Mohon tunggu...
Ken A Rok
Ken A Rok Mohon Tunggu... Buruh - Apa yang anda pikirkan?

Bergerak dan berkarya

Selanjutnya

Tutup

Diary

Diary: Aku

6 Desember 2023   12:51 Diperbarui: 20 Desember 2023   11:29 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: doc pribadi. Candi Singosari

Source: doc pribadi (bermain sepak bola di lapangan desa) 
Source: doc pribadi (bermain sepak bola di lapangan desa) 

Kata orang Jawa, waktu aku lahir bertepatan dengan "bareng maling muleh". Bersamaan dengan maling pulang. Hari itu, Rabu Kliwon, 14 Juni 1978. Bertepatan dengan penanggalan Hijriyah, 18 Rajab  1398. Bude (Sutia'ah atau orang pasar pasti kenal apabila disebut dengan Mak Sut), kakak perempuan bapak dan juga orang yang menyaksikan kelahiranku mengungkapkan, ibu sudah merasakan kontraksi di perutnya, malam sebelumnya, sekitar pukul tujuh malam. Bapak dan ditemani bude, segera membawa ibu ke Puskesmas Wonojati, Kecamatan Singosari, Malang. Semalaman ibu berjuang keras untuk mengeluarkan aku dari rahim. Hingga akhirnya, di jam "bareng maling muleh", selepas subuh, aku nongol ke dunia.

Bapakku seorang guru sekolah dasar berstatus pegawai negeri. Seorang petani, dan juga guru ngaji.

Keluargaku kental dengan budaya Jawa. Hari kelahiranku, "dihitung" sebagai hari yang tidak begitu menggembirakan. Menurutnya, dari perhitungan weton, seorang yang lahir pada Rabu kliwon memiliki jumlah neptu 15. Jumlah itu, berdasarkan penjumlahan neptu hari Rabu (7) dan nilai pasaran Kliwon (8). Bude mengungkapkan, seorang yang punya weton ini, bakal susah mendapatkan rejeki. Juga boros. Weton ini memiliki bawaan peruntungan pribadi yang tidak terlalu bagus. Karena weton ini jatuhnya di lebu katiup angin. Entah sanad dan rowinya dari mana, Budhe mengatakan itu. Namun aku percaya, rejeki itu hak preogratif Allah. Rejeki tiap makhluk, sudah ada takarannya masing-masing.


Ali Hidayat. Begitu bapak memberiku nama. Bapak mengungkapkan, nama itu dipilih atas petunjuk guru ngaji bapak, KH. Abdul Manan. Seorang kyai besar, hafiz, tokoh terkemuka di kota kecamatan kami, Singosari. Pesantren yang diasuhnya, PP Nurul Huda, merupakan salah satu pesantren pertama dan terbesar di kecamatan yang terkenal dengan kecamatan santri ini. Jumlahnya Ribuan. Bapakku adalah generasi pertama murid beliau.


Sebagai info tambahan, Singosari, adalah kecamatan yang diyakini sebagai pusat kerajaan Singosari. Peninggalan-peninggalan kerajaan pertama yang berhasil menyatukan Nusantara itu, hingga kini masih terawat baik. Candi-candi. Petilasan. Pemandian. Uniknya, Singosari juga dikenal sebagai kota santri, karena di sini ada puluhan pesantren, baik besar maupun kecil. Dua menteri agama di jaman berbeda, KH Masykur, dan KH Tholhah Hasan; berasal dari kecamatan ini.

Meski namaku Ali, tapi di kampung, aku justru beken dengan panggilan "Alim". Aku tak tahu, darimana nama panggilan itu berasal. Nama itu begitu melekatnya. Sampai, bahkan, jika Anda datang ke kampungku mencari nama "Ali", dijamin banyak orang tak tahu. Tetangga-tetanggaku akan meyakinkan lagi dengan "oh, goleki Alim a?"  

Desa wonojati yang kini jadi Kelurahan Pagentan, terletak di pusat Kecamatan Singosari. Letaknya di ujung utara Kabupaten Malang. Daerah yang diapit oleh gunung Arjuna di sebelah barat, dan Gunung Semeru di bagian Timur. Udaranya sejuk khas daerah pegunungan. Masyarakat desaku, kebanyakan berprofesi sebagai petani dan pedagang.

Di bawah pelukan dua gunung itulah aku menghabiskan sebagian besar umurku. Hidupnya di antara hijaunya persawahan dan riuhnya pasar. Sebagaimana umumnya orang Malang yang gila bola, masa kecil hingga remaja, bersama kawan-kawan, banyak kuhabiskan di lapangan bola desa setempat. Aku memang seorang penggila bola.
 
Bahkan dulu, cita-citaku ingin menjadi pemain bola profesional. Namun cita-cita itu pupus karena bapak tidak menyetujuinya. Aku ingat satu kali, ada pemandu bakat dari kota Malang, mengajakku bergabung dengan IM (Indonesia Muda). Sebuah klub bola yang banyak melahirkan pemain-pemain profesional untuk Persema Malang. Ketika tawaran itu datang, aku hanya butuh sepatu bola saja untuk bisa gabung. Namun apa daya, gayung tak bersambut, sampai dengan waktu yang ditentukan IM, bapak ogah membelikan aku sepatu.

Tawaran lain datang selepas aku lulus SMP. Sebuah klub dari Bali, Perseden Denpasar, memintaku untuk bergabung. Perseden sendiri, saat itu berkompetisi di Divisi 2 Nasional. Namun, lagi-lagi bapak tak mengijinkannya. Ia beralasan, aku terlalu kecil untuk bermain dan tinggal di Bali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun