Ketika melihat soal 2 + 2 = ... Maka, rata-rata orahg dewasa  akan mampu menjawab dengan kecepatan seperti tanpa berpikir. Bahkan, kadang-kadang secepat gerakan reflek. Kecepatan ini akan melambat ketika kita sodorkan soal 74 X 39 = ...
Saya yakin anda mampu menyelesaikan perkalian tersebut. Dengan hanya bermodal kertas dan pensil, semua bisa selesai dalam beberapa detik. Kalaupun tidak membutuhkan kertas dan pensil, anda membutuhkan waktu beberapa saat.
Kita coba lagi hal yang berbeda. Jika saya meminta anda menghitung mulai dari 23 s.d. 50, maka anda pasti bisa melakukannya dengan sangat mudah. Begitu juga ketika saya minta anda untuk menghitung mundur dari 85 s.d. 20, besar kemungkinan anda juga berhasil tanpa kesulitan.
Sekarang, saya minta anda menyebutkan alfabet dari "A" s.d." Z", maka anda juga lancar. Tantangan menjadi rumit ketika saya meminta anda untuk mengurutkan alfabet secara terbalik. Misalnya, dari "U" s.d. "G". Sangat membutuhkan waktu karena kita hampir tidak pernah melakukannya.
Semua karena kebiasaan. Apa yang sering kita lakukan, maka kemungkinan menjadi lebih mudah. Sesuatu yang jarang kita lakukan, jarang kita dengar, dan tidak kita yakini, maka sesuatu tersebut tidak akrab dengan kita.
Itulah dasar pendidikan karakter. Yakni, membangun kebiasaan atau melakukannya berulang-ulang sampai menjadi kebiasaan. Hal-hal tertentu menjadi cepat bagi seseorang dan lambat bagi orang lain. Ada juga ada hal tertentu yang awalnya kita lakukan dengan lambat, namun setelah berulang-ulang berangsur meningkat kecepatannya. Itulah sistem pikir manusia. Kajian-kajian psikologis tentang hal ini dalam konteks yang lebih luas, diulas sangat baik oleh Daniel Kahneman dalam bukunya Thinking, Fast and Slow.
Kang Hasan, Penulis Indonesia yang tinggal di Jepang, mengamati terjadinya hal yang terbalik di negeri ini. Dalam istilah Kang Hasan, kita terbiasa "membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar". Â Akibatnya, sering terjadi kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik terus dilakukan. Atau dalam kasus masalah sosial saat ini, terjadi gerakan "membiasakan" informasi yang tidak benar/hoax secara berulang-ulang agar diyakini sebagai kebenaran.
Mendidik karakter pada dasarnya cukup sederhana. Ya, cukup melakukan aktivitas tertentu bersama anak secara berulang-ulang dan terus menerus, maka lama-kelamaan akan menjadi kebiasaan. Kita latih setiap hari, mengingatkannya setiap hari, juga menguatkannya setiap hari pula. Inilah awal dari pendidikan karakter. Dari sisi aktivitas fisik, cukup lakukan berulang-ulang sampai hampir menjadi otomatis dalam dirinya. Itu dari sisi aktivitas fisik.
Jadi, melakukan satu hal secara berulang-ulang haruslah dengan tujuan membangun kebiasaan untuk berpegang pada yang baik dan benar. Ingat, karakter baiklah yang menjadi tujuan pendidikan karakter. Bukan karakter yang lain. Aristoteles mendefinisikan karakter baik sebagai kehidupan dengan melakukan tindakan-tindakan yang benar sehubungan dengan diri sendiri dan orang lain.
Pendidikan karakter tidak hanya membentuk anak yang otomatis melakukan perbuatan baik, misalnya antre ketika menunggu giliran. Namun, anak juga harus mengetahui dengan sadar kenapa dia harus melakukan hal tersebut.
Membuat daftar panjang nilai-nilai karakter yang ingin dicapai tidak sepenting menunjukkan contoh dan melakukannya setiap hari bersama anak. Mengingatkan setiap hari terus menerus adalah langkah mudah mendidik karakter.