Rantai kemiskinan yang menjerat leher harus diganti dengan rantai gotong royong berupa suasana hidup warga yang saling mengulurkan tangan dan bahu membahu menciptakan kesejahteraan bersama secara mandiri. Hal itu dapat dimulai dengan menanamkan rasa gotong-royong kepada anak para penerima PKH.
Generasi anak penerima PKH yang cerdas tentu bukan hanya menjadi aset keluarga atau bangsa, melainkan juga lingkungan desanya. Kita dapat membayangkan jika generasi anak PKH itu kelak menjadi dokter, ilmuwan, insinyur, dan guru bersepakat memajukan kehidupan desanya. Tentu negara kita akan memiliki jutaan desa maju yang secara otomatis akan memperkuat kedaulatan bangsa dan negara itu sendiri.
Hal ini akan berbeda jika rasa gotong-royong tidak tertanam kuat pada generasi anak PKH. Setelah menjadi cerdas, mereka hanya akan berkarir atau mencari kerja di kota dan meninggalkan desanya. Tidak adanya rasa sosial menyebabkan kembali peningkatan angka urbanisasi dan kesenjangan antara kota dan desa. Kampung halaman mereka kembali menjadi terbelakang dan minim produktifitas sebab tidak ada anak muda cerdas yang mau memajukan desanya.
Jika Kemensos telah berhasil memutus kemiskinan melalui "bantuan" sosial PKH, maka menanamkan "rasa" sosial pada generasi anak PKH menjadi tantangan selanjutnya. Begitu pula juga dengan pendamping PKH.Â
Jika kini dapat menampilkan berbagai prestasi anak penerima PKH kelak ditantang untuk menampilkan peran anak cerdas PKH terhadap kemajuan desanya. Melalui kebijakannya, Kemensos dapat menciptakan trobosan administratif menggalang anak PKH tersebut untuk memajukan desanya kelak saat sudah dirasa mampu.Â
Begitupula dengan para pendamping PKH, dapat memulai untuk merajut hati lembut anak-anak tersebut menjadi rantai besi solidaritas yang kuat guna memajukan desanya. Dengan demikian, kita akan menciptakan kesejahteraan rakyat yang tiada putus-putusnya seperti rantai sila ke 2 di sepanjang Sabang hingga Merauke.