seperti, dukat/dukatoon, duit/duyit, stuiver, gulden, dan sebagainya.Â
Mata uang tersebut dicetak di negeri Belanda dan Indonesia, terutama di Batavia. Menjelang runtuhnya VOC tahun 1799 dibuat uang darurat dari potongan batangan tembaga dengan bentuk persegi empat yang dicetak di Batavia, disebut uang bank.Â
Beberapa satuan mata uang yang beredar lainnya adalah gulden dan se, dengan istilah ringgit (5 Gulden/Rupiah). Selain uang logam dicetak pula uang kertas keluaran De Javasche Bank. Inilah bank pertama yang berdiri di Indonesia pada abad ke-19, dan sekarang berubah nama menjadi Bank Indonesia.Â
Kemudian Pemerintah Hindia Belanda berusaha mengisi kas dengan berbagai cara, antara lain menjual beberapa lahan tanah kepada perusahaan (swasta) yang membuka usaha perkebunan. Pemilik perkebunan sendiri juga orang-orang asing seperti, Cina, Arab, Jerman, Inggris, Prancis, dan Jepang. Untuk membayar gaji buruh yang bekerja di perkebunannya, mereka menciptakan uang yang disebut token perkebunan. Semacam alat tukar yang berlaku di tempat tertentu.
Pada tahun 1858, Hindia-Belanda memasuki revolusi dari berhentinya tanam paksa lalu beralih pada politik pintu terbuka. Pada masa itu, terdapat satuan uang lainnya yang beredar yakni gulden dan sen. Uang ini terbuat dari bahan timah berwarna hitam berukuran tipis dan kecil, uang ini pun berlaku di negara Belanda. Dalam bahasa Melayu dan Jawa, Gulden sering diterjemahkan sebagai "Rupiah" pada beberapa cetakan uangnya. Mata uang Gulden disimbolkan f (florin).
Gulden yang bergambarkan Ratu Wilhelmina dengan rambut tergerai ditarik dari peredaran, sebab tak pantas jika seorang puteri digambarkan seperti itu. Pada masa penjajahan Jepang, gulden masih tetap dicetak dalam bahasa Belanda "De Japansche Regering" yang memiliki arti "Pemerintah Jepang" Pada tahun 1944 Rupiah Hindia-Belanda (dibagi-bagi dalam 100 sen), tetapi setelah perang diganti.
Setelah kemerdekaan Indonesia mata uang gulden digantikan oleh Oeang Repoeblik Indonesia yang dikeluarkan secara resmi oleh pemerintahan RI. Namun, Belanda menginginkan gulden sebagai mata uang dan digunakan kembali pada tahun 1946, lalu dicetaklah uang kertas f5, f10, f25, f50, f100, f500, dan f1000 oleh Javasche Bank. Lalu uang f, f1, dan f2 dicetak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H