Kenapa Menteri ESDM dan jajarannya sangat ngotot untuk membangun kilang gas di Blok Masela sesuai dengan keinginan Inpex Jepang dan Shell Belanda?
Sebelum memulai pelunusuran lebih lanjut terhadap 2 perusahaan (Inpex Jepang dan Shell Belanda) yang memegang kontrak Blok Masela di Maluku tersebut, bagaimana sebetulnya kiprah kedua perusahaan tersebut di negeri ini. Ternyata, keberadaan Inpex dan Shell ini sudah puluhan tahun di negeri ini. Bahkan untuk Shell Belanda, sejak zaman kolonialisme sudah beroperasi di negeri ini. Soal bagaimana sejarah kedua perusahaan yang saat ini memiliki kontrak di Blok Masela ini, silahkan baca “Inpex-Shell, Lahir, Tumbuh, dan Menjadi Besar di Indonesia”
Sedikit memberi latar belakang terhadap proses yang terjadi dibalik rencana pengolahan Blok Masela yang memiliki cadangan cukup besar hingga dapat diolah hingga 70 tahun kedapan ini, sesungguhnya Inpex Jepang sebagai investor terbesar (65%) pernah menyampaikan POD I pada 2010 lalu, cadangan terbukti Blok Masela hanya 6,05 triliun kaki kubik (tcf) dan kapasitas FLNG 2,5 juta ton per tahun selama 30 tahun. Adapun produksi gas hanya 400 mmscfd, dan kondensat 8.100 barel per hari (bph). Blok ini diperkirakan akan berproduksi pada 2019.
Dalam POD II Inpex dan Shell untuk Blok Masela dengan cadangan yang terbukti sebesar 10,73 tcf tersebut, selain harganya sangat mahal dibandingkan dengan FLNG Prelude di Australia juga tidak menyertakan skema hilirisasi dari gas alam yang ada di Masela melalui pembangunan industri petrokimia.
Terkait soal biaya investasi, seorang doktor lulusan dari University of Texas “Haposan Napitupulu” mengatakan, seperti yang dilansir oleh moneter.co.id bahwa “jika mengacu kepada biaya LNG Laut di Prelude, Australia, diperkirakan biaya pembangunan skenario kilang LNG laut sekitar USD 23–26 miliar”. Sedangkan perkiraan biaya kilang LNG darat, mengacu kepada biaya pembangunan 16 kilang LNG darat yang telah terbangun di Indonesia dan satu kilang LNG yang masih dalam tahap perencanaan, yakni kilang LNG Tangguh Train 3, diperkirakan mencapai USD 16 miliar (termasuk biaya pembangunan jalur pipa laut USD 1,2 miliar dan biaya pembangunan FPSO sekitar USD 2 miliar).
“Sehingga, secara keekonomian skenario LNG Laut lebih mahal, yang akan berakibat tingginya cost recovery atau semakin berkurangnya pendapatan bagian negara, dibandingkan dengan kilang LNG darat yang biayanya lebih murah,” jelas Haposan Napitupulu kepada moneter.co.id.
Haposan mengungkapkan, pihaknya menduga bahwa tujuan investor membangun kilang LNG laut bukan karena faktor pendapatannya tergerus, melainkan untuk mendapatkan cost recovery setinggi mungkin dengan beberapa alasan.
Pertama, riset kilang LNG laut dilakukan oleh Shell yang sekarang merupakan leading player di pembangunan LNG laut, yang rencananya akan diimplementasikan untuk pertama kali di dunia di lapangan Prelude, Australia.
Sehingga jika kilang LNG laut akan diimplementasikan juga di Masela, maka proyek Masela akan menanggung biaya riset yang telah dikeluarkan oleh Shell.
Kedua, peralatan proses kilang LNG laut hanya dibuat oleh Shell, sehingga refrigerant-nya proyek kilang LNG laut di Blok Masela sebagai komponen utama proses LNG hanya akan disuplai oleh Shell, tidak ada pilihan lain.