Tepat dimana saya menulis tulisan ini, saya masih terjebak di dalam keterbatasan mobilitas dan aksesibilitas baik untuk keperluan primer, sekunder, dan bahkan tersier.
Tepat dimana jari -- jemari saya sedang menari diatas papan tombol laptop saya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa memaparkan bahwa di Indonesia jumlah angka pengangguran per 28 Juli 2020 meningkat 3,7 juta orang akibat pandemi yang dikutip judul dari artikel di Kompas.com "Akibat Covid-19, Jumlah Pengangguran RI Bertambah 3,7 Juta". [1] Dan tepat dimana mata ini sedang menatap layar laptop untuk menulis tulisan ini, per 30 Agustus 2020 sudah 100 orang dokter harus berkorban nyawa hanya dalam 6 bulan oleh sebab yang sama. [2]
Semua permasalahan yang telah disampaikan berhulu pada satu asal muasal yang sama. Apakah asal muasal itu semua? Ya, Covid -- 19. Lalu apa itu covid -- 19? Menurut Kementrian Keshatan RI, Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia.
Virus penyebab COVID-19 ini dinamakan Sars-CoV-2.[3] Jadi pada dasarnya, Covid -- 19 adalah suatu penyakit yang diakibatkan suatu virus Sars-CoV-2 dan ini merupakan penyakit jenis baru yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Penyakit ini diketahui menyerang sistem pernapasan manusia karena mengakibatkan gejala batuk, sesak nafas, dan demam.
Namun seiring berjalannya waktu dan dikarenakan covid -- 19 ini merupakan penyakit baru dan belum pernah dialami manusia sebelumnya, maka semua gejala ini semakin hari semakin mendapat variasi gejala baik gejala ringan sampai gejala yang berat yang mengakibatkan kematian.
Lalu, apa yang mengakibatkan ini semua? Mengapa covid -- 19 ini bisa sampai muncul ditengah masyarakat dan tidak hanya muncul sesaat, namun menghantui seluruh aspek kehidupan masyarakat baik dari ekonomi, Kesehatan, dan juga sosial sampai detik ini.
Jadi covid -- 19 ini merupakan jenis penyakit zoonosis yang mana penyakit ini merupakan penyakit yang menular dari hewan ke manusia. Dan menurut Lu et al, sejauh ini bukti kuat yang ada adalah virus ini berasal dari hewan kelelawar dan menular kepada manusia.[4] Namun, apakah umat manusia baru pertama kali menghadapi zoonosis ini? Tidak.
Kita sebagai umat manusia telah menghadapi berbagai penyakit yang berdampak global yang berasal dari hewan atau zoonosis. Sebagai contoh adalah ebola yang menyerah Afrika pada tahun 2018, SARS yang menyerang Asia dan Dunia pada tahun 2002, MERS yang berawal dari Timur Tengah pada tahun 2012, atau bahkan demam berdarah (DBD) yang masih menjadi momok masyarakat Indonesia setiap tahunnya merupakan beberapa contoh penyakit yang berasal dari hewan.
Mengapa zoonosis ini terjadi? Pada dasarnya, zoonosis ini muncul akibat interaksi manusia baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui perantara) sehingga patogen (parasit atau bahan yang menimbulkan penyakit) yang ada pada hewan dapat sampai dan menularkan kepada manusia. Dari 1.407 spesies patogen manusia, 816 (58%) adalah dikenal zoonosis.
Sebagai perbandingan, dari 177 negara yang baru muncul atau muncul kembali patogen, 130 (73%) diketahui zoonosis berdasarkan penelitian dari Woolhouse dan Gowtage pada 2005.[5] Berdasarkan angka tersebut, zoonosis pada dasarnya bukanlah hal yang asing bagi kita umat manusia.
Namun, mengapa penyakit yang bersifat zoonosis ini semakin hari semakin berbahaya seperti covid -- 19 ini? Apakah ada andil manusia atas ditengah keganasan zoonosis ini semua? Jawabannya sangat jelas yaitu, Ada.
Dari semua aktivitas manusia, interaksi manusia dengan alam liar dan dalam hal ini adalah hewan -- hewan yang terdapat di alam liar mengakibatkan resiko penularan penyakit dari hewan ke manusia semakin besar. Interaksi ini diperparah dengan perburuan hewan liar oleh manusia yang digunakan untuk menjadi barang bernilai tinggi, obat -- obatan, bahkan makanan.
Selain interaksi antara manusia dengan hewan liar, interaksi manusia dengan alam liar yang menjadi habitat dari hewan -- hewan tersebut seperti pembukaan lahan baik dengan penebangan liar atau pembakaran lahan mengakibatkan resiko zoonosis ini semakin tinggi.Â
Deforestasi atau pembabatan hutan khususnya di hutan tropis merupakan pintu masuk awal kontak manusia dengan populasi satwa liar, melalui patogen zoonosis dimana manusia belum pernah terpapar sebelumnya, termasuk virus dan bakteri. [6] Dan peningkatan besar penyakit muncul dalam 50 tahun terakhir dipercaya disebabkan invasi manusia ke hutan atau alam liar tempat habitat hewan.[7]
Alam yang seharusnya menjadi pembatas dari resiko penularan penyakit dari hewan ke manusia ini menjadi hilang fungsinya akibat ulah manusia itu sendiri.
Meskipun zoonosis ini tidak hanya berasal dari hewan liar, bisa juga berasal dari hewan ternak atau bahkan hewan peliharaan, namun zoonosis yang berasal dari hewan liar meningkatkan resiko penyakit yang jauh lebih besar karena keanekaragaman hewan yang ada di alam liar memiliki keanekaragaman yang jauh lebih beragam sehingga resiko zoonosis ini akan berpotensi meningkat pesat.Â
Semakin banyak bukti bahwa perubahan penggunaan lahan merupakan pendorong utama munculnya penyakit menular. Analisis sebelumnya menunjukkan bahwa lebih dari 30% penyakit menular yang mempengaruhi orang secara kausal terkait dengan perubahan penggunaan lahan.[8] Lantas, apakah hanya zoonosis saja yang menjadi dampak dari perusakan alam oleh manusia? Jelas tidak.
Tantangan kita sebagai umat manusia menghadapi kerusakan alam tak hanya semata - mata berdampak kepada bidang Kesehatan seperti zoonosis ini. Selama 1990 -- 2016, dunia kehilangan 1,3 juta kilometer persegi hutan atau lebih besar dari negara Afrika Selatan menurut data World Bank. [9]
Alih fungsi lahan hutan yang sebegitu masif juga berdampak besar kepada krisis iklim yang sedang dialami dunia ini. Dampak dari deforestasi berkontribusi sebesar 11% dari produksi emisi CO2 global setiap tahunnya.[10]
Krisis iklim ini diperparah dengan masih masifnya penggunaan bahan bakar fosil untuk keperluan transportasi, energi, serta industri. Sekitar sumber emisi gas rumah kaca berasal dari kontribusi penggunaan bahan bakar fosil. [11]
Dampak dari deforestasi sudah jelas -- jelas memiliki dampak kepada aspek Kesehatan yang salah satunya adalah zoonosis, dan juga memiliki dampak yang cukup signifikan tehadap krisis iklim.
Sementara itu, sekitar 75% emisi gas rumah kaca yang berasal dari penggunaan bahaan bakar fosil juga tidak hanya semata -- mata berdampak terhadap krisis iklim, namun juga memiliki dampak terhadap kesehatan yang yang sangat merugikan.
Menurut Greenpeace Asia Tenggara dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) pada artikel mongabay, meluncurkan hasil riset terbaru mengenai dampak kerugian ekonomi akibat polusi udara.
Hasil riset ini menunjukkan dampak polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, minyak dan gas dikaitkan dengan kematian dini di seluruh dunia sebanyak 4,5 juta orang per tahun. Sementara, kerugian ekonomi dari polusi udara mencapai US$8 miliar per hari, atau 3,3% dari produk domestik bruto (PDB) dunia, atau setahun US$2,9 triliun.[12]
Dan ketika konteks pandemi covid -- 19 dengan polusi udara, dalam penelitian yang dilakukan Xiao Wu dan Rachel Nethery pada Harvard University T.H. Chan School of Public Health yang juga dikutip pada artikel di BBC, peningkatan kecil dalam materi partikulat halus, yang dikenal sebagai PM2.5, memiliki efek yang besar di AS. Peningkatan hanya 1 mikrogram per meter kubik sesuai dengan peningkatan 15% kematian akibat Covid-19.[13] Sehingga, dalam hal deforestasi dan polusi udara akibat penggunaan bahan bakar fosil juga memiliki relevansi antara covid -- 19 yang notabene salah satu penyakit dengan jenis zoonosis dengan krisis iklim yang sedang, masih, dan akan kita hadapi kedepannya.
