Mohon tunggu...
ALI KUSNO
ALI KUSNO Mohon Tunggu... Administrasi - Pengkaji Bahasa dan Sastra Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur

Pecinta Bahasa 082154195383

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengeja Bahasa Megawati

8 April 2016   09:58 Diperbarui: 8 April 2016   13:16 1771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: beritasatu.com"][/caption]"Pak Ahok datang. Saya heran juga, kok dia datang. Soalnya, kan, ada sampingannya, yang biasanya selalu bilang.. Ya, adalah."

Begitulah satu dari beberapa sindiran Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Hujan sindiran untuk  Ahok turun saat peluncuran buku Megawati dalam Catatan Wartawan; Menangis dan Tertawa Bersama Rakyat. Peluncuran buku tersebut seolah menjadi panggung adegan drama politik jelang Pilgub DKI 2017. Sindiran-sindiran Megawati memunculkan beragam analisa.

Memang, Megawati termasuk tokoh politik yang irit bicara menanggapi perkembangan perpolitikan nasional. Megawati tidak mudah mengumbar keluh kesah di media. Itulah yang menyebabkan, ketika memerintah dulu, Megawati lebih dikenal sebagai presiden yang banyak diam seribu bahasa. Kita pun sulit menerka apa kemauannya. Megawati lebih suka berpesan melalui tanda. Tanda itu pun akan disampaikan pada waktu yang tepat, menurutnya.

Garang dalam Berpidato Politik
Salah satu momentun Megwati banyak bicara, saat berpidato politik. Pidatonya dikenal garang dan pedas. Bahasanya pun khas dalam berbalut retorika. Ada seni dalam rangkaian katanya. Pidato politik Megawati yang fenomenal kala pembukaan kongres ke IV PDI Perjuangan di Bali. Terlepas dari konteks substansi, pidato Megawati berkarakter secara gaya bahasa.

Pertama, berdasarkan pilihan kata. Megawati menggunakan gaya bahasa resmi. Beberapa istilah yang digunakan, seperti: petugas partai, wong cilik, penumpang gelap, dan revolusi mental. Istilah seperti petugas partai dan penumpang gelap ramai jadi bahan diskusi dan perdebatan. Penafsiran pun beragam. Megawati juga menggunakan istilah asing, seperti: leidstar, Karmane vadhikaraste ma phaleshu kada chana dan one for all, all for ane. Hal itu untuk memberikan penguatan dan penekanan makna atas pesan yang disampaikan.

Kedua, gaya mulia dan bertenaga. Dalam bahasa lisan, sugesti lebih nyata apabila diikuti sugesti suara pembicara. Saat itu Megawati, memberikan arahan kepada Presiden Jokowi mengenai garis kebijakan partai. Tujuannya agar menjadi pegangan dalam mengelola negara. Gaya tersebut diperkuat dengan nada suara tinggi. Hal itu memberikan penguatan dan penekanan makna sekaligus penghayatan. Pada bagian tertentu, Megawati menggunakan nada suara rendah. Nada suara rendah menjadi jeda sekaligus penekanan tertentu dari dominasi penggunaan nada tinggi.

Ketiga, kekhasan gaya struktur kalimat. Kekhasan tersebut terwujud dalam gaya bahasa klimaks, antiklimaks, dan repetisi. Gaya bahasa klimaks diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik, seperti: cara berpikir, cara kerja,dan cara hidup. Gaya bahasa antiklimaks dihasilkan oleh kata yang berstruktur mengendur, berupa: sungguh memahami sejarah bangsanya, memahami siapa rakyatnya, dan memahami dari mana asal-usulnya. Gagasan-gagasan dengan diurutkan dari gagasan terpenting ke gagasan yang kurang penting.

Gaya bahasa repetisi epizeuksis, repetisi yang bersifat langsung. Artinya kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Seperti mengulang kata revolusi mental dan bangkitlah. Gaya bahasa repetisi anafora, yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya, seperti frasa bangkit dan bergeraklah. Gaya bahasa repetisi anadikplosis, kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Seperti perulangan frase: Gerakan Hidup Baru.

Keempat, gaya bahasa retoris. Gaya bahasa tersebut berupa gaya bahasa pertanyaan retoris misalnya memahami siapa rakyatnya? dan buat apa semuanya itu? Gaya bahasa hiperbol, seperti  jiwanya berkobar menyala-nyala, membanting tulang bersama, dan memeras keringat bersama.

Kelima, gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa kiasan tersebut berupa gaya bahasa simile, gaya bahasa metafora, dan gaya bahasa personifikasi. Persamaan atau simile perbandingan langsung dengan menggunakan laksana terbuat dari gledek dan guntur. Gaya bahasa metafora, misalnya membandingkan secara langsung Bali dengan tiang penyangga kekuatan Partai. Gaya bahasa personifikasi, seperti: melahirkan jiwa yang hidup, berkarakter, disiplin, penuh percaya diri, dan unggul dalam kualitas kehidupan.

Keenam, penggunaan humor. Penggunaan humor dalam sebuah pidato dapat mencairkan suasana. Secara keseluruhan pidato Megawati hanya menggunakan humor pada bagian pembukaan pidato saat menyapa para tamu undangan. Hal itu bisa didasari pertimbangan untuk tidak mengurangi kesan sakral pada pidato politik yang disampaikan.

Ironi dan Guyonan Politik Megawati
Berbeda dengan gaya bahasa waktu berpidato, dalam suasana non-formal Megawati lebih sering menggunakan gaya bahasa ironi atau lebih dikenal dengan sindiran. Menurut Keraf, ironi merupakan suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Layaknya bahasa ping pong.

Ironi sering kali menimbulkan perdebatan dan juga gagal paham. Tidak lain karena persepsi orang yang berbeda-beda. Bergantung konteks yang dibangun sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman masing-masing. Ironi dikatakan berhasil apabila para pendengar menyadari maksud tersembunyi di balik rangkaian kata-katanya. Rasanya itu sulit.

Terkait guyonan politik Megawati terhadap Ahok, kesamaan persepsi dibutuhkan. Sindiran Megawati kepada Ahok, seperti perihal "Karikatur banteng moncong putih pakai anting", dengan sindiran, "Yang jantan dong!" Perihal keheranan akan kedatangan Ahok... "Saya heran juga, kok dia datang. Soalnya, kan, ada sampingannya, yang biasanya selalu bilang.. Ya, adalah." Perihal  penolakan, Megawati tetap tak memberi kesempatan bagi Ahok untuk ikut menyumbang duit. "Kalau saya sebut yang 'satu itu', nanti di-bully lagi. Yang itu sumbangan saja."

Sepertinya Ahok masih gagal paham atau pura-pura gagal paham memaknai bahasa ironi Megawati itu. Meski mengaku punya hubungan dekat dengan Megawati, melebihi batas-batas urusan partai politik. Chemistry Ahok dan Megawaati sepertinya memudar. Rasanya Ahok perlu menunjukkan kejantanannya, menemui Megawati. Berbicara berdua, sambil makan bakso (lagi).

[caption caption="megapolitan.kompas.com"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun