Baru-baru ini, kanal Youtube BBC News Indonesia mengunggah sebuah video yang berjudul “Siswi Menantang Guru Soal Candaan Cabul: Pelecehan Seksual Itu Bukan Lelucon”. Video tersebut memperlihatkan Ain, seorang siswi asal Malaysia, melaporkan gurunya karena candaan seksis yang dilontarkan saat mengajar di kelas. Ain yang tidak terima lantas melaporkan guru tersebut kepada guru lain. Di akhir video, Kementerian Pendidikan Malaysia memberikan pernyataan bahwa guru yang bersangkutan dipindahkan ke tempat lain, sementara kasus ini masih diperiksa. Setelah peristiwa ini dibagikan oleh Ain di media sosial, akhirnya banyak warganet membagikan cerita pelecehan seksual yang dialami di sekolah.
Peristiwa ini hanyalah segelintir dari banyaknya peristiwa terkait candaan seksisme yang masih dinormalisasi di mana saja, tak terkecuali di lingkungan sekolah. Candaan seksis umumnya memiliki unsur mengeksploitasi tubuh, menghina, bahkan merendahkan kaum minoritas, yaitu perempuan sebagai objeknya. Candaan-candaan seksis ini lahir dari sistem sosial patriarki yang menganggap kaum laki-laki sebagai makhluk yang dominan, berperan sebagai subjek, dan adanya konsep kuasa laki-laki di atas perempuan. Candaan seksis tidak memandang siapa saja pelakunya, bahkan tak jarang pelakunya adalah pendidik seperti kasus yang sudah saya paparkan sebelumnya.
Candaan seksis umumnya dilontarkan oleh mereka yang bertujuan untuk sekadar bercanda atau mencairkan suasana, tetapi hal yang sering kali dilewatkan oleh para pelaku adalah imbas dari candaan seksis tersebut. Sering kali, para pelaku menggunakan dalih, “Ah, cuma bercanda” atau “Gitu aja baper”. Dalih seperti ini hanyalah sebagai pembelaan dan pembenaran atas guyonan yang mereka lontarkan. Padahal bila kita pahami lebih jauh lagi, para korban yang dijadikan objek candaan seksis akan mengalami trauma, merasa direndahkan, bahkan merasa tidak dihormati. Para korban yang terbiasa mendengar candaan seksis akan merasa bahwa guyonan tersebut memang wajar menimpa mereka karena mereka perempuan. Padahal, sebagaimana laki-laki, perempuan juga merupakan makhluk yang utuh dan bukan kodratnya untuk menjadi korban pelecehan seksual.
Saya melakukan wawancara online via WhatsApp kepada beberapa teman saya yang sudah menjadi alumni dari sekolah yang berbeda-beda. Dari wawancara ini, saya memperoleh beragam jawaban dari para korban candaan seksis. Namun, para pelaku candaan seksis relatif sama, yaitu teman kelas. Mayoritas dari narasumber juga mengatakan bahwa candaan seksis seperti ini dianggap biasa-biasa saja dengan teman-temannya. Mereka mengaku candaan-candaan seperti ini tidak dianggap sebagai masalah bahkan diabaikan oleh pelaku dan teman-teman lainnya.
Rika (18) mengaku bahwa dia pernah mengalami candaan seksis oleh teman kelasnya sendiri. “Bilang kayak Open BO gitu. Yaa gara-gara pas itu lagi viral (Open BO) jadi mayoritas orang mungkin nganggepnya wajar.” tulisnya. Sama halnya seperti Meeta (19), ia mengaku bahwa pernah mendapatkan candaan seksis dari teman kelasnya. Dan tidak hanya terjadi sekali, tetapi berkali-kali. Namun, Meeta merasa ada beberapa temannya ikut merasa tidak nyaman saat candaan seksis itu diucapkan oleh teman laki-lakinya. “Kayak bilang, ‘besarnya’. Ada yang ngelihat dari bangkunya terus mendecak ‘ckckck’ sambil geleng-geleng. Padahal aku ndak ngapa-ngapain, kita lagi belajar. Beberapa (teman) ada yang nganggep itu wajar, tapi ada juga yang risih.” tulis Meeta. Tidak hanya Meeta, Iren (18) juga pernah mendapatkan candaan seksis yang menyinggung bentuk tubuh tertentu dari teman kelasnya. “Seperti menyebut bentuk badan yang tepos. Temen-temen saya kayak biasa aja, kayak ngewajarin gitu.” tulisnya.
Masih berada di lingkungan kelas, Tira (18) sering mendengar candaan seksis yang diucapkan oleh gurunya saat proses belajar mengajar berlangsung. Namun, tidak hanya siswi yang menjadi korban, tetapi siswa juga pernah menjadi korban. “Guru sering ngomong kayak gini misalnya abis ngerjain tugas atau apa gitu, 'Masak kalah sama cewek'. Cowok-cowok gak ada yang maju. Atau perkataan, 'Ga usah, biarin yang cowok, cewek mana kuat.' gitu.” Ia juga menambahkan bahwa candaan seksis itu dianggap wajar oleh teman-temannya. Ia berpikir hal ini disebabkan karena kesadaran akan candaan seksis masih rendah, bahkan kemungkinan mereka tidak tahu sama sekali.