Alhasil, sebenarnya apa yang sedang, masih, dan akan kita hadapi terkait dengan krisis iklim ini? Pada dasarnya, banyak aspek yang akan terpengaruh akibat krisis iklim ini. Dampak ini dirasakan bukan hanya dalam skala makro atau dunia, bahkan kepada skala kecil dalam kehidupan kita sehari -- hari. Hal yang jelas -- jelas akan terjadi dari krisis iklim ini adalah peningkatan suhu global yang memiliki dampak destruktif yang masif.
Perubahan suhu global antara 1850 sampai akhir dari abad ke 21 banyak simulasi yang mengatakan bahwa peningkatan suhu akan melebihi 1,5oC. Bahkan World Meteorological Organization (WMO) dalam berita dari BBC, mengatakan bahwa jika tren yang sekarang terjadi terus terjadi, maka temperatur bumi dapat meningkat sebesar 3 -- 5oC pada akhir abad ini.
Selama ini, kenaikan suhu sebesar 2oC saja sudah membawa kita ke gerbang yang berbahaya dalam konteks kenaikan suhu global. Baru -- baru ini, para ilmuwan dan pemangku kebijakan beranggapan kenaikan temperatur sebesar 1,5oC dapat dikatakan jauh lebih aman [14].Â
Bahkan, menurut rilis pers yang dilakukan oleh WMO pada tahun 2018, sebanyak 20 tahun paling panas yang terekam terjadi pada 22 tahun terakhir dengan 4 tahun terpanas dialami selama 4 tahun terakhir sampai 2018.
Selain itu, menurut laporan khusus The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terkait pemanasan global pada rilis pers WMO mengatakan bahwa selama tahun 2014 -- 2018, kenaikan suhu rata -- rata sebesar 1,04oC diatas kondisi pra industri.
Menurut Deputi Sekjen Elena Manaenkova WMO, " Ini lebih dari sekedar angka" "Setiap bagian dari tingkat pemanasan membuat perbedaan bagi kesehatan manusia dan akses ke makanan dan air bersih, kepunahan hewan dan tumbuhan, kelangsungan hidup terumbu karang dan kehidupan laut. Itu membuat perbedaan pada produktivitas ekonomi, ketahanan pangan, dan ketahanan infrastruktur dan kota kita.
Hal ini mempengaruhi kecepatan pencairan gletser dan persediaan air, serta masa depan pulau-pulau dataran rendah dan komunitas pesisir. Setiap hal ekstra adalah hal penting".[15] Sehingga, jelas -- jelas bahwa ancaman kenaikan suhu global akibat krisis iklim ini bukan hal sederhana.
Situasi dan kondisi nya begitu kompleks dan menyangkut berbagai aspek serta sektor. Lalu, dengan kondisi sekarang yang dimana kita berada ditengah pandemi covid -- 19, apa hubungannya pandemi dengan krisis iklim kedepannya? Apakah akan jauh lebih baik kondisinya atau justru kita akan menghadapi pandemi yang jauh lebih parah dari pandemi covid -19?
Pada dasarnya, kenaikan suhu akibat krisis iklim sudah tidak bisa terbantahkan lagi. Meskipun para ahli dan pemangku kebijakan sudah menyepakati kenaikan suhu maksimal yang masih relatif aman untuk kehidupan manusia, namun tetap saja kenaikan suhu itu tetap terjadi.
Di tengah bumi yang semakin menghangat, risiko bagaimana manusia akan menghadapi kejadian pandemi seperti covid -- 19 atau bahkan lebih parah akan semakin besar. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Para ilmuwan selama ini bergulat dengan bagaimana kemungkinan -- kemungkinan hubungan antara penyebaran penyakit dengan krisis iklim, dan mencuat satu pemahaman bagaimana adanya hubungan antara penyebaran penyakit dengan krisis iklim.
