Jika ditanya, “Kenapa anda mati-matian mengerahkan segala tenaga dan pikiran di pondok pesantren tanpa pandang waktu dan tempat?”, selalu jawabnya, “Yaaa karena barakah.” Kata-kata itu tandas, walau belum tahu definisi barakah.
Meraih barakah tak semudah comot gorengan di kantin terdekat yang cukup ditukar pakai uang kertas, tapi barakah itu dicapai dengan keikhlasan, keuletan, dan kesabaran. Berbuat tanpa pamrih. Tidak mau kelihatan orang lain (riya’). Tanpa tendensi pribadi maupun golongan.
Santri (thâlib al-ilm) sering berpikir sempit dalam menjemput barakah. Dikira, barakah dapat digapai hanya bagi santri yang banting tulang sana-sini tanpa pandang waktu seperti ngangkut batu, nyapu halaman atau lingkungan pesantren, ikut nyelesaikan pembangunan dan kerja keras lainnya.
Secarik tanya membuncah, “Apakah pesantren berdiri dan kemudian berkembang karena mayoritas santrinya yang giat kerja banting tulang? Ironisnya, santri yang berbadan kerempeng dan kurus serasa kurang beruntung, walau mimpi mereka setinggi langit dan menjulang dunia.
Sebuah buku menarik, Wejangan Kiai As’ad dan Kiai Fawaid, mengupas tentang tip-tip menggapai barakah. Barakah, kata Kiai As’ad, dapat diraih melalui tiga cara: Pertama, memperbanyak membaca Al-Qur’an. Kedua, ingat terhadap kedua orang tua. Ketiga, ingat terhadap guru. Tiga langkah itu sering kita abai, padahal kalimat itu ungkapan seorang ulama besar yang pernah belajar pada Kiai Khalil-Bangkalan dan nyantri di PP. Annuqayah.
Coba investigasi ulama-ulama kesohor yang lahir dari pesantren! Di sana ada Kiai Ilyas As-Syarqawi-Guluk-Guluk, Kiai Khalil-Bangkalan, Kiai As’ad-Sukorejo, Kiai Hasyim Asy’ari-Jombang, Gus Dur (Abdurrahman Wahid)-Jombang, dan kiai-kiai lainnya. Sekian ulama ini tentu punya tip-tip yang terus mereka tekuni dan gali hingga membuahkan hasil yang melimpah di jagat.
Langkah kiai besar itu beragam: Kiai As’ad sejak nyantri ke Khalil Bangkalan hanya senang ngaji Al-Qur’an dan sabar menjaga amanah gurunya (menyampaikan tongkat) ke Kiai Hasyim As’ari sebagai simbol setujunya Kiai Khalil atas berdirinya NU; Kiai Khalil sejak mondok pernah menjadi pemanjat pohon kelapa karena diperintah gurunya; Gus Dur yang dikenal kutu buku sejak usia dini dapat menyalurkan pengetahuannya di pondok pesantren; dan beberapa langkah yang lain.
Tip-tip cerdas tanpa membatasi ruang pengabdian benar-benar mengesankan saat para sekian kiai itu kembali ke kediamannya. Mereka menjadi orang terpercaya. Kendati “ikhlas” dan “tulus” hanya Allah swt yang Maha Tahu, setidaknya anda sebagai makhluk dapat menyimpulkan perjuangan dan pengabdian para kiai tersebut dibangun tanpa mengesampingkan keikhlasan dan ketulusan.
Penting diingat dan dipatuhi bahwa perjalanan pesantren tak lepas dari ikatan peraturan. Perasaan jenuh dan pikiran mumet banyak disebabkan peraturan yang membatasi gerak bebas santri. Santri yang tidak sabar lebih memilih melanggar dari pada patuh, “sami’nâ wa atha’nâ” terhadap peraturan. Andai sadar, peraturan dibuat demi kesejahteraan dan kekondusifan perjalanan pesantren, bukan untuk mengkerdilkan mental santri dalam berproses, niscaya angka pelanggaran makin berkurang.
Pertanyaannya, jika peraturan mengarah terhadap hal yang positif, bagaimana dengan aktivitas, secara kasat mata, dapat terlaksana dengan menomorduakan peraturan? Masihkah aktivitas itu dikategorikan tindakan yang baik karena dibumbuhi alasan logis (mengabdi untuk pesantren), kalaupun memarjinalkan peraturan sebagai tali kendali perjalanan pesantren dari masa ke masa?
Tanpa memihak terhadap salah satu pihak, mencari langkah alternatif dirasa lebih penting daripada mengedepankan ego pribadi. Misalkan, minta izin terhadap pihak yang berwenang (sebut, kiai atau pengurus pesantren). Jika santri telah diizinkan keluar dari batas peraturan, maka bertindak di luar garis peraturan, tidak akan dinilai negatif. Mereka dapat bergerak bebas.