Dalam beberapa tahun ke depan, dunia kerja akan mengalami perubahan yang sangat signifikan, terutama dengan prediksi bahwa 85 juta pekerjaan akan hilang pada tahun 2025 akibat kecerdasan buatan (AI), seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXII dan Seminar Nasional 2024 di Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (19/9/2024).
Angka ini menjadi sinyal bahwa kita harus bersiap menghadapi tantangan besar di dunia kerja yang semakin dipengaruhi oleh teknologi. Salah satu aspek yang perlu kita pahami adalah bahwa tidak semua pekerjaan akan hilang secara merata. Pekerjaan yang berulang dan bersifat manual, seperti di lini produksi, lebih rentan untuk digantikan oleh mesin. Sementara itu, pekerjaan yang membutuhkan kreativitas, empati, dan interaksi manusia cenderung akan tetap ada. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menganalisis jenis pekerjaan yang mungkin terancam dan mempersiapkan diri dengan keterampilan baru yang lebih relevan.
Pendidikan menjadi kunci utama dalam menghadapi perubahan ini. Institusi pendidikan di Indonesia perlu beradaptasi dengan kebutuhan pasar yang terus berubah. Program-program pelatihan yang fokus pada teknologi, seperti pemrograman dan analisis data, harus diperkuat. Selain itu, pendidikan tidak hanya berhenti di bangku sekolah, pembelajaran sepanjang hayat harus menjadi bagian dari budaya kita agar bisa bersaing di dunia kerja yang semakin kompetitif.
Di samping itu, kemampuan untuk beradaptasi juga sangat penting. Dalam dunia kerja yang cepat berubah, fleksibilitas dan kemauan untuk belajar hal baru akan menjadi nilai tambah. Keterampilan seperti kerja tim dan pemecahan masalah kompleks juga akan sangat dihargai. Hal ini mencakup tidak hanya keterampilan teknis, tetapi juga soft skills yang dapat meningkatkan kemampuan kita berinteraksi di lingkungan kerja. Kreativitas menjadi aset yang tak tergantikan di era AI. Mesin mungkin bisa melakukan tugas tertentu dengan efisien, tetapi kemampuan manusia untuk berpikir inovatif dan menghasilkan ide baru tetap tidak dapat digantikan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mengasah kemampuan kreatif melalui berbagai aktivitas, baik di bidang seni, desain, maupun kewirausahaan.
Dalam menghadapi ancaman ini, kolaborasi antara manusia dan mesin harus dioptimalkan. AI dapat meningkatkan efisiensi kerja, tetapi manusia tetap memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan dan implementasi ide-ide kreatif. Memahami cara berkolaborasi dengan teknologi akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif dan inovatif. Dampak sosial dari otomatisasi juga perlu menjadi perhatian kita. Pekerja dengan keterampilan rendah adalah kelompok yang paling rentan kehilangan pekerjaan. Oleh karena itu, program dukungan dan perlindungan bagi mereka harus diperkuat. Pemerintah, perusahaan, dan lembaga pendidikan harus berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan keterampilan.
Pemerintah memiliki peran penting dalam mengatasi tantangan ini dengan kebijakan yang mendukung pelatihan ulang dan pengembangan keterampilan. Regulasi terkait penggunaan AI dalam industri juga perlu diperhatikan agar tenaga kerja terlindungi. Upaya untuk menciptakan lapangan kerja baru di sektor yang tumbuh pesat juga harus diperkuat.
Individu juga harus mengambil langkah proaktif dalam merencanakan karier mereka. Mengembangkan keterampilan baru dan mencari peluang yang relevan akan sangat membantu. Partisipasi dalam kursus online dan seminar dapat memperluas pengetahuan serta keterampilan yang dibutuhkan di masa depan. Ancaman kehilangan 85 juta pekerjaan akibat AI bukanlah akhir, melainkan tantangan yang bisa diubah menjadi peluang. Dengan persiapan yang matang, kita dapat menyongsong tahun 2025 dengan optimisme dan keberanian untuk beradaptasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H