Kalau kita analogikan dengan hal yang lebih sederhana, layaknya menyambut hari ulang tahun seseorang yang sangat special dalam hidup kita. Pun juga berlaku sama bagi mereka. Pada 10 malam terakhir di bulan ramadhan, mereka memasuki masjid menggunakan pakaian terbaik yang mereka miliki. Berpenampilan semenarik mungkin, dan memakai beberapa wewangian yang mengharumkan. Bersiap untuk menyambut datangnya lailatul qadar.
Sedangkan mengenai makna dari malam yang lebih baik dari seribu bulan, para salik menafsirkannya sebagai suatu keadaan yang memungkinkan untuk mendapatkan getaran energi yang tidak bisa diraih dalam beribadah di waktu lainnya. Bahkan ketika mereka beribadah dalam jangka waktu seribu bulan sekalipun, kenikmatannya tak mampu menandingi beribadah pada malam tersebut. Kira-kira seperti itulah yang dimaksud dengan malam yang lebih baik dari seribu bulan bagi para salik.
Orientasi para salik dalam beribadah memang begitu mendalam. Seperti yang tergambarkan dalam cerita-cerita para sufi. Ada satu cerita menarik yang mungkin bisa menggambarkan bagaimana konsep beribadahnya para salik. Ketika ada seorang sufi wanita bernama Robi'ah al-Adawiyyah yang sedang dalam keadaan ekstasye spiritual (red: jadzab).
Dia membawa obor dengan api menyala di tangan kanan dan setimba air di tangan kirinya. Dia berlari kencang sambil berteriak:
“Di mana surga berada .. ada di mana neraka ..??" dengan nada bertanya, dia berkali-kali meneriakkan kata-kata itu.
“Hai perempuan, apa urusanmu menanyakan letak surga dan neraka? Untuk apa juga kau membawa setimba air dan obor yang menyala?". Tanya seorang laki-laki kepada perempuan itu.
“Aku ingin membakar surga dengan obor ini dan aku akan memadamkan api neraka dengan setimba air ini. Karena orang-orang sudah menyembah dan beribadah kepada Allah bukan atas dasar rasa cinta kepada-Nya, bukan pula atas dasar ikhlas serta kesadaran tugasnya sebagai hamba, tapi semata-mata karena menginginkan surga. Banyak pula orang-orang yang menyembah Allah bukan karena ingin memperoleh ridlo-Nya, tapi karena takut akan sengatan siksa panas api neraka,” jawab perempuan itu dengan nada marah dan kesal.
Mengetahui tentang bagaimana orientasi para salik dalam beribadah seharusnya membuat kita sadar, betapa selama ini kita dalam beribadah masih penuh dengan kalkulasi untung dan rugi. Memang hal semacam itu tidak dilarang dalam agama -selama orientasinya masih pada teritorial akhirat dengan kalkulasi surga dan neraka.
Tapi apakah kita tidak malu, ketika kelak di padang mahsyar kita dikumpulkan menjadi satu atas nama umat manusia, mulai dari umatnya Nabi Adam sampai umat Nabi Muhammad, menunggu tibanya hari perhitungan dari setiap diri, dimana setiap manusia akan melihat keadaan manusia lainnya, yang setiap dari mereka akan di kumpulkan dalam berbagai macam kelompok sesuai dengan pangkatnya masing-masing, dan posisi kita berada pada rombongan besar dengan spanduk bertuliskan Rombongan Hamba Pedagang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H