Seperti Meeta yang akhirnya memberanikan diri untuk memarahi temannya, “Aku marahin dan bilang jangan kayak gitu lagi. Pokoknya aku sinisin sampe dia minta maaf.”
Sedangkan Rista mengaku pernah memberanikan diri untuk melaporkan kejadian tersebut kepada gurunya, “Ngeluh ke guru kalo kebetulan ada guru lewat. Pasti ditegur, tapi besoknya iseng lagi.”
Para narasumber juga menambahkan, apabila candaan seksis ini terus didiamkan dan dinormalisasi, hal ini dapat berdampak buruk bagi kondisi psikologi para korban. Beberapa narasumber juga menegaskan bahwa harus ada tindakan lebih lagi agar tidak ada korban candaan seksis yang terus bertambah.
“Bakal jadi kebiasaan yang terus-menerus digunakan even though candaan itu ada makna tersirat yang merendahkan, efeknya bisa kena ke kondisi psikologi seseorang.” tulis Tira.
Sedangkan Iren berharap adanya tindakan tegas bagi para pelaku dan sosialisasi yang memberikan penjelasan tentang candaan seksis ini, “Menurut saya sih harus ditindak tegas, sama kalo bisa banyakin sosialisasi tentang hal ini.” ungkapnya.
Setelah mengetahui pernyataan para korban, kita akan menyadari candaan seksis bukan hanya sekadar candaan, tetapi termasuk ke ranah pelecehan seksual. Candaan seksis akan membuat para korban yang dijadikan objek candaan akan merasa tidak nyaman dan tak sedikit yang mengalami beban psikologi. Para korban sampai kini merasa bahwa candaan seksis tersebut sebagai salah satu pengalaman pahit yang pernah mereka rasakan dan selalu diingat.
Para korban yang notabenenya saat itu masih berstatus sebagai pelajar sekolah, merasakan bahwa keberadaan mereka hanya sebagai objek candaan seksis yang secara tidak langsung direndahkan. Candaan seksis yang terus berkembang ini mencerminkan bahwa ada yang tidak beres pada kehidupan sosial di sekolah bila terus-menerus melazimkan hal-hal yang mendiskriminasi kaum minoritas.
Lingkungan yang mewajarkan seksisme ini mencerminkan bahwa sudah seharusnya kita menanamkan edukasi seksual kepada anak laki-laki, bukan hanya mengarahkan anak perempuan untuk berhati-hati agar tidak menjadi korban. Candaan yang berbau seksisme juga lebih baik tidak digunakan jika hanya sekadar bertujuan untuk “mencairkan suasana”. Sudah saatnya kita menggunakan candaan yang cerdas dan tidak menyinggung siapa pun agar terciptanya karakter yang saling menghormati satu sama lain di lingkungan sekolah.
Nama narasumber bukan nama sebenarnya untuk melindungi identitas.
Referensi:
Utami, Silfa Humairah, 2019. Guyonan Seksis Masih Dibawa Bercanda, Padahal Itu Kekerasan Verbal Lho. Bersumber dari Suara.com