Kisruh dalam tubuh kedua institusi penegak hukum KPK versus POLRI saat ini merupakan rentetan persoalan yang timbul kesekian kalinya sejak Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) didirikan pada tahun 2013 lalu.Perseteruan kedua lembaga ini selalu menjadi “Trending Topic” dalam berbagai pemberitaan media, merampok perhatian dan mempengaruhi psikologis publik. Konfrontasi kedua institusi ini muncul di permukaan sejak kasus korupsi yang membelit mantan Kabagreskim Mabes Polri Komjel Pol. Susno Duadji pada tahun 2009. Kala itu hubungan KPK dan POLRI memanas dengan nada dasar “cicak kok mau lawan buaya”. Selanjutnya istilah ini kembali mencuat saat KPK menangkap mantan Kakorlantas Inspektur Jenderal Djoko Susilo terkait kasus simulator SIM. Dan yang terakhir saat ini ketika Komjen Budi Gunawan(BG) ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi(rekening gendut). Perseteruan ini melahirkan interpretasi publik bahwa perseteruan“Cicak vs Buaya”masih berlanjut(Jilid 3).
Dari rentetan masalah diatas penulis lebih memperhatikan gejolak yang timbul sebagai implikasi dari perseteruan kedua intitusi penegak hukum ini.Pertanyaannya adalah mana yang lebih mempengaruhi persuasi publik saat oknum KPK dan POLRI menjadi tersangka? Coba telusuri Ketika dua pimpinan KPK yaitu Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah ditahan oleh pihak kepolisian pada tahun 2009. Gerakan massif dari berbagai penjuru negeri untuk mendukung KPK bisa dipastikan ada, diantaranya adalah gerakan yang dimotori oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Police Watch, Forum Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),masyarakat tani serta sejumlah aktivis gerakan antikorupsi berkumpul di kantor LBH Yogyakarta untuk mendeklarasikan gerakan itu. (Baca : Gerakan Prodemokrasi Dukung KPK Dideklarasikan)
Hingga kini ketika salah satuwakil ketua KPK Bambang Wijajatno ditangkap atas tuduhan yang tidak jelas oleh Mabes Polri, gerakan dukungan terhadap KPK dengan yel-yel “Save KPK”kembali bergejolak di Tanah Air. Sejak tanggal 23 Januari lalu, berbagai kalangan aktivis pegiat anti korupsi memadati gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bentuk dukungan massal beberapa saat pasca ditangkapnya Bambang Widjajanto oleh Bareskrim Mabes Polri. Tidak hanya itu,sehari setelah penangkapan BW, Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM) pun kembali membentuk gerakan save KPKpada tanggal 24 Januari. Dari pemberitaan media yang ada memastikan bahwa seruan berbagai kalangan pegiat anti korupsiuntuk melakukangerakan sebagai bentuk dukungan terhadap KPK hampir massif dilakukan. Demikianlah seterusnya.
Dari berbagai gejolak yang tengah terjadi, pertanyaan yang timbul kemudian adalah adakah gejolak publik yang timbul ketika pihak POLRI menjadi tersangka? Ada apa dengan lembaga pengayom masyarakat yang satu ini ? Masyarakat kok adem-ayem saja? Penulis tidak mengklaim bahwa sama sekali tidak ada gejolak. Namun persuasi publik yang lebih dominansaat ini adalah terkesan mensubordinasi dan menyisihkan eksistensi POLRI. Pemberitaan media juga dominan gencar memberitakan gerakan save KPK.
Menyikapi hal ini tentunya eksistensi dan kredibilitas POLRI dimata masyarakat layak dipertanyakan. Bola panas penyisihan terhadap POLRI tentunya semakin bergulir ketika KPK terkesan dijadikan lawan dalam upaya pemberantasan korupsi. Disisi lain, ada sebentuk stigma buruk tentang POLRI yang terbangun dan tertancap dalam benak masyarakat selama ini, sebagai akar persoalan. Betapa tidak, kebanyakan masyarakat mendengar nama POLISI selalu dikaitkan dengan tindakan kekerasan,pelanggaran hukum dan HAM di negeri ini. Sebagai penegak hukum polisi yang mesti bersih dan konsisten terhadap hukum, justru mempecundangi hukum.
Berbicara pelanggaran HAM, Banyak sekali rentetan indikasi pelanggaran HAM yang dilakoni oleh aparat kepolisian di tanah air. Baru-baru ini, di era pemerintahan JOKOWI –JK institusi Polisi kembali tercoreng dimata publik pasca kenaikan harga BBM. Kebijakan JOKOWI-JK tersebut menyulut gejolak gerakan penolakan yang bersifat massif pula. Respon pihak kepolisian kerapberlebihan menyikapi gejolak yang terjadi.Salah satu diantaranya adalah tragedi berdarah di kampus Universitas Negeri Makasar(UNM), pada Kamis (13/11/2014). Beberapa Mahasiswa dan awak media menjadi korban kebrutalan aparat. Sepeda motor dan mobil yang diparkir dalam areal kampus serta fasilitas kampus turut menjadi sasaran amukan.
Kasus diatas merupakan salah satu contoh tindakan represif aparat kepolisian yang membangun stigma buruk publik sehingga polisi selalu diidentikkan dengan kekerasan. Banyak indikasi tindakan represif aparat kepolisian yang tidak mungkin penulis uraikan satu persatu dalam tulisan ini. Dampak dari tindakan represif aparat, tidak sedikit dari kalangan aktivis gerakan(Mahasiswa) menjadikan Polisi sebagai musuh bersama(Common Enemy) serta menjadi paradoks bagi masyarakat. Sebab,Apapun alasannya tindakan kekerasan tidak dapat dibenarkan.
Tidak hanya pada persoalan pelanggaran HAM dan tindakan represif. Ironisnya hampir pada segala lini tindakan melanggar hukum, kerap ditemukan oknum kepolisian yang terindikasi melakukan pelanggaran hukum dan kriminal lainnya seperti pemerkosaan, pemerasan dan kasus narkoba. Citra dan kredibilitas POLRI yang dibangun dengan budaya demikian menjadi suatu alasan bagi masyarakat yang berimbas pada minimnya dukungan dan kepercayaan terhadap pihak institusi penegak hukum ini. Mosi tidak percaya semakin mengakar dan mendarah daging ketika tidak sedikit pula oknum KAPOLRI yang terbelit kasus korupsi. Hal ini tentunya menjadi PR bersama bagi bangsa ini terutama pemerintahan untuk membenahi institusi terkait serta institusi POLRI itu sendiri dalam membangun kembali citra dan kredibilitasnya dimata publik.
Mengakhiri tulisan ini, satu hal yang menjadi ujian bagi KPK dan POLRI saat inisebagai institusi penegak hukum. Ketika BW wakil KPK sudah menunjukkan sikap taat hukum dengan mengundurkan diri sebagai wakil KPK, siapkah BG juga mengundurkan diri sebagai bentuk konsistennya terhadap hukum meski dalam aturan hukum tidak ditetapkan? Sikap Jokowi ? Kita tunggu. Wallahualam….!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H