Mohon tunggu...
Alif IA
Alif IA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Gawi Manuntung Waja Sampai Kaputing

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Konflik Kashmir yang Berkepanjangan: Kritik Kosmopolitanisme

7 Juli 2023   18:50 Diperbarui: 7 Juli 2023   18:56 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa pra-kemerdekaan British India, wilayah Kashmir merupakan bagian dari British India dengan mayoritas penduduk Muslim. Namun menjelang kemerdekaan dari Inggris, pada saat pembagian wilayah antara India dan Pakistan, Maharaja Hari Singh dari Kashmir enggan bergabung dengan salah satu negara tersebut. Situasi ini memicu perebutan wilayah diantara kedua negara tersebut. Kemudian pada Oktober 1947, pemerintahan Pakistan yang baru merdeka, melancarkan invasi ke wilayah Kashmir dengan tujuan memperoleh kekuasaan atas daerah tersebut. Pasukan Pakistan didukung oleh militan lokal lalu membentuk apa yang kemudian disebut Pasukan Pembebasan Kashmir. Maharaja Hari Singh meminta bantuan kepada India, yang setuju untuk membantu dalam pertahanan wilayah Kashmir dengan syarat bergabungnya Kashmir ke dalam India. Maharaja menandatangani Perjanjian Persahabatan India-Kashmir, dan pasukan India dikerahkan ke wilayah tersebut untuk menghentikan invasi Pakistan.

Sejak saat itu, India dan Pakistan terlibat dalam berbagai konflik militer yang melibatkan wilayah Kashmir. Pada 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ikut campur dalam konflik tersebut dan menyepakati gencatan senjata antara kedua negara. PBB juga mengusulkan referendum untuk menentukan masa depan Kashmir, yang melibatkan pemilihan antara bergabung dengan India atau Pakistan, tetapi hal ini tidak pernah terlaksana.

Kemudian bagaimana pandangan kosmopolitanis terhadap sebuah konflik berkepanjangan yang melibatkan politik identitas seperti di Kashmir? Kosmopolitanisme biasanya menelusuri akarnya ke Yunani klasik. Khususnya, ketika Diogenes saat itu ditanya dari mana asalnya, dia dengan busung dada menjawab "Saya adalah warga dunia" (kosmou polite, atau warga kosmos). Pandangan ini menyangkal pentingnya polis atau negara-kota, yang saat itu merupakan institusi dominan dalam politik dan pembentukan identitas di Yunani, mendukung kosmopolis yang jauh lebih luas.

Kosmopolitanisme sering dikaitkan dengan stoikisme, sebuah aliran filosofis di Yunani klasik dan Roma, yang menawarkan model welas asih terkenal yang menggambarkan setiap orang di tengah serangkaian lingkaran konsentris yang mencakup domain sosial dan spasial kehidupan yang semakin besar. Dalam pandangan ini, kewajiban moral seseorang adalah yang terbesar untuk dirinya sendiri dan kerabatnya, kemudian meluas ke komunitas, kota atau wilayah, bangsa, dan akhirnya, seluruh dunia. Penganut kosmopolitanisme menganjurkan perluasan lingkaran terdalam ke luar untuk mencakup lebih banyak orang, termasuk orang asing yang jauh dari wilayah administratif suatu negara-kota.

Kosmopolitanisme mungkin tampak seperti latihan moral yang melamun dan tidak praktis, jika bukan karena alasan ontologis yang sangat nyata yang diberikan kepadanya oleh globalisasi. Bukan kebetulan bahwa kosmopolitanisme Pencerahan muncul tepat pada titik sejarah ketika ekonomi global muncul. Globalisasi - peningkatan volume, variasi, dan kecepatan arus internasional orang, modal, barang, dan informasi - telah menciptakan manusia yang saling ketergantungan yang belum pernah terjadi sebelumnya di antara masyarakat dunia, seperti yang dibayangkan Kant dua abad lalu. Salah satu akibatnya adalah batas negara yang semakin keropos. Proses ini tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga mencakup ranah budaya. Maraknya internet sekarang digunakan oleh separuh masyarakat dunia hanya berkontribusi mempercepat proses ini.

Salah seorang filsuf humanisme, Albert Einstein, yang juga seorang fisikawan terkemuka percaya pada pentingnya kebebasan individu. Baginya, kebebasan adalah nilai yang mendasar dalam membangun masyarakat yang baik. Dalam pandangannya, humanisme harus menghargai martabat setiap individu dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk mengembangkan potensi mereka secara penuh. Einstein juga mengkritik sistem otoritarian dan menyatakan bahwa kebebasan berpikir dan bertindak adalah prasyarat bagi perkembangan ilmiah dan kemajuan sosial.

Selain itu, Einstein mengekspresikan kekhawatiran tentang dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh teknologi dan kemajuan ilmiah jika tidak diarahkan oleh nilai-nilai etis yang manusiawi. Dia berpendapat bahwa humanisme harus memandu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mereka digunakan untuk kepentingan umum dan kesejahteraan manusia secara keseluruhan. Einstein juga menekankan pentingnya nilai-nilai moral dan empati dalam mendorong kerjasama dan perdamaian antarmanusia.

Dengan memahami konsep dari kosmopolitanisme dan humanisme, seharusnya 'masyarakat dunia' bisa menyadari bahwa manusia lain adalah masyarakat dunia juga, terlepas dari identitas apapun yang membuat adanya perbedaan. Konsep kosmopolitanisme sangat sarat akan konsep humanisme yang mengedepankan nilai dan kedudukan manusia yang bercakupan sangat luas. Perpecahan yang kemudian menimbulkan peperangan seharusnya dapat dihindari jika manusia tidak mengedepankan egosentris dari kepentingan nasional negaranya, seperti yang terjadi di Kashmir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun