Mohon tunggu...
ALI KUSNO
ALI KUSNO Mohon Tunggu... Administrasi - Pengkaji Bahasa dan Sastra Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur

Pecinta Bahasa 082154195383

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Dukuh

9 Oktober 2014   15:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:45 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash





Cerita almarhum Mbah Kakung, Dukuh ini dinamakan Grumbuldowo ada asal muasalnya. Grumbuldowo berasal dari gabungan Nggrumbul dan dowo. Ngrumbul artinya bergerombol, ngrembuyung banyak pepohonan. Dowo diartikan panjang. Dulunya Dukuh ini berupa hutan yang kalau dilihat seperti rerimbunan pohon yang memanjang. Itulah kenapa dukuh ini dinamakan Grumbuldowo.

Dua puluh tujuh tahun yang lalu saat belum ada listrik segala penerangan menggunakan tintir. Hampir tiap rumah memiliki tintir yang biasa dijual dipasar-pasar. Alat penerangan yang dibuat dari bekas kaleng susu kental manis cap Bendera yang dilubangi dan diberi sumbu dari gombal. Bahan bakarnya dari lengo pet. Sedang bagi orang yang mampu biasa menggunakan semprong. Itu pun yang punya cuma satu dua keluarga. Selebihnya memakai tintir. Tintir-tintir itu yang menerangi anak-anak belajar waktu malam. Masih ingat waktu itu beberapa kali Aku harus kecelakaan karena tintir. Waktu Aku belajar Bapak biasa menaruh tintir tepat di depanku. Jadi, kalau Aku ngantuk pasti tertunduk. Tak lama tercium bau menyengat disertai bunyi kretek-kretek. Rambutku terbakar. Setelah itu Bapak pasti bilang, “Mulane nek sinau ki yo sinau, malah turu!”. Belum lagi kejadian buku terbakar waktu belajar. Makanya untuk menyiasati waktu belajar, kalau ngarit Aku bawa buku pelajaran. Waktu istirahat ngarit sambil baca buku.

Dulu kalau malam jelang libur sekolah, pasti anak-anak jelungan. Apalagi sedang bulan purnama. Orang-orang berkumpul di luar rumah. Anak-anak jelungan. Seru memang. Yang paling menakutkan kalau ada yang ndhelik dekat rerimbunan pring. Susah nemukannya, dan anak-anak takut digodhol gendruwo.

Tiap rumah rata-rata punya hewan peliharaan. Bisa sapi atau kambing. Kami-kami anak kecil habis pulang sekolah punya kewajiban tak tertulis, wajib ngarit. Setelah kenyang makan, biasanya anak-anak janjian ngarit bareng. Kalau anak yang masih kecil bawa karung ukuran kecil. Sedang yang sudah besar bawa karung yang besar. Kami biasa ngarit ke sebelah barat Dukuh (rupanya pelajaran arah mata angin berlaku kalau di Jawa, kalau di Samarinda ditanya arah mana pasti bengong). Menyusuri jalan kecil naik turun ke arah sungai. Di perengan-perengan kami mencari rumput. Kami pasti menyebar dan dulu-duluan. Bahkan berlaku pembagian area pengaritan. Kalau ada yang melanggar batas terotori pengaritan bisa jadi perang mulut atau bahkan gelut.

Setelah ngarit kami biasa ciblon (mandi di sungai sambil clebur-clebur lompat dari tebing). Ada kedung di sungai lumayan dalam untuk belajar berenang. Airnya jernih. Kalau ada yang usil, mereka mengendap-endap di semak-semak mengintip gadis-gadis sedang mandi di sendang. Di sungai dekat dukuh memang ada sendang bermata air jernih khusus buat mandi. Kejernihannya terjaga tidak ada yang berani menyeburkan kaki ke sendang. Takut kuwalat sama Mbah Buyut. Bilang tema-teman ngaritku sensasinya luar biasa. kalau aku tidak ikut-ikutan. Soalnya dulu Aku tergolong anak baik-baik. He.. he..

