Mohon tunggu...
Alif Syuhada
Alif Syuhada Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

https://alifsyuhada.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahagia dengan Berbagi Pisang, Sebuah Diari Singkat Desember 2020

31 Desember 2020   19:31 Diperbarui: 31 Desember 2020   21:23 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

****

Kejadian siang itu tak kunjung pergi di kepalaku. Bahkan ia justru beranak pinak di benakku sampai malam. Selama berhari-hari, aku terus bertanya-tanya, kekuatan batin macam apa yang membuatnya berani hidup menerima segala kemalangan? Bagaimana ia bisa hidup sendirian? 

Hidup tanpa istri yang mencintai, tanpa anak yang menyayangi, tak sempat merasakan nikmat belajar atau menguasai kemahiran tertentu serta tak ada kesempatan mengaktualisasikan hobi dan bakatnya. Bagaimana juga ia bisa bertahan hidup tanpa ada yang mau bersahabat dengannya?

Hari-hari pun berlalu dengan rasa lesu sebab pertanyaan-pertanyaan itu. Aku menjadi semakin sering memperhatikan pengemis-pengemis di kota. Kalian mungkin tahu peribahasa dari mata turun ke hati? Nah bagaimana jika sepasang mata yang kalian tatap adalah milik seorang pengemis? Aku merasa sedang terserap ke jurang neraka jika memandang kedua mata mereka. Betul! Hal itu pernah kualami.

Aku masih mengingat persis perasaan itu ketika banjir panen buah mangga menyerbu kota Purwokerto. Melimpahnya buah mangga membuat pasaran buah-buahan lokal hancur, termasuk pisang. Banyak toko buah dan pelanggan yang tak berminat membeli pisang-pisang yang kubawa. Hal ini membuatku putus asa.

Aku berhenti di emperan toko yang sedang tutup, sembari memikirkan satu keranjang penuh tumpukan pisang dengan kondisi sudah menguning dan lebam akibat terlalu lama dibawa kesana kemari beberapa hari.

Rasa kesalku memuncak, lalu aku mendapat gagasan untuk membuang saja tumpukan pisang yang menyiksa itu. "Lebih baik buang pisang daripada buang waktu" begitulah pikiran memprovokasiku. Aku pun langsung bergegas mencari tempat yang pas membuang pisang-pisang ini. Urusan laporan ke kelompok tani nanti bisa dipikirkan belakangan.

"What Is Hell?

I maintain that it is the suffering of being unable to love" - Fyodor Dostoevsky, The Brother Karamazov.

Aku terhenti di lampu merah perempatan jalan raya jantung kota Purwokerto. Langit kelabu, panas dan deru motor membuat kejengkelan di hati kian tak tertolong. Tak ada yang menguasaiku kecuali pikiran kacau di kepala sebelum seorang pengemis dengan kursi roda, seorang diri melintas di depan. Tentu saja, badanku pun menjadi lesu.

Pengemis itu berpindah dari mobil ke mobil dengan muka kecewa menerima penolakan dari para pengendara. Rasa pasrah, memprotes, ikhlas, menyumpah, marah dan sedih bercampur menjadi satu tersirat di mukanya. Aku terus mengikuti gerakannya yang kepayahan menggerakan kursi roda hingga ia tepat berada di hadapanku. Sepasang mata kami saling menatap beberapa detik dan kami saling terdiam.

Kedua mata pengemis bagai lubang yang menghisapku masuk ke dalam duka dan derita yang ia alami serta ia simpan sendiri di dalam hatinya. Aku merasa jatuh ke dalam neraka. Aku tidak tahu apakah ini hanyalah pantulan dari perasaanku saja? Namun yang jelas, beberapa detik ini begitu menyiksa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun