Untuk Apa Perempuan Sekolah Tinggi-tinggi Kalau Pada Akhirnya Akan Jadi Ibu Rumah Tangga Juga?
Stigma di atas sebagai asal-muasal aku menulis goresan pena ini. Ada yang berkata, "Jadi Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, Toh mau pada tempat tinggal juga."Â
Itu merupakan bunyi paling merdu yang selalu wanita terima waktu membahas atau hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Entah berdasarkan pengecap tajam para tetangga atau sahabat sendiri, atau berdasarkan ekspresi lemas famili entah kakak, bibi, sepupu, nenek, ipar, bahkan berdasarkan orang tua kita, atau lebih parahnya pengucapnya merupakan laki-laki.Â
Perempuan dan sekolah tinggi misalnya hambatan yg tidak terdapat habisnya. Penuh menggunakan Kontroversi, Konversatif, Konvensional, dan apalah itu namanya.
Serupa akan tetapi tidak sama, terdapat jua pernyataan yang membandingkan seorang dengan wanita berpendidikan tinggi pada lingkungan mereka. "Lihat itu si Nabila, sudah sekolah tinggi-tinggi
tapi nggak kerja juga. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau mau di rumah, ngurus suami, ngurus anak, ngurus dapur."
Di negara kita ini, tentu masih ada yang menganut budaya patriarki, dimana dominansi laki-laki terlihat lebih menonjol di dunia kerja dan usaha. Hal itu membuat peran perempuan tergeserkan bahkan dianggap remeh oleh sebagian orang. Banyak yang berpikir perempuan tidak perlu bekerja keras, mereka cukup mengurus rumah dan laki-laki yang bekerja.Â
Banyak yang berpikir untuk apa membuang uang banyak-banyak untuk pendidikan perempuan hingga sarjana, karena nyatanya setelah menikah kebanyakan dari mereka akan memutuskan untuk jadi ibu rumah tangga dan berkutat di dapur.
Tunggu sebentar, kata siapa itu?
Pendapat perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena nantinya hanya berakhir di dapur dan mengurus anak, mungkin hanyalah upaya dari tradisi patriarki dalam mempertahankan hegemoni dan status quo. Pendapat itu sudah jelas bertujuan menjegal perempuan untuk melangkah maju. Perempuan dalam perspektif tradisi patriarki yang dibangun oleh agama dan budaya tertentu selalu ditempatkan dalam posisi underprivileged.
Sejak dulu, perempuan dan sekolah tinggi memang sering dibentur-benturkan. Mengapa? Sekolah secara umum bukanlah sesuatu yang bergender. Sekolah sejatinya ada untuk segala kelompok, ras, agama dan tanpa memandang jenis kelamin.