Lain halnya dengan Rista (18) dan Vega (18), mereka mengaku pernah menjadi korban candaan seksis saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Rista mengaku, bahwa pelaku candaan seksis tersebut adalah adik kelasnya. Rista tidak sendiri, beberapa teman perempuannya juga pernah menjadi korban.
“Ada adek kelas yang emang sering jahil, nggak ke aku aja, tapi ke temen cewek lain juga kadang dibercandain (seksis) gitu. Karena keseringan, aku kadang nggak respon. Asli ngeri. Karena pas SD kan banyak yang belum tau ya, namanya batasan atau privasi gitu, jadi kadang masih dianggap candaan. Itu inner child aku yang paling duka.” tulis Rista.
Sedangkan Vega menyebutkan, bahwa pelaku melakukan candaan seksis dengan cara memainkan alat vitalnya di depan para siswi. Ia menambahkan bahwa pelaku hanya berniat bercanda, tetapi Vega menyadari bahwa tindakan tersebut sudah berlebihan.
Selain itu, para narasumber juga merespon candaan seksis dengan cara yang beragam. Banyak dari narasumber hanya bisa diam atau ikut tertawa karena tidak ingin merusak suasana. Namun, ada beberapa narasumber yang akhirnya berani untuk memarahi atau melaporkan kejadian tersebut kepada gurunya.
Seperti Meeta yang akhirnya memberanikan diri untuk memarahi temannya, “Aku marahin dan bilang jangan kayak gitu lagi. Pokoknya aku sinisin sampe dia minta maaf.”
Sedangkan Rista mengaku pernah memberanikan diri untuk melaporkan kejadian tersebut kepada gurunya, “Ngeluh ke guru kalo kebetulan ada guru lewat. Pasti ditegur, tapi besoknya iseng lagi.”
Para narasumber juga menambahkan, apabila candaan seksis ini terus didiamkan dan dinormalisasi, hal ini dapat berdampak buruk bagi kondisi psikologi para korban. Beberapa narasumber juga menegaskan bahwa harus ada tindakan lebih lagi agar tidak ada korban candaan seksis yang terus bertambah.
“Bakal jadi kebiasaan yang terus-menerus digunakan even though candaan itu ada makna tersirat yang merendahkan, efeknya bisa kena ke kondisi psikologi seseorang.” tulis Tira.
Sedangkan Iren berharap adanya tindakan tegas bagi para pelaku dan sosialisasi yang memberikan penjelasan tentang candaan seksis ini, “Menurut saya sih harus ditindak tegas, sama kalo bisa banyakin sosialisasi tentang hal ini.” ungkapnya.
Setelah mengetahui pernyataan para korban, kita akan menyadari candaan seksis bukan hanya sekadar candaan, tetapi termasuk ke ranah pelecehan seksual. Candaan seksis akan membuat para korban yang dijadikan objek candaan akan merasa tidak nyaman dan tak sedikit yang mengalami beban psikologi. Para korban sampai kini merasa bahwa candaan seksis tersebut sebagai salah satu pengalaman pahit yang pernah mereka rasakan dan selalu diingat.
Para korban yang notabenenya saat itu masih berstatus sebagai pelajar sekolah, merasakan bahwa keberadaan mereka hanya sebagai objek candaan seksis yang secara tidak langsung direndahkan. Candaan seksis yang terus berkembang ini mencerminkan bahwa ada yang tidak beres pada kehidupan sosial di sekolah bila terus-menerus melazimkan hal-hal yang mendiskriminasi kaum minoritas.
Lingkungan yang mewajarkan seksisme ini mencerminkan bahwa sudah seharusnya kita menanamkan edukasi seksual kepada anak laki-laki, bukan hanya mengarahkan anak perempuan untuk berhati-hati agar tidak menjadi korban. Candaan yang berbau seksisme juga lebih baik tidak digunakan jika hanya sekadar bertujuan untuk “mencairkan suasana”. Sudah saatnya kita menggunakan candaan yang cerdas dan tidak menyinggung siapa pun agar terciptanya karakter yang saling menghormati satu sama lain di lingkungan sekolah.
Nama narasumber bukan nama sebenarnya untuk melindungi identitas.
Referensi:
Utami, Silfa Humairah, 2019. Guyonan Seksis Masih Dibawa Bercanda, Padahal Itu Kekerasan Verbal Lho. Bersumber dari Suara.com
Linggasari, Yohannie, 2016. Stop Jadikan Humor Seksis Wajar. Bersumber dari https://magdalene.co/story/stop-jadikan-humor-seksis-wajar .
Primastika, Widia, 2019. Ketika Lelucon Seksis Tak Lucu Lagi. Bersumber dari https://tirto.id/ketika-lelucon-seksis-tak-lucu-lagi-ec4W .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H