Pertama-tama, saya ingin bertanya. Apakah anda tau apa itu opini publik?
Kalua dalam Bahasa Indonesia, opini publik adalah dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan pendapat umum. Yang membentuk opini publik adalah sikap pribadi sesorang atau kelompoknya. Karena itu sikapnya ditentukan oleh pengalamannya, yaitu pengalaman dari dalam kelompok itu juga. Opini bertindak sebagai jawaban terbuka terhadap suatu persoalan/isu. Subjek dari suatu opini biasanya adalah masalah yang baru. Opini berupa reaksi pertama dimana orang mempunyai rasa ragu-ragu dengan sesuatu, yang lain dengan kebiasaan, ketidakcocokan, dan adanya perubahan penilaian. Unsur-unsur tersebut mendorong orang untuk saling mempertahankannya. Suatu isu menjadi isu sosial apabila menyebabkan orang lain akan membentuk pendapatnya dan menyatakan atau memberikan tanggapannya atas persoalan yang dibahas oleh pendapat/opini semula.
Nah, kenapa saya tiba-tiba berbicara tentang opini publik? Karena, hari ini saya akan membahas tentang masalah-masalah politik saat ini, dan bagaimana reaksi dari masyarakat. Bagaimana mereka menanggapai sebuah masalah atau isu, dan bagaimana opini public berpengaruh sangat besar ke politik.
Saat ini, negara kita sedang dilanda dengan isu-isu politik yang membuat masyarakat terpecah menjadi beberapa bagian. Ada yang mati-matian mendukung si A, ada yang mati-matian mendukung si B. ada yang mati-matian membenci si A, ada yang mati-matian membenci si B, dan ada juga yang memilih diam atau netral.
Nah, setelah mengikuti mata kuliah opini publik beberapa minggu ini, merubah sedikit cara pandang saya terhadap masalah-masalah politik di Indonesia ini. Contohnya adalah presiden Joko Widodo yang sekarang memimpin. Banyak orang yang mencibir kebiasaan-kebiasaan pak Jokowi yang “gaul” dan “nyentrik” karena mereka berfikir bahwa pak Jokowi acuh terhadap negara. Beberapa orang bilang bahwa apa yang di lakukan Jokowi itu pencitraan. Ada sebagian orang yang bisa disebut The Obtinate Audience, yaitu individu yang memiliki keyakinan dan pemahaman kuat terhadap sesuatu sehingga tidak akan bisa diubah melalui proses komunikasi apapun. Contohnya, biarpun Jokowi melakukan hal sebaik apapun, mereka akan tetap berfikir bahwa apa yang dilakukan Jokowi itu hanya pencitraan.
Ada juga sebagian orang yang bisa disebut Spiral of silence. Yaitu kebisuan dari publik karena dampak dari agenda-setting dan ketidakberanian memiliki pendapat yang berbeda karena khawatir akan dikucilkan. Contohnya ada seseorang di lingkungan tempat bekerjanya adalah orang yang bangga kepada Jokowi, tetapi dia tidak berani mengutarakan hal itu maupun menunjukannya kepada orang lain di lingkungan kerjanya karena sebagian besar dari mereka tidak menyukai cara kerja Jokowi.
Dari sini saya belajar, sesuka apapun ataupun secinta apapun saya terhadap suatu figure dan benda, saya tetap harus menerima pendapat orang lain yang berbeda dengan saya. Bukannya menjadi marah dan membenci orang yang notabene pendapatnya berbeda dari saya. Karena hal inilah yang membuat perpecahan pada masyarakat Indonesia, bukan apa yang kita sukai, tetapi bagaimana cara kita menanggapi pendapat dan persepsi orang lain. Toh, menghargai pendapat orang lain itu tidak susah, kan?
Bagaimana kita menganalisa dan menerima pesan politik juga penting untuk menyikapi masalah-masalah politik saat ini. Kita juga harus bisa menerima hal-hal yang menurut kita tidak benar. Meskipun menurut kita itu tidak benar, cobalah untuk menerimanya sembari mencari faktanya.
Saya berharap, seluruh masyarakat Indonesia bisa tetap hidup berdampingan dengan saling menerima pendapat orang lain (meskipun itu bertentangan dengan pendapatnya) tanpa harus ada rasa takut dikucilkan ataupun ada hal-hal yang membuat kita saling membenci satu sama lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI