Majalaya, sebuah kota kecil di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pernah menjadi pusat perhatian nasional dan internasional. Di era 1950-an hingga 1980-an, kota ini dikenal dengan julukan "Kota Dollar", sebuah sebutan yang menggambarkan kejayaannya sebagai pusat industri tekstil di Indonesia. Kala itu, produk tekstil Majalaya begitu diminati hingga menembus pasar ekspor, mendatangkan devisa dalam jumlah besar.
Awal Mula Kejayaan Tekstil di Majalaya
Kisah Majalaya sebagai "Kota Dollar" bermula dari keuletan warganya dalam mengembangkan industri tekstil. Pada awal abad ke-20, kegiatan menenun kain di Majalaya masih bersifat tradisional, dilakukan oleh perempuan-perempuan desa menggunakan alat tenun sederhana. Industri ini awalnya menjadi pekerjaan sampingan yang dilakukan di rumah-rumah. Namun, kebutuhan pasar yang meningkat, baik lokal maupun nasional, mendorong komunitas lokal untuk memperluas skala produksi mereka.
Pemerintah kolonial Belanda melihat potensi ini dan mulai memperkenalkan alat tenun yang lebih efisien. Pada tahun 1930-an, alat tenun mekanis diperkenalkan, menggantikan alat tenun manual. Perubahan ini meningkatkan produksi kain secara signifikan, hingga mampu memenuhi permintaan pasar yang terus berkembang. Seiring meningkatnya skala produksi, pengusaha-pengusaha kecil di Majalaya mulai membentuk koperasi untuk meningkatkan daya saing. Koperasi ini berfungsi tidak hanya untuk membeli bahan baku seperti benang dan pewarna dengan harga lebih murah, tetapi juga sebagai wadah pemasaran produk tekstil Majalaya ke pasar yang lebih luas.
Dalam buku Industrieen in Ned. indie oleh Rothe disebutkan bahwa pada tahun 1937, sebuah koperasi yang didukung oleh pemerintah kolonial berhasil mengorganisir sekitar 50 pengrajin dengan lebih dari 800 alat tenun manual dan 40 alat tenun mekanis. Dukungan ini membantu para pengrajin menghadapi tantangan ekonomi dan tetap mempertahankan produksi dalam skala besar. Pengembangan jaringan listrik oleh Gemeenschappelijk Electriciteitsbedrijf voor Bandoeng en Omstreken (GESBO) menjadi salah satu faktor penting yang mempercepat mekanisasi di Majalaya. Dengan akses listrik, produksi tekstil menjadi lebih efisien, memungkinkan pengrajin lokal untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas produk mereka.
Pada era 1950-an, Majalaya mencapai puncak kejayaannya. Kain hasil produksi pabrik-pabrik di Majalaya menjadi salah satu produk ekspor andalan Indonesia. Dalam buku Sejarah Ekonomi Indonesia karya Anne Booth (1998), disebutkan bahwa kontribusi sektor tekstil terhadap ekspor Indonesia meningkat pesat dan Majalaya menjadi salah satu wilayah yang menyumbang devisa terbesar.
Dinamika Sosial dan Ekonomi di Era Keemasan
Keberhasilan industri tekstil membawa perubahan besar bagi masyarakat Majalaya. Kota ini berkembang pesat dengan munculnya pasar-pasar baru, sekolah, dan fasilitas umum lainnya. Pendapatan warga meningkat signifikan, menjadikan Majalaya sebagai salah satu daerah dengan tingkat kesejahteraan tertinggi di Jawa Barat pada masanya. Namun, di balik kemajuan ini, muncul juga tantangan sosial. Ketergantungan masyarakat pada industri tekstil membuat kota ini sangat rentan terhadap perubahan ekonomi global. Ketika persaingan tekstil internasional meningkat pada era 1980-an, Majalaya mulai kehilangan kejayaannya.
Kemunduran industri tekstil di Majalaya mulai dirasakan sejak akhir 1980-an. Faktor utama penyebabnya adalah meningkatnya persaingan global, kebijakan ekonomi nasional yang kurang mendukung industri kecil, serta minimnya inovasi teknologi. Selain itu, pencemaran Sungai Citarum akibat limbah industri juga memperburuk situasi, mempengaruhi kualitas hidup masyarakat sekitar.