Di kehidupan ini, semua tak ada yang benar benar sempurna, seperti halnya diriku di kehidupan keluargaku. Waktu terus bergulir, mengantar langkahku hingga dititik ini, meski kehidupan yang kini kutempuh bukanlah impian yang kubayangkan. Orang-orang bersorak bangga melihatku hingga sejauh ini, namun jauh di lubuk hati yang terdalam aku hanya berharap mentari esok membawa kehidupan sesungguhnya yang kuinginkan.
Sejak kecil, aku terpukau dengan kehidupan medis. Membayangkan diri berada di balik jas lab putih yang rapi dengan stetoskop yang menggantung di leher itu adalah suatu kebanggaan tersendiri. Namun, seiring beranjak dewasa harapan itu mulai dipertanyakan.Â
Ayahku adalah sosok seorang yang keras dan tegas selalu memiliki pandangan kehidupan untukku. Apa yang ia inginkan, harus kujalankan tanpa cela atau konsekuensi darinya akan kuhadapi. Suatu malam setelah ayah, ibu dan aku menyelesaikan makam malam kami berkumpul di ruang tengah. Ayah memandangku dengan penuh keyakinan,
"Nak, setelah kamu lulus nanti, kau harus mengambil jurusan hukum jadilah seseorang yang kuat dan meyakinkan seperti ayah dan ibumu."
Aku dengan perasaan menyayat di hati hanya bisa menuruti keinginan ayah dan ibu karena mereka tahu akan yang terbaik untukku.
Tibalah suatu saat ketika memilih jurusan di Universitas, aku berada di persimpangan jalan aku bisa saja menentang keinginan orang tuaku dan memilih jurusan kedokteran yang kuimpikan sejak lama. Namun, aku melihat wajah kedua orang tuaku seperti menaruh harapan kepadaku untuk menjadi sarjana hukum sedari aku dini. Akhirnya kuputuskan agar aku mengikuti keinginan kedua orangtuaku, karena bagiku melihat mereka bangga kepadaku aku turut bahagia meski aku menyimpan perasaan sedih tersendiri.
Bertahun-tahun di fakultas hukum adalah perjalanan yang sebenarnya tidak ingin kulalui. Setiap kali aku melintasi gedung fakultas kedokteran, ada rasa sesak yang sulit dijelaskan. Impian itu terus membayangiku. Aku memandang ada harapan besar agar aku juga turut berada di gedung fakultas itu. Malam-malam panjang telah kulalui sewaktu bertemu orang tuaku, ada perasaan yang tak terungkap, seperti ada jarak antara keberhasilan yang mereka lihat dan kenyataan yang kurasakan.
Suatu hari ketika aku menangani salah satu kasusku dan aku berhasil menang dalam kasus itu ayah dan ibu menyambut bangga kepadaku. Sungguh itu adalah momen yang paling berharga, mereka tersenyum dan bahagia seakan perjuanganku terasa sepadan. Nyatanya kehidupan yang tidak aku inginkan kujalani dengan perasaan bangga kedua orang tuaku.Â
Namun, di dalam hatiku ada rasa kosong yang tidak bisa kupungkiri. Meskipun aku berhasil menangani kasus itu dan berada di tengah pujian, bayangan lab putih dan pasien yang tersenyum masih menghantuiku. Setiap kali aku melihat rekanku dari Fakultas Kedokteran aku merasakan gelora yang lebih besar rindu pada impian yang terpendam menimbulkan kerinduan pada jalan hidup yang dulu ingin aku tempuh.
Suatu malam ketika hari yang melelahkan di pengadilan, aku pergi pulang menginjakkan kaki ke rumah. Ayah dan ibu sudah menunggu, mereka terlihat sangat bangga kepadaku akan kasus yang aku tangani waktu itu. Aku tersenyum tetapi aku bergetar memberanikan diri dan berkata, "Ayah, ibu sebenarnya bertahun tahun kehidupan ini... bukanlah jalan yang aku inginkan, sejak dahulu aku sudah menantikan akan gelar kedokteran. Namun, aku hanya terus merasa aku mengorbankan diriku untuk memenuhi harapan kalian."
Kedua orang tuaku terdiam, kebingungan dan perasaan sedih terlihat jelas di wajah mereka. Ayah akhirnya berujar pelan,