Pembangunan ruang publik sebagai salah satu infrastruktur kota adalah wujud pemerintah dalam meningkatkan pelayanan publik dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Namun seringkali pembangunan yang sudah ada terasa kurang efektif karena pada akhirnya tidak terlalu dimanfaatkan masyarakat, bahkan ada yang disalahgunakan sehingga melenceng dari fungsi awal ruang publik tersebut.
Fenomena ruang pedestrian untuk parkir motor atau PKL, pedestrian yang sepi pejalan kaki, car freeday yang mengganggu lalulintas, taman kota yang sepi, hingga rumah susun yang kosong penghuni, adalah sebagian potret bagaimana ruang publik sudah beralih fungsi atau disalahgunakan fungsinya, meskipun tidak semuanya seperti itu. Pertanyaannya adalah mengapa fenomena ini terjadi terus menerus, bagaimana mengatasinya?
Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan bisa menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya efektivitas ruang publik. Pihak pengambil kebijakan atau yang berwenang membangun ruang publik telah melakukan banyak pembangunan, namun seringkali kurang memperhatikan faktor sosial.
Kurang perhatian ini misalnya bisa dalam bentuk konsep ruang yang tidak sesuai kebutuhan pengguna nantinya. Contohnya adalah pedestrian (ruang pejalan kaki) yang naik turun sehingga melelahkan, tidak adanya guiding block atau hand rail di ruang publik sehingga menyusahkan kaum difabel mengaksesnya, atau lebar pedestrian yang terlalu sempit sehingga tidak mampu mengimbangi kepadatan pejalan kaki yang lewat.
Bentuk kurang perhatian yang lain adalah kurang sosialisasi kepada masyarakat tentang maksud dibangunnya ruang publik tertentu. Lingkungan tertentu dalam kota tiba-tiba dibongkar dan dibangun sesuatu yang baru sehingga kadang masyarakat menjadi kaget dan berfikir “eh, itu mau dibangun apa ya?” atau “wah ga nyangka jadi kayak gitu”.
Terlepas dari positif atau negatif fungsi ruang publik nantinya, masyarakat relatif tidak tau konsep awal atau maksud dibangunnya ruang publik itu. Karena ketidaktauan itu bisa jadi masyarakat kurang melirik keberadaan ruang publik sehingga menjadi sepi, padahal tujuan awalnya adalah agar ruang publik tersebut ramai pengunjung.
Contohnya adalah taman kota yang sepi, bahkan malah dimanfaatkan sebagian kaum muda untuk mojok pada malam hari, di ruang-ruang gelap di sudut tertentu taman kota.
Sebenarnya media sosial dapat dimanfaatkan untuk mensosialisasikan kepada masyarakat tentang konsep pembangunan ruang publik sebelum dilakukannya pembangunan atau konstruksi. Di media sosial pemerintah misalnya dapat menunjukkan gambar 3 dimensi atau 2 dimensi rancangan ruang publik yang akan dibangun, konsep ruangnya bagaimana, tujuan dibangunnya apa, dan apa manfaatnya bagi masyarakat.
Selain itu dengan media sosial, masyarakat dapat juga memberikan komentar atau masukan terhadap rencana ruang publik yang dipublikasikan pemerintah lewat media sosial tersebut. Dengan begitu kekurangan-kekurangan baik rancangan, konsep, ataupun bagian lain bisa diperbaiki sebelum dilakukan tahap pembangunan nantinya.
Meskipun begitu, perlu disadari juga bahwa masyarakat kita sangat heterogen. Dalam konteks pembangunan ruang publik, heterogenitas dalam hal persepsi atau pandangan masyarakat menjadi hal yang sangat berpengaruh pada seberapa efektifnya ruang publik dibangun.
Ada masyarakat yang memang peduli dengan pembangunan lingkungan sehingga apapun bentuk pembangunan termasuk ruang publik, kelompok masyarakat ini akan dapat memanfaatkan secara positif. Namun disisi lain, ada masyarakat yang memang tidak peduli pada pembangunan lingkungan, mau ruang publik itu tidak dibangun atau dibangun, tidak akan berpengaruh apa-apa untuk kehidupannya.
Tidak dibangun tidak apa-apa, dibangun alhamdulillah. Yang menyedihkan adalah yang berfikir misalnya ada taman kota dibangun, itu bisa menambah tempat baru untuk bermesra-mesraan. Jika sudah begini, apakah masih relevan menyalahkan pembangunan yang kurang partisipatif?
Pembangunan ruang publik sebagai produk infrastruktur mutlak diperlukan dan ditingkatkan baik kualitas dan kuantitasnya. Dasar pemikirannya adalah kualitas lingkungan yang lebih baik. Namun heterogenitas masyarakat juga perlu diperhatikan dan diambil jalan tengah yang relatif dapat mewadahi sebagian besar kebutuhan mereka, belum tentu semuanya.
Dalam konteks yang lebih luas, ruang publik dan infrastruktur lain berperan mempercantik wajah lingkungan Indonesia sehingga dapat bersaing dengan negara-negara lain yang mungkin sudah lebih dulu cantik. Lihat saja Uni Emirat Arab, Perancis, Hongkong, Jerman, atau Singapura. Bukan bermaksud membanding-bandingkan, namun bila pembangunan dan masyarakat tidak akur secara terus-menerus kita bisa tertinggal dari mereka, baik dalam pembangunannya ataupun masyarakatnya. Harkat dan martabat mulai dari individu sampai negara perlu dipertahankan bukan?
“Mari bentuk mindset membangun. Membangun lingkungan, membangun pribadi, membangun kerjasama dan saling pengertian, untuk Indonesia yang lebih baik”
Salam Pembangunan Indonesia ! ! ! !
Artikel Terkait :
http://anca45-kumpulan-makalah.blogspot.com/2011/12/aspek-sosial-dalam-pembangunan.html
http://www.tribunnews.com/bisnis/2012/10/03/pembangunan-infrastruktur-abaikan-sosial-ekonomi
http://infopublik.id/read/101518/menaker-dorong-pembangunan-infrastruktur-secara-padat-karya.html
http://jatengprov.go.id/id/newsroom/infrastruktur-sosial-lebih-susah-dibanding-infrastruktur-fisik
http://www.elisakaramoy.com/2013/11/peran-media-sosial-dalam-pembangunan.html
http://dipisolo.tripod.com/content/artikel/partisipatif.htm
http://admneg08029.blogspot.com/2010/10/pembangunan-partisipatif.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H