Mohon tunggu...
Politik

Penegakan Hukum dalam Kisah Ahok dan Buni Yani

9 Agustus 2017   19:08 Diperbarui: 10 Agustus 2017   10:55 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ahok menolak menghadiri sidang Buni Yani yang terjerat UU ITE karena mengupload video dimedia sosial. Meski Ahok menjadi tokoh yang berada didalam video tersebut, tapi dia menolak hadir sebagai saksi. Menurut kuasa hukumnya, I Wayan Sudirta mengacu kepada pasal 116 dan pasal 162 KUHAP, bahwa Ahok boleh tidak menghadiri sidang tersebut.

Dengan dasar tersebut, Ahok menolak untuk hadir. Padahal Majelis hakim sidang telah menyampaikan kepada JPU agar menghadirkan Ahok sebagai saksi. Kemungkinan Ahok hadir juga semakin kecil setelah JPU, Andi M Taufik mengaku tidak bisa memaksa Ahok untuk memberikan kesaksian pada sidang kasus tersebut.

Ucapan JPU tersebut sebenarnya tidaklah mengherankan. Karena publik sudah mengetahui bagaimana sikap jaksa saat menangani kasus yang berkaitan dengan Ahok. Lihat saja contohnya saat Ahok menjadi terdakwa, dari awalnya yang yakin dengan pasal yang disangkakan, hingga berubah saat pembacaan tuntutan. Ada lagi, JPU saat itu juga minta mengundurkan jadwal pembacaan karena terkendala masalah pengetikan.

Tidak salah juga JPU mengatakan tidak ada upaya paksa. Karena saat ini Ahok punya UU untuk melindungi dirinya dari keharusan menghadiri persidangan, walaupun hakim telah meminta untuk dihadirkan.

Sedangkan memindahkan Ahok dari Rutan ke Lapas saja hingga saat ini juga tidak bisa. Padahal sesuai dengan Pasal 1 angka 3 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang berbunyi: "Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan".

Rutan merupakan tempat menahan tersangka atau terdakwa untuk sementara waktu sebelum keluarnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sementara, Lapas merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

Dari ketentuan itu sangat jelas kalau sesuai dengan UU, Ahok itu menghuni Lapas, bukan Rutan. Tapi kenyataannya hingga saat ini Ahok masih menghuni Rutan, dan tidak ada upaya paksa untuk melaksanakan UU tersebut. Ini menunjukkan kalau penegakan hukum masih tebang pilih, dan semua orang dimata hukum itu sama tidak terlaksana.

Bukan berburuk sangka kepada jaksa, tapi saya pesimis akan hadirnya Ahok dalam kasus tersebut. Lihat saja bagaimana komentar Jaksa Agung yang menyebutkan secara lantang kalau Ahok tidak perlu hadir. Sekedar informasi, Jaksa Agung adalah kader Nasdem yang merupakan partai pengusung Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta.

Jika kita melihat secara logika, seharusnya Ahok itu hadir. Karena hakim perlu mendengarkan langsung keterangan Ahok, bagaimana sebenarnya pidato yang disampaikan di Kepulauan Seribu sehingga Buni Yani terseret dalam kasus itu. Kan tidak lucu juga, Ahok sebagai pemeran utama dalam kasus itu tidak hadir walaupun sebatas saksi.

Semoga hukum tegak di Indonesia tanpa pandang bulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun