Situasi bangsa Indonesia hari-hari ini tak ubahnya tungku yang tak hentinya membara. Seakan tidak ada habis-habisnya. Masyarakat kita seolah terbelah. Sedikit-sedikit larinya ke isu SARA. Saat membuka media sosial, seperti facebook dan twitter, kita dihadapkan tuturan saling hujat dan merendahkan.
Penyebaran isu-isu SARA di media sosial begitu gencar terutama dilakukan oleh akun-akun fiktif. Tujuannya tidak lain memprovokasi masyarakat untuk saling bertikai. Dalam sebuah tuturan provokatif terdapat muatan hasutan terhadap khalayak. Saling berbalas tuturan provokatif terus terjadi di media sosial. Akibatnya antarteman bisa saling berseteru. Sesama rekan kerja saling mendiamkan. Bahkan suami atau istri yang berbeda pandangan politik pun bisa ikut terbawa suasana. Betul kan?
Masih ingat kerusuhan di Tanjung Balai, Sumatera Utara? Kerusuhan itu merupakan contoh konflik sosial yang dipicu kejamnya media sosial. Konflik tersebut dipicu pemberitaan di media sosial yang tidak valid. Seorang oknum mengunggah foto yang bernuansa provokatif saat proses mediasi berlangsung. Tersebarnya berita provokatif dan negatif itulah yang membuat (oknum) warga bereaksi.
Kasus terbaru, tentang adanya isu konflik di Pontianak. Isu yang berkembang di media sosial seolah-olah terjadi adu fisik antara peserta Pekan Gawai Dayak XXXII dengan peserta aksi bela ulama dari Masjid Raya Mujahidin yang akan menyampaikan aspirasinya di Mapolda Kalbar. Faktanya, tidak pernah terjadi seperti yang gencar tersebar di media sosial. Saling serang dan menjelek-jelekkan antar pengguna media sosial begitu riuh. Lagi-lagi yang patut disayangkan, pihak yang memanaskan suasana justru para pengguna media sosial yang bukan warga setempat.
Perlu kita sadari bahwa saling serang dan menjelekkan di media sosial itu termasuk kategori konflik lingustik. Bentuk konflik linguistik, menurut Thornborrow (2006), di antaranya perselisihan tentang kata siapa yang boleh digunakan, istilah-istilah apa yang digunakan kelompok satu untuk menyebut diri mereka sendiri dan menyebut lawan mereka.
Konflik linguistik yang sering menimbulkan konflik sosial salah satunya dalam penggunaan istilah untuk menyebut lawan. Masing-masing pihak membentuk stereotipe berupa pelabelan negatif tentang pihak lain. Selama ini muncul berbagai versi stereotipe yang dilekatkan kepada kelompok tertentu, misalnya kaum bumi datar, kafir, Ahoker, dan kaum bani serbet. Pelabelan negatif itu lambat laun membentuk stigma di masyarakat. Fakta tersebut seperti banyak disuguhkan di media sosial saat ini. Parahnya, hal itu seolah terus dipropagandakan.
Bentuk konflik linguistik yang lain dapat berupa ancaman. Ancaman memang menggoda seseorang untuk menggunakannya dan juga lebih efektif untuk mendatangkan kepatuhan (Pruitt & Rubin, 2011). Ya, seperti kita lihat di media sosial saat ini, tuturan-tuturan yang bernada ancaman begitu mudah kita temukan. Satu pihak mengancam pihak yang lain sesuka hati.
Apabila beragam konflik linguistik itu terakumulasi, dapat memicu konflik sosial. Saling memberi stigmatisasi negatif  dan ancaman turut menyertai sejarah konflik antarsuku yang pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Konflik yang pernah terjadi di suatu daerah seolah menjadi model bagi daerah-daerah lain. Hal itu dapat dipahami karena konflik antarsuku yang pernah terjadi seperti mengulang kembali sejarah pertikaian antarsuku yang terjadi di beberapa daerah. Sejarah kelam seolah menjadi dendam yang tidak berkesudahan sehingga akan mudah untuk muncul lagi apabila terdapat pemantiknya.
Sebuah konflik linguistik merupakan representasi kondisi sosial. Representasi bahwa ada bibit-bibit konflik yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Konflik linguistik percakapan warga dalam media sosial terbukti dapat menjadi biang pemicu konflik sosial nyata. Apabila konflik sosial nyata terjadi, hal itu akan berakibat terjadinya bencana sosial di masyarakat. Oleh karena itu, perlu kita sadari bersama bahwa ada potensi konflik dalam kehidupan nyata sewaktu-waktu bisa pecah. Berbagai potensi konflik sosial tersebut sangat rentan dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan tersembunyi, seperti untuk kepentingan politik.
Berdasarkan hasil penelitian yang dipresentasikan dalam Seminar International Conference on Social Sciences and Humanities di LIPI 18—20 Oktober 2017 dengan judul ‘Identifikasi Potensi Konflik Sosial Bernuansa SARA di Kota Samarinda dalam Percakapan Warga Grup Facebook Bubuhan Samarinda’(Kusno, 2016) menunjukkan bahwa potensi bencana sosial akan semakin besar apabila melibatkan latar belakang kesukuan, ras, dan agama (SARA) yang berbeda. Khususnya latar belakang kesukuan, dimana ada dua atau beberapa suku hidup sebagai tetangga dekat maka karena kebudayaannya yang berbeda, selama hubungan antara mereka itu, tidak dapat dihindarkan tumbuhnya bibit-bibit konflik sosial atau konflik budaya. Dalam kurun waktu tertentu konflik antar-etnis (suku) belum meledak, maka itu semua hanyalah jeda sosial (konflik yang berhenti sementara) yang fungsinya sekadar menunda konflik terbuka yang sesungguhnya.
Sebagai salah satu cara untuk memperkuat solidaritas kelompok tidak lain melalui penggunaan bahasa. Solidaritas bahasa dapat dilakukan dengan memulihkan nada positif dari istilah-istilah yang selama ini digunakan dalam artian negatif. Hentikanlah menyebar kebencian saling hujat sana sini di media sosial. Hentikanlah sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Hentikanlah saling menjelekkan kelompok satu dengan kelompok lain.