Oh Hatiku!
Apakah aku ini orang sakit? Apakah hanya aku yang merasa aneh seperti ini? Cobalah simak sejenak apa yang kualami. Hal ini terjadi sejak beberapa bulan lalu ketika aku menggantikan tugas menjual buah hasil panen kelompok tani yang sebelumnya dijalankan temanku. Dia mengambil cuti panjang karena ibunya yang sedang sakit.
Sebagai pedagang buah keliling, aku mengitari kota Purwokerto setiap hari untuk menawarkan buah organik, salah satunya adalah pisang. Jalan raya, gang perumahan maupun sudut perkampungan kota Purwokerto tak luput dari jejak-jejak roda motorku.
Aku tetap berjualan, tak peduli hari itu terik atau hujan. Tak ada waktu untuk mengasihani diri sendiri sebab banyak pedagang kecil yang bernasib serupa. Hal ini membuatku mudah melupakan rasa lelah atau patah semangat ketika pulang tanpa sepeser uang.
Aku selalu merasa kuat dengan "imajinasi" nasib bersama ini. Namun ada satu hal yang sering membuat tubuhku lesu mendadak, yaitu ketika aku tak sengaja melihat pengemis kota. Hal aneh ini mulai kusadari akhir-akhir ini, sebab sebelumnya aku jarang keluar ke kota.
Aku merasa diriku terlalu mudah tersambar segala kejadian yang melintas di mataku. Hatiku terlalu cepat menyerap suasana batin orang-orang di sekitar. Coba bayangkan bagaimana rasanya memasukan segala rupa ketegangan, keputusasaan, kecemasan seluruh manusia di pasar Wage akibat kelesuan ekonomi selama pandemi Covid-19?
Tentu hati yang lemah ini rasanya hampir meledak. Parahnya, rasa ini harus kuulangi setiap hari. Dari sekian rasa yang menyiksa itu, melihat pengemis adalah yang paling memukulku.
Pernah suatu ketika aku melihat pengemis yang menderita cacat kaki hendak menyeberang jalan raya. Saat itu, aku hendak menghidupkan motor di parkiran toko buah seusai menjual pisang kepada pemilik toko.
Jalan raya saat itu cukup lenggang untuk seorang pejalan kaki, namun bagi penyandang disabilitas, jalan itu cukup sulit dilalui. Kuduga, sudah agak lama pengemis itu tertahan di sisi jalan. Lalu lalang mobil dan truk besar hanya berjarak beberapa detik saja.
Menyeberang sendirian tentu berisiko sebab dengan posisi mengesot ditambah bajunya yang mirip warna aspal bisa membuat pengendara tak melihatnya. Terlebih jika pengemudi sedang memainkan ponsel, nyawa pengemis itu bisa melayang di jalan.
Spontan aku menghampirinya untuk membantunya menyeberangi jalan, namun ternyata tukang parkir di depanku sudah melakukannya terlebih dahulu untuknya. Pengemis itu tiba di sisi jalan setelah susah payah. Mobil dan truk pun berhenti menyebabkan kemacetan kecil. Aku hanya terdiam memandang.