Sudah menjadi kebiasaan dikalangan umat Islam untuk pergi ke masjid pada pertengahan malam terakhir ketika sudah memasuki malam likuran di bulan ramadhan. Aktifitas yang mereka lakukan pun berfariasi, mulai dari shalat witir berjamaah, membaca al-Qur'an, zikir, dan i'tikaf di dalam masjid semalam suntuk sampai tiba waktu sahur.
Tak lain yang mereka buru adalah keutamaan di malam lailatul qodar, yang konon katanya, ketika seseorang sedang beribadah dan bertepatan dengan turunnya lailatul qodar, maka orang tersebut sama halnya dengan beribadah selama seribu bulan. Non stop tanpa istirahat. Menarik bukan?
Mengingat usia manusia yang belum tentu mencapai seribu bulan (83 tahun), sudah barang tentu banyak dikalangan umat Islam berbondong-bondong dalam upaya untuk meraihnya. Meskipun untuk menempuh itu, seseorang harus selalu stanby untuk berinteraksi dengan Tuhan melalui ritual-ritual suci.
Ada cara yang unik yang dilakukan seseorang dalam upaya untuk menempuhnya. Karena syarat untuk mendapatkannya haruslah dalam keadaan beribadah, maka orang tersebut memilih ibadah dalam bentuk i'tikaf di dalam masjid, yang bilamana tertidur sampai waktu sahur, masih terhitung sebagai ibadah.
Mungkin hal itu terjadi karena sudah saking capeknya orang tersebut beribadah semalaman, hinngga menyebabkan dia tertidur bahkan sampai mendengkur. Tapi juga tidak menutup kemungkinan bila dia memang sudah punya niatan dari awal seperti itu; memilih ibadah yang mudah dan menyenangkan. Bisa dikatakan hanya sekadar pindah tempat tidur, yang awalnya tidur di kamar lalu pindah ke masjid, asal ada niatan i'tikaf, sudah mendapat pahala beribadah selama seribu bulan. Enak kan?Â
Memang sah-sah saja melakukan hal tersebut, karena kalau sudah berniat i'tikaf di dalam masjid, meskipun pada akhirnya akan tertidur, tetaplah menjadi suatu ibadah. Akan tetapi, jika dari awal cara berfikirnya sudah seperti cara berfikir seorang pedagang, yang selalu mengkalkulasi untung dan rugi, bukankah hal semacam itu kurang baik dalam beragama. Bisa keblinger jadinya bila prinsip dalam ekenomi diaplikasikan dalam kehidupan beragama -usaha dengan modal sekecil-kecilnya, dan mendapat untung sebesar-besarnya.
Sedangkan di dalam al- Qur'an dan Hadist sendiri, tidak ada informasi  secara pasti kapan tepatnya lailatul qadar tersebut turun. Hanya saja, Nabi mengindikasikan turunnya malam tersebut pada 10 malam terakhir di bulan ramadhan -jIka merujuk pada hadits-hadits yang menunjukkan semakin giatnya Nabi dalam beribadah di 10 malam terakhir.
Pendapat yang paling masyhur di kalangan masyarakat adalah dimana malam itu akan turun pada bilangan ganjil di 10 malam terakhir. Ada pula yang lebih mengkhususkan di malam 27 ramadhan. Merujuk pada pendapat Ibn Abbas, yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata "hiya" pada ayat terakhir dalam surat al-Qadr itu adalah lailatul qadar itu sendiri.Â
Dan kata hiya tersebut, tepat pada uratan ke 27 dari 30 kata yang terdapat dalam surat al-Qodr. Dan menariknya, surat itu terdiri dari 30 kata yang sesuai dengan idealitas jumlah hari di bulan ramadhan.
Berbeda halnya dengan pendapat para salik atau kaum sufi. Dalam menanggapi ihwal lailatul qodar tersebut, mereka menganggap bahwa malam itu adalah malam kemuliaan dan kehormatan. Lailatul qadar adalah malam di mana al-Quran diturunkan. Maka sudah sepantasnya umat Islam menyambut malam itu dengan ritual-ritual suci sebagai rasa hormat mereka kepada al-Quran itu sendiri.