Yth. Presidenku
Susilo Bambang Yudoyono
Entah lagi di mana sekarang.
Saya tidak tahu apakah dengan menulis ini akan kebaca Bapak atau tidak. Kecuali surat ini jadi perhatian nasional dari sekian juta surat kekecewaan rakyat Indonesia pada Bapak saat ini. Yang penting Saya sudah meluapkan isi hati. Meluapkan kemarahan ini.
Pak SBY, Saya ini rakyat biasa yang tidak suka politik. Tapi tidak juga rakyat yang cuek dengan politik.
Pak SBY, Saya termasuk orang yang andil suara terhadap keterpilihan Bapak sebagai presiden dua periode. Jadi banyak harapan-harapan Saya kepada Bapak bisa membahagiaakan rakyat Indonesia. Sebenarnya periode pertama Saya sudah kecewa, namun dibanding calon lain Bapak masih mendingan, makanya saya pilih lagi pada peride kedua. Hitung-hitung kasih Bapak kesempatan kedua.
Ternyata eh ternyata, di penghujung kepemimpinan, Bapak meninggalkan luka perih bagi saya (mungkin juga dirasakan jutaan rakyat Indonesia).
Pak SBY, Saya orang kampung, dari desa Sambirembe, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen yang sekarang tinggal di Samarinda.
Pak SBY, begitu tega Bapak memainkan perasaan rakyat dengan merenggut hak suara kami memilih pemimpin-pemimpin kami di daerah.
Pak SBY, kesedihan dan rasa kecewa Bapak menyikapi revisi UU Pilkada secara langsung bagi kami tak lebih dari sandiwara. Kami mengenali wajah-wajah seperti itu ya karena beberapa kali mengikuti PIlkada langsung. Kami semakin tahu wajah-wajah asli pemimpin kami. Termasuk wajah asli Bapak.
Saya tidak rela hak suara Saya direbut anggota DPRD dalam memilih pemimpin kami. Apalagi dalam waktu dekat ada Pilakada Walikota Samarinda. Kalau memang jadi hak kami terengut, karena peran Pak SBY juga, berarti Bapak telah membubarkan pesta kami rakyat-rakyat di daerah.
Pak SBY, SBY…
Kenapa njenengan merusak nama sendiri di akhir masa jabatan ini.
Saya berharap setiap presiden Indonesia bisa heppy ending. Rupanya Bapak tidak belajar dari sejarah pemimpin-pemimpin terdahulu. Dengan segala kekurangan Bapak selama ini, sebenarnya bisa cukup kami maafkan. Namun dengan dengan drama yang Bapak mainkan di akhir cerita kepemimpinan Bapak, nama Bapak sudah cukup pantas untuk tidak dikenang sebagai orang yang pernah memimpin Indonesia.
Pak _ _ _ (Saya tidak ingin lagi menyebut nama Bapak)
Mbokyo dadi wong ki mikir rasane wong cilik,
Kapan meneh suarane wong cilik-cilik iki dirungokke,
Aku rak percoyo karo wong-wong sek nongkrong nek gedung DPR kae,
Sak ngertiku wong-wong kae mung mikir wetenge dewe,
Aku nek dadi kowe pak, rak bakal muleh neng Indonesia,
Luweh becik mlumpat ae soko montor mabur,
Ben mati, ben loro atine wong-wong cilik iki rodo sudo,
Kowe mati krono melu gelo lan mlumpat soko montor mabur,
Mergo kowe wes mateni pangarepane wong cilik sak Indonesia.
Cukup sekian Pak _ _ _
Semoga surat ini kebaca, sebelum Bapak memerankan episode drama berikutnya.
Saya yang Kecewa karena _ _ _
Ttd
Ali Kusno
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H