Kalau musim panen tiba, masing-masing anak sibuk bantu orang tua di sawah ataupun tegal. Panen pari, panen ketan. Khusus panen ketan namanya ngani-ani, jadi cara panennya batang ketan tidak dibabat dari bawah, cuma dipotong di bagian atas pakai ani-ani. Yangmenanam ketan paling beberapa orang saja, soalnya agak ribet ngurusinya.Kalau ke tegalan bisa panen kacang, gude (sejenis kacang-kacangan warna ungu dan hijau disayur santan diberi singkong rasanya maknyus), atau pun singkong. Kalau panen singkong kaminamai nggaplek. Singkong yang sudah dibedhol, dikupas dan dijemur di tegalan. Beruntung kalau tidak dicuri orang karena ditinggal berhari-hari kalau kering baru diambil.

Tapi itu cerita dulu, waktu aku masih kecil. Semua begitu menyenangkan. Tapi kini setelah sekian tahun berlalu suasana yang dulu banyak berubah. Tidak ada lagi gadis mandi di sendang. Tidak ada lagi anak-anak ngarit. Tidak ada lagi anak-anak jelungan. Tidak ada lagi belajar pakai sentir. Sekarang anak-anak banyak disibukkan dengan televisi. Sibuk memainkan HP bapaknya.

Sudah jarang kulihat orang-orang bercocok tanam. Apalagi generasi-generasi yang sekarang. Mereka milih kerja di pabrik. Sekolah sampai SMA/SMK habis itu kerja ke Solo. Bagi yang tidak berijazah lebih memilih bergelut dengan kayu. Membuat mebel-mebel. Kebetulan dulu Aku juga ikut belajar membuat mebel. Dan buktinya sampai sekarang. Banyak kapal-kapal di tangan. Sekarang membuat mebel serba mesin. Motong kayu dan menghaluskan serba mesin.

Ada satu fenomena, menurutku, di Dukuh Grumbuldowo yang mengkhawatirkan. Banyak warga terhasut isu untuk menjual tanah. Tanah yang turun-temurun diwariskan nenek moyang, kini dimiliki generasi ngetrend. Untuk mengikuti trend punya rumah bagus, trend punya motor bagus, dan mobil, jadi mudah terhasut menjual tanah. Ada pemain-pemain tanah yang meminjam tangan Aparat Desa. Tegal dan sawah warga banyak dibeli. Bahasanya dibebaskan. Bahasanya ganti untung. Untuk perumahan lah. Untuk pabrik lah. Untuk calon tempat wisata. Dalih-dalih itu yang dipakai aparat Desa membuai keluguan warga untuk menjual tanah. Memang tanah-tanah itu dibeli dengan harga tinggi. Ya iya, tinggi dari kacamata itu tanah warisan diberi gratis oleh leluhur dan sekarang tinggal menjualnya. Sangat untung ?

Sekarang sawah dan tegal warga sudah banyak beralih tangan. Tidak begitu banyak lagi warga yang lalu lalang lewat jalan tengah dukuh menggendong kacang dan jagung. Menuntun sepeda membawa karungan padi. Duduk-duduk di emperan mripili jagung. Ibu-ibu banyak kerja di pabrik, pulang-pulang sudah magrib.

Itulah Dukuh Grumbuldowo. Dukuh yang dua puluh empat tahun jadi saksi aku tumbuh, bermain benthik di tengah jalan, menangis di kejar-kejar anjing, dan merasakan pegalnya menggergaji kayu. Dukuh Grumbuldowo yang telah beralih muka. Rumah-rumah gedek berganti tatanan bata. Begitu juga wajah dan hati penghuninya. Wajah-wajah welas asih dulu berubah wajah kekota-kotaan tapi masih ndeso.

Dukuh Grumbuldowo yang dulu menjadi peraduan untuk Aku pulang dari perantauan. Sekarang telah memudar. Aku rindu harum rerumputanmu. Aku rindu senyum dan wajah sederhana seperti Mbah Uyek. Aku rindu kegelapanmu untuk bisa main jelungan.

Samarinda, 9 Oktober 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun