Pilihan ini juga menyangkut nilai mata kuliah magang saya. Bila saya berhasil memenuhi target silabus, saya bisa dapat nilai bagus. Sebaliknya, bila menyesuaikan murid mungkin saya akan dinilai tidak kompeten mengajar.
Di tengah kebimbangan yang belum usai, saya berbincang dengan seorang murid selepas kegiatan pelajaran. Ia mengeluhkan beberapa nilai mata pelajarannya yang jelek. Ketika saya tanya mengapa, si murid menjawab bahwa ia tidak suka dengan mata pelajaran tersebut.
Sebagai sosok guru, saya pun mencoba memotivasi si murid agar mencoba menyukai pelajaran yang bernilai jelek itu. Rupanya, ia malah memilih membiarkan mata pelajaran itu bernilai rendah. Ia memilih menekuni mata pelajaran yang ia sukai. Saya pun langsung mendukung pilihan murid tersebut.
Sejak itu, saya menurunkan standar idealisme mengajar ala silabus. Saya menyadari bahwa anak memang beragam.
Tapi, tidak mudah mengikuti passion semata dalam sistem pendidikan yang bersifat "seragam" kala itu. Pendidikan memaksa murid menjadi manusia serba bisa dan sesuai standar melalui sistem nilai dan kelulusan. Keunikan murid kurang diakomodir. Kondisi inilah yang tidak diketahui murid saya itu.
Keunggulan Kurikulum Merdeka
Terhitung setelah delapan tahun program magang berlalu, Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim sekarang telah menyusun Kurikulum Merdeka. Sesuai dengan namanya, kurikulum ini bertujuan untuk mewujudkan Merdeka Belajar dengan memberi kebebasan kepada pendidik untuk menciptakan pelajaran berkualitas yang disesuaikan dengan kebutuhan serta lingkungan belajar peserta didik.
Kurikulum Merdeka memiliki 3 karakteristik, yakni:
- Mengembangkan soft skill dan karakter melalui projek penguatan Profil Pelajar Pancasila,
- Fokus pada materi esensial, relevan, dan mendalam sehingga ada waktu cukup untuk membangun kreatifitas dan inovasi peserta didik dalam mencapai kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi,
- Memberi keleluasaan bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan tahap capaian dan perkembangan masing-masing peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.
Saya melihat Kurikulum Merdeka mampu menjawab problematika pendidikan yang saya jumpai saat progam magang dulu. Kurikulum ini mengakomodir keunikan murid serta mendukung eksplorasi gaya mengajar pendidik. Keduanya tidak menjadi "objek" kurikulum yang kaku.
Menurut saya, "Merdeka" disini bukan berarti bebas tanpa arah dan aturan, melainkan bebas untuk "Berdaya". Seorang bisa dikatakan merdeka bila ia tidak terhambat untuk menjadi berdaya hingga batas maksimalnya.
Kurikulum Merdeka bisa membuat murid berdaya dengan cara berikut:
Pertama, Profil Pelajar Pancasila adalah soft skill penting di era 5.0 yang menekankan kolaborasi. Kebutuhan ini tak bisa diakomodir oleh kultur lama sekolah yang menekankan budaya kompetisi, bukan budaya kerjasama.
Hasilnya, sekolah malah menyuburkan persaingan yang menjadi bibit permusuhan dan tawuran. Padahal tantangan zaman ke depan adalah bagaimana membangun kecerdasan bekerjasama.
Secara evolusioner, keberhasilan manusia dalam bertahan hidup terletak pada kecerdasan bekerjasama. Sejak purbakala, manusia belajar bekerja dalam tim untuk menaklukan tantangan alam yang sangat keras.
Bekerjasama bukanlah keterampilan yang sederhana. Kerjasama membutuhkan kecerdasan sosial seperti integritas moral, etika, bergotong royong, mampu berpikir kritis, kreatif, serta terbuka terhadap perbedaan baik itu yang datang dari nusantara (Kebhinekaan) maupun global. Semua soft skill ini ada dalam Profil Pelajar Pancasila.Â
Layaknya bakat dan keterampilan lainnya, kecerdasan sosial itu ditumbuhkan dengan latihan dan praktik secara terus menerus. Bukan dengan wejangan, himbauan, apalagi kekerasan.
Pengembangan karakter berkaitan erat dengan kesejahteraan murid ke depan, sebab pintar saja tidak cukup untuk menghadapi kenyataan hidup.
Bahkan ada riset yang menyebut orang jenius cenderung tidak bahagia setelah lulus sekolah. Ada yang kehidupan pribadinya amburadul hingga menderita kemiskinan. Hal itu disebabkan mereka tak punya kecerdasan sosial seperti kemampuan berkomunikasi, bergaul, mengendalikan diri, atau kesulitan menyesuaikan diri dengan komunitasnya. Akibatnya, ia dijauhi orang awam dan rentan gagal membangun hubungan sosial. Mereka tak berdaya dalam masyarakat. Inilah yang membuat kejeniusan berubah menjadi kelemahan fatal.
Tentu kita tak ingin mencetak orang jenius tapi hidup tidak bahagia bukan?
Kedua, fokus pada materi esensial dan relevan memberi kebebasan pendidik untuk menciptakan gaya mengajar yang sesuai dengan kodrat dan fase perkembangan murid. Guru tak perlu kebut-kebutan dalam mengajar atau menjejali anak dengan puluhan materi yang tidak perlu.
Guru memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan pendalaman materi dan mengidentifikasi pendekatan mengajar yang cocok dengan tipe gaya belajar anak. Guru juga bebas memodifikasi dan memilih materi yang relevan dengan kebutuhan belajar muridnya. Akhirnya, kemungkinan anak untuk memahami materi pelajaran jauh lebih besar.
Di abad digital, kita tak lagi kekurangan informasi tapi malah berlebihan. Justru tantangan kita sekarang adalah membatasi diri dari deras arus informasi serta memilih informasi yang tepat dan bermanfaat bagi kehidupan personal kita. Begitu pula dalam pendidikan.
Materi yang esensial dan relevan dengan kodrat murid memiliki kemungkinan lebih besar dalam mendukung tumbuh kembang potensi murid hingga titik maksimal. Inilah kemerdekaan.
Selain itu, fleksibilitas Kurikulum Merdeka juga memberi keadilan bagi sekolah yang masih memiliki keterbatasan fasilitas dan beragam kondisi untuk bebas menyesuaikan.
Ketiga, kontekstualisasi pelajaran dengan kehidupan lokal melatih anak menjadi problem solver di masyarakatnya. Tak mustahil sekolah dan masyarakat dapat berperan besama sebagai fasilitas belajar murid dalam memecahkan persoalan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Inilah kemerdekaan.
Misalnya, murid yang berasal dari masyarakat petani bisa diajari dengan pengetahuan yang relevan dengan kehidupan tani. Murid dapat diajak untuk mengidentifikasi problem petani lalu mencari pengetahuan apa yang berguna untuk memecahkan masalah tersebut.
Guru dapat mendorong murid untuk mendayagunakan pengetahuan alam, sosial, ekonomi, hingga teknologi informasi guna memberdayakan masyarakat tani yang mungkin juga menjadi profesi orang tua murid. Ini hanya salah satu contoh.
Kontekstualisasi membuat pelajaran sekolah tidak menjadi "benda asing" yang tidak diketahui fungsinya. Kontekstualisasi juga memberi keadilan bagi kultur Indonesia yang sangat beragam dari Sabang sampai Merauke dalam menyelenggarakan pendidikan. Keleluasaan pendidikan merupakan keniscayaan dalam kultur Indonesia yang beragam.