Mohon tunggu...
ali fauzi
ali fauzi Mohon Tunggu... -

Seorang guru, orang tua, penulis lepas, dan pengelola www.sejutaguru.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Siswa SD" Berusia 39 Tahun

14 Desember 2017   08:07 Diperbarui: 14 Desember 2017   14:50 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: mendozapost.com

Sembari minum teh, guru lain menimpali "Dia lupa ungkapan bahwa guru adalah ahlinya di sekolah, orangtua adalah ahlinya di rumah".

Tidak berhenti di situ saja, kawan. Sang guru buru-buru menambahkan. Dia sering mengintimidasi. Kadang langsung, kadang melalui kepala sekolah, bahkan tidak jarang langsung ke pemilik sekolah. Hingga suatu ketika, sekolah memutuskan untuk memanggil dan menghadapinya. Kita ajak bicara baik-baik untuk mendengarkan apa yang menjadi keinginannya.

"Apa yang menjadi keinginanmu sehingga engkau bersikap seperti itu?", tanya kepala sekolah dengan lembut.

Dia mulai menunduk, dan sesaat kemudian mengangkat kepalanya sambil menarik nafas panjang. Kami semua siap mendengarkan.

"Masa kecil saya kurang bahagia. Saya sering menerima kekerasan baik fisik maupun mental. Saya ingin anak saya bahagia. Saya ingin anak saya aman dan terlindungi. Sebagai orangtua murid, saya juga ingin yang terbaik buat anak saya. Jika cara saya salah, mohon diingatkan."

Ya, dia bukan siswa SD. Dia adalah orangtua murid yang peduli dengan pendidikan anaknya.

Namun, sayang, tampaknya dia lupa bahwa yang bersekolah adalah anaknya. Yang belajar adalah anaknya. Karena lupa, maka orangtua sering sibuk mengerjakan tugas anaknya. Sibuk menyiapkan segalanya agar anaknya tidak capek. Sibuk protes bahkan menghujat sekolah atau guru. Sangat emosional ketika anaknya bercerita tentang teguran guru kepada dirinya. Sehingga lebih percaya anak ketimbang guru. Sehinggal muncul intimidasi, kekerasan verbal, dan tak jarang berbuah pelaporan.

Fakta-fakta lucunya: siapa yang sekolah, siapa yang sibuk. Siapa yang ujian, siapa yang deg-degan. Hampir semua tanggung jawab diambil. Kapan anak belajar bertanggungjawab?

Wahai orangtua, janganlah berperan lagi menjadi siswa sekolah dalam tubuh dan emosi orang dewasa. Jika pun ingin peduli, tunjukkan sikap yang pantas ditiru oleh anak. Berikan kasih sayang yang menumbuhkan kebaikan. Setiap respon dan cara kita menyelesaikan masalah akan dilihat, direkam, dan kelak bisa saja ditiru oleh anak-anak kita.

Setiap anak selalu belajar dari apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialaminya. Mulai sekarang, bertanyalah dalam diri,
"Jika aku bersikap demikian, apa yang akan dipelajari anakku? Bagaimana perasaan orang lain? Dan hal baik apa yang didapat oleh anak?"

Salam. www.sejutaguru.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun