Berdasarkan Undang-undang tentang Kesehatan Bab 1 Pasal (1) kesehatan adalah keadaan sehat seseorang, baik secara fisik, jiwa, maupun sosial dan bukan sekadar terbebas dari penyakit untuk memungkinkannya hidup produktif. Kesehatan setiap warga negara dijamin dalam undang-undang dengan penjaminan kehidupan yang baik, sehat, serta sejahtera lahir dan batin demi mencapai tujuan nasional yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pelayanan kesehatan oleh para staf medis berupa serangkaian kegiatan pelayanan secara langsung kepada perseorangan atau masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif.
Berkembangnya zaman, tentunya diperlukan adanya perubahan dan perkembangan dalam segala bidang. Tidak terlepas dari itu, layanan kesehatan diharapkan ikut andil dalam menghadapi kemodernan zaman dalam rangka memberi layanan kesehatan yang lebih baik. Layanan kesehatan presisi sedang digemakan agar segera terwujud di Indonesia. Presisi dalam layanan kesehatan tidak terlepas dari sistem kedokteran presisi. Dengan kedokteran presisi, Dante Saksono, Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia (Kompas 16/01/2023) mengatakan bahwa pasien memungkinkan memperoleh pelayanan yang lebih sensitif, diagnosis yang tepat, dan tindakan serta pemberian obat yang lebih tepat.
Kedokteran presisi merupakan kolaborasi antara ilmu genetika medis, teknologi kecerdasan buatan (AI), psikosial, dan pemahaman gaya hidup. Terwujudnya pelayanan kesehatan presisi di Indonesia diperlukan mengingat Indonesia bangsa besar dengan masyarakat plural. Keberagaman etnis yang ada di Indonesia merupakan suatu peluang terwujudnya layanan kesehatan yang presisi. Pada dasarnya, manusia tersusun atas karakteristik DNA yang berbeda. Selain itu, perbedaan etnis dan budaya yang ada juga berpengaruh terhadap respons seseorang akan tindakan medis.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam pada tahun 2018 (kompas/16 /01/2023), keragaman etnis di Indonesia berpengaruh terhadap perbedaan respons akan infeksi Helicobacter pylory yang merupakan penyebab penyakit lambung. Etnis Papua, Bugis, dan Batak memiliki respons baik bahkan tinggi terhadap antibiotik yang diberikan. Namun, hal sebaliknya terjadi pada etnis Ambon, Tionghoa, Bali, dan Jawa yang resistan terhadap antibiotik tersebut. Temuan tersebut membuktikan adanya faktor lain yang mempengaruhi respons seseorang terhadap penanganan tertentu.
Layanan kesehatan presisi melalui kedokteran presisi memanfaatkan kecanggihan teknologi seperti algoritma dan AI untuk mendiagnosis pasien secara individual. Melalui kecanggihan teknologi, DNA, dan genom dapat dipetakkan terhadap kondisi lingkungan, gaya hidup, dan karakteristik lainnya sehingga didapatkan diagnosa penyakit yang tepat. Pengembangan teknologi AI dalam kedokteran presisi juga berguna sebagai preventif penyakit melalui diagnosa genetik dan gaya hidup pasien sehingga akan terdeteksi kemungkinan penyakitnya yang kemudian dapat dilakukan aksi pencegahan.
Pengembangan layanan kesehatan presisi di Indonesia belum dapat terealisasikan. Berdasar pada indeks kesehatan se-Asia Pasifik pada 2020, pengembangan layanan kesehatan Indonesia berada di angka 29 dari rata-rata skor negara di Asia Pasifik yang berada di angka 51 (Kompas/16/01/2023). Indeks kesehatan ini berdasar pada konteks kebijakan, informasi kesehatan, kemampuan teknologi yang depersonalisasi, dan sumber daya manusia. Belum siapnya infrastruktur yang mewadahi menjadi faktor utama. Terwujudnya layanan kesehatan yang presisi memerlukan teknologi tingkat tinggi yang dapat mengidentifikasikan karakteristik individu hingga sedetail mungkin.
Hal ini tentunya membutuhkan dana yang tidak kecil. Besarnya dana yang dibutuhkan dalam mewujudkan layanan kesehatan yang presisi menyebabkan terhambatnya realisasi layanan ini di Indonesia. Selain biaya yang besar, kesiapan SDM di Indonesia dalam kemajuan teknologi masih perlu ditingkatkan. Riset yang dilakukan oleh Bank Dunia tahun 2018, Indeks Sumber Daya Manuisa (Human Capital Index) di Indonesia berada di peringkat 87 dari 157 negara dengan nilai HCI 0,53. Human Capital Index merupakan ukuran yang menyatakan kondisi pengetahuan, keterampilan, dan kesehatan untuk mendukung produktivitas SDM. Hal tersebut menyebabkan Indonesia tidak dapat segera mentransformasi layanan kesehatan dengan teknologi canggih karena sumber daya manusia yang belum mumpuni.
Sumber
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan.
https://app.komp.as/wv9YnA9MaqDnXhis7