Pada masa kini, pesatnya pertumbuhan teknologi membawa banyak perubahan. Teknologi tidak cuma dijadikan sebagai alat komunikasi, tetapi pemanfaatannya melebar ke aspek- aspek interaksi sosial lainnya seperti kesehatan, pembelajaran, perdagangan, distribusi, perbankan serta transportasi. Akibatnya ialah banyaknya inovasi- inovasi baru yang menimbulkan bisnis-bisnis berbasis teknologi. Salah satu di antaranya adalah transportasi berbasis aplikasi, yang dikenal sebagai transportasi online, serta didukung oleh teknologi komunikasi lewat smartphone yang merupakan penggabungan segi jasa transportasi serta teknologi komunikasi( Damayanti, 2017). Dimana tadinya pelayanan jasa transportasi dilakukan secara manual yang memakan lumayan banyak waktu. Namun saat ini tidak seperti itu lagi, sebab pada masa saat ini ini muncul bermacam aplikasi pelayanan jasa transportasi berbasis online semacam Gojek, Grab, Uber, Indrive, Maxim, serta aplikasi yang lain.
Transportasi merupakan hal penting bagi sebagian masyarakat untuk mengatasi masalah kesenjangan jarak dalam melakukan aktivitasnya. Salah satu moda transportasi yang ada yaitu ojek. Adapun ojek yang beroperasi saat ini terdapat ojek konvensional dan ojek online. Konflik antara ojek pangkalan dan ojek online sudah ada sejak dimulainya transportasi berbasis teknologi ini. Pada awal-awal konflik biasanya ojek online akan berusaha menghindari konflik dengan tidak menggunakan atribut seperti jaket ataupun helm dan beroperasi seperti ojek pada umumnya, namun tetap menggunakan aplikasinya.
Keberadaan ojek online mendapat respon positif dari masyarakat sehingga menyebabkan jumlah ojek tradisional semakin berkurang. Akibatnya ojek tradisional menolak keberadaan ojek online yang kemudian menimbulkan konflik antara tukang ojek online dengan tukang ojek pangkalan di beberapa kota besar di Indonesia termasuk Bandung. Menurut Sourdin, konflik sangat mungkin muncul sebagai tanggapan atas pengenalan inovasi yang mengganggu. Aplikasi ojek online dapat dikatakan sebagai inovasi disruptif (Edy, 2017: 9-11). Pasalnya, aplikasi ojek online merupakan inovasi teknologi baru yang membuat layanan ojek lebih mudah diakses dan harga lebih terjangkau, sehingga mendorong masyarakat untuk beralih ke layanan ojek online. Banyak konflik yang muncul antara transportasi online dan transportasi yang tidak menggunakan aplikasi tradisional atau seluler. Akibatnya, para tukang ojek tradisional yang merasa keberadaannya terancam keberadaannya oleh para tukang ojek online kemudian mengambil tindakan untuk menangkal keberadaan para tukang ojek online sehingga menimbulkan konflik dengan para tukang ojek online. Konflik tersebut misalnya didasarkan pada anggapan atau persepsi dan kecemburuan para ojek pangkalan atau lalu lintas perkotaan, bahwa keberadaan ojek online menjadi penyebab sepinya pelanggan yang menyebabkan berkurangnya pendapatan yang mereka terima.
Konflik di balik keduanya adalah kecemburuan sosial dan ekonomi. Di manakah posisi ojek online karena menciptakan persaingan yang berujung pada hilangnya pelanggan ojek pangkalan? Ojek pangkalan takut dan cemburu jika pelanggan yang berlangganan layanannya kini beralih ke layanan ojek online, sejak saat itu konflik terus berlanjut. Salah satu cara untuk mengingkari keberadaan atau kemunculan ojek online adalah adanya spanduk yang menyatakan bahwa ojek online dilarang keras memasuki wilayahnya. Karena para tukang ojek mengatakan bahwa keberadaan mereka dapat mengurangi pendapatan mereka dan biaya jasa mereka relatif murah, banyak orang meninggalkan basis ojek dan beralih ke ojek online.
Ojek online menurut penulis merupakan 'korban', karena mereka menerima order atau pesanan dari konsumen, namun ketika menjemput justru mereka yang dianiaya oleh ojek pangkalan karena dianggap mengambil konsumen dari wilayahnya. Hal ini juga di akibatkan adanya prasangka yang sudah ada sejak revolusi ojek online di Indonesia. Dalam hal ini ojek pangkalan melihat kehadiran ojek online telah merebut konsumen di wilayahnya yang menyebabkan berkurangnya income yang mereka dapatkan. Belum lagi pelayanan yang diberikan oleh ojek online sangatlah baik. Dari sisi yang berbeda kehadiran ojek online dianggap merusak tatanan sosial yang sudah banyak terbentuk di ojek pangkalan.
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya sebuah konflik. Utamanya jika melibatkan sebuah kelompok maka umumnya yang berkonflik mempunyai latar belakang perbedaan dalam usaha pencapaian tujuan yang hendak dicapai oleh kelompok tersebut. Kasus ojek pangkalan dan ojek online ini memperlihatkan bagaimana tiap kelompok walaupun mempunyai tujuan yang sama yaitu kepentingan ekonomi namun cara dan usahanya dilakukan secara berbeda, dimana perbedaan itu disikapi dengan sifat persepsi curiga dan prasangka yang dinilai dari sisi dimana individu tersebut berada.
Konflik antara pengemudi ojek online dengan ojek konvensional berasal dari kekecewaan pengemudi ojek konvensional yang tuntutannya tidak terpenuhi yaitu tuntutan supaya ojek online tidak mengambil penumpang orang di wilayah mereka. Akibatnya, mereka mengungkapkan kekecewaan tersebut dengan melakukan tindakan ancaman dan kekerasan terhadap pengemudi ojek online sebagai bentuk penolakan terhadap keberadaan mereka yang akhirnya memunculkan konflik kedua kelompok tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H