Pada Januari tahun lalu, Republik Demokratik Indonesia kembali meminta Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) mengutarakan pendapat terkait UU Perlindungan Anak.
Tentunya tak sebatas  menyuarakan pandangan tentang legislasi, LPAI juga mengangkat berbagai persoalan penting lainnya untuk menarik perhatian DPR. Poin-poin utama pembahasan di bawah ini telah saya rangkum agar juga menjadi topik di masyarakat. Yang pertama adalah anak-anak dan terorisme. Pasal 69B UU No. 35/2014 menjadi acuan kerja LPAI dalam mendampingi anak- anak yang terlibat jaringan teroris.Â
LPAI menilai, rincian bentuk perlindungan khusus bagi anak korban jaringan teroris yang diatur dalam Pasal 69B sudah cukup. Namun, menambahkan kata "korban" pada pasal tersebut dapat menimbulkan kebingungan mengenai anak mana yang seharusnya disebut sebagai korban: anak yang terluka atau bahkan terbunuh oleh aksi teroris, atau anak dari orang tua yang melakukan aksi teror. Anak atau anak yang terlibat dalam aksi terorisme.
Jika Anda membaca Pasal 69B dengan cermat, Anda dapat memahami bahwa bentuk perlindungan khusus ini cenderung menargetkan anak-anak dari orang tua teroris dan anak-anak yang melakukan tindakan teroris.Â
Jika tafsir ini benar, maka konsekuensi hukumnya adalah anak yang melakukan aksi teror tidak akan dihukum. Betapapun kejamnya perilaku mereka, mereka digolongkan sebagai korban masa kanak-kanak yang harus mendapat perlindungan khusus. Juga tidak mungkin mereka berstatus korban dan pelaku.
Kedua, eksploitasi ekonomi anak. LPAI merupakan salah satu organisasi yang secara aktif menentang audisi bulu tangkis yang diadakan oleh industri rokok. Penilaian LPAI menunjukkan bahwa insiden tersebut sangat terbukti mengandung konten eksploitasi anak. Eksploitasi itu sendiri bukan merupakan keluhan. Atas dasar itu, POLRI harus bisa segera melakukan penyidikan (dan penyidikan) tanpa menunggu melapor ke polisi, karena mereka tahu bahwa narasi "audisi bulu tangkis adalah eksploitasi" sudah ada di masyarakat. dikembangkan. Namun, LPAI tidak melihat adanya langkah konkrit dalam penegakan hukum terkait hal tersebut.
Di sisi lain, negara masih belum bisa memenuhi ketentuan Pasal 66 UU No 35/2014. Artikel ini berfokus pada perlindungan khusus anak-anak yang dieksploitasi. Padahal, selain memperjuangkan perlindungan anak melalui penggunaan klausul eksploitasi, negara juga harus memberikan eksploitasi atau setidaknya membahas perlindungan khusus bagi semua anak yang mengikuti audisi bulu tangkis, dan anak-anak tersebut juga menjadi korban eksploitasi.
Ketiga, akses dekat. Sebagian besar masalah anak yang masuk LPAI terkait dengan situasi setelah orang tuanya bercerai. Dalam hal ini, orang tua akan menonaktifkan hak akses anak sehingga anak tidak dapat berinteraksi dengan orang tua lain dan menjalin hubungan. Dengan angka perceraian yang terus meningkat di Indonesia, masalah akses tertutup diperkirakan akan semakin serius, Putusan peradilan tentang hak asuh anak pada dasarnya bersifat deklaratif, yang berujung pada komplikasi lebih lanjut. Sangat sulit untuk menangani masalah ini secara sipil melalui mediasi.
Karena peliknya penutupan akses,ada anak yang sampai meninggal dunia dengan mengenaskan disaat orang tuanya cekcok,tak sedikit masalah seperti demikian menuju LPAI yang sbelumnya dkatakan tetap oleh KPAI padahal tidak ada solusi yang nyata.
LPAI membangun kerangka piker dan hukum yang dilakukan dalam menangani masalah tutup akses.Intinya bahwa tertutupnya akses adalah masalah pidana yang mana berbeda dengan kasus kuasa asuh di hukum perdata.UU 35/2014 memuat pasal 76B tentang pelantaran dan perlakuan salah.Polisi mengakuisisi pasal tersebut belum dirumuskan dengan cara definitive.Pasal demikian juga tak bermuatan elaborasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H