Sawah dan kebun yang biasa dilewati anak sewaktu sekolah tidak dihidupkan dengan cerita yang menggugah jiwa di ruang-ruang kelas. Jika ditanyakan cita-cita, hampir semua murid akan menjawab kelak mereka ingin menjadi pilot, dokter, polisi dll. Petani pun menghilang dari daftar masa depan mereka.
Buku sekolah banyak melukiskan gambaran keluarga dengan ayah bekerja di kantor, dan ibu tinggal di perumahan. Setiap minggu keluarga itu pergi bertamasya dengan mobil ke kebun binatang atau tempat wisata.Â
Sedihnya, Anak  tidak menemukan orang tua mereka yang petani di buku-buku pelajaran. Muatan pelajaran yang asing dengan dunia tani dan desa itu menyebabkan anak tidak memiliki kecintaan pada orang tua mereka dan pekerjaannya.
Hal yang sama juga terjadi dalam tayangan favorit anak di televisi. Tidak ada Bisma dalam serial kartun mereka. Petani juga tidak muncul sebagai superhero favorit mereka di televisi.Â
Sayur mayur petani bukan formula ajaib yang membuat superhero mereka mampu mengalahkan monster jahat. Begitu pula dengan iklan jajanan anak yang sangat kuat dengan citra gaya hidup kota.
Petani termarjinalkan oleh pendidikan dan budaya. Proses itu berjalan terus menerus dari zaman wayang hingga televisi. Kita pun dapat menerka, apakah masih ada sosok Minke yang begitu mengagumi petani saat anak masuk universitas? Data riset justru menunjukan penurunan drastis generasi petani.
Dwi Andreas Santosa, pengamat pertanian Institute Pertanian Bogor (IPB), dalam situs mediaindonesia.com (24/09/17) menyebut keluarga petani telah berkurang hingga 5 juta sejak 2003 hingga 2013.Â
Saya juga menyaksikan realita di lapangan ketika mengikuti beberapa kegiatan pelatihan pertanian. Hampir tidak ditemukan petani muda di acara tersebut. Saya juga menyaksikan realita di lapangan ketika mengikuti beberapa kegiatan pelatihan pertanian. Hampir tidak ditemukan petani muda di acara tersebut.
Lalu kemanakah perginya pemuda-pemuda desa itu? Sudah tentu ke kota, tempat dimana kehidupan dilukiskan di buku pelajaran dan televisi. Mereka yang hanya menamatkan pendidikannya hingga jenjang sekolah menengah atas (SMA) menjadi buruh di kota atau tenaga kerja indonesia (TKI) di luar negeri.Â
Banyak desa-desa yang saya temui telah kehilangan generasi mudanya. Jika saya tanya kemanakah perginya pemuda-pemuda itu, masyarakat desa menjawab para pemuda merantau di kota.