Pada dasarnya badan kita memiliki suatu sistem yang mana memilki cara untuk bagaimana menghadapi suatu invasi yang tidak dikenali oleh tubuh kita. Ketika kita berhasil dimasuki oleh patogen, biasanya salah satu reaksi dari tubuh kita adalah demam yang mana tubuh kita pada dasarnya sedang meningkatkan suhu tubuh kita untuk melawan penyakit tersebut sehingga pada kondisi tubuh yang panas itu membuat patogen tersebut sulit untuk bertahan di dalam tubuh kita. Lalu, apa hubungannya dengan kenaikan suhu global?
Ketika suhu di sekitar kita semakin menghangat, maka patogen yang ada di alam secara bertahap juga beradaptasi dengan suhu yang semakin menghangat. Apa  masalah dari hal tersebut?
Dengan kondisi seperti itu, patogen semakin beradaptasi dengan lingkungan yang lebih hangat sehingga akan menjadi jauh lebih kuat untuk bertahan di dalam tubuh manusia. Sehingga, kondisi dimana sistem tubuh kita yang biasanya memiliki sistem pertahanan diri melawan patogen dengan cara meningkatkan suhu tubuh atau demam menjadi lebih kurang efektif akibat patogen yang telah beradaptasi di situasi yang hangat.[16]
Melemahnya sistem pertahanan tubuh kita untuk melawan penyakit bukanlah satu -- satunya dampak dari pemanasan global. Lalu, apa tantangan berat manusia yang harus dihadapi di tengah pemanasan global ini?
Pemanasan global memiliki hubungan dengan perubahan iklim global yang mana bumi ini akan menghadapi cuaca -- cuaca yang jauh lebih ekstrim dibanding sekarang. Meningkatnya intensitas hujan, semakin parahnya musim kering, suhu global yang semakin menghangat, itu semua menjadi contoh ekstrimnya situasi yang akan bumi ini.
Beberapa hal tersebut membawa kita sebagai umat manusia ke gerbang pusaran penyakit menular yang semakin tidak terkendali. Panas dan kekeringan menciptakan kondisi kering, menyediakan bahan bakar untuk kebakaran hutan yang akhirnya memecah hutan dan membuat satwa liar lebih dekat dengan manusia.Â
Kekeringan dan banjir mempengaruhi hasil panen, terkadang mengakibatkan malnutrisi, yang membuat orang lebih rentan terserang penyakit sambil memaksa mereka mencari sumber makanan lain. Banjir dapat menjadi tempat berkembang biak bagi serangga dan menyebabkan kontaminasi air, yang menyebabkan penyebaran penyakit diare seperti kolera.
Selain itu, cuaca ekstrim dapat mengganggu hubungan yang selaras antara predator dan mangsa, dan pesaing yang mencegah hama pembawa patogen seperti tikus dan nyamuk.[17] Oleh karena itu, beberapa penyakit yang selama ini sudah familiar di telinga manusia seperti demam berdarah dan malaria masih akan menjadi momok manusia untuk beberapa waktu kedepan dan belum lagi penyakit -- penyakit lain yang berpotensi menjadi wabah layaknya covid -- 19 ini.
Lantas ditengah ketidakpastian kehidupan kita sekarang menghadapi covid -- 19, apakah kita masih mau melihat covid -- 19 ini semata -- mata hanyalah sebuah penyakit tanpa melihat ancaman yang jauh lebih besar dan nyata -- nyata ada di depan kita? Mungkin cepat atau lambat para ilmuwan akan segera menemukan vaksin untuk mengakhiri pandemi ini.
Namun, untuk menghadapi krisis iklim ini, tidak cukup kita hanya menunggu kerja dari para ilmuwan. Menghadapi krisis iklim ini adalah kerja kolektif yang mana semua pihak di berbagai sektor memiliki andil terhadap krisis ini dan memiliki peran untuk menghadapi krisis ini. Karena pada akhirnya, pandemi ini hanyalah sebatas pengantar awal menghadapi ujian yang jauh lebih destruktif dan jauh lebih masif, yaitu krisis iklim.
Sumber refrensi :
[3] Isbaniah, F, et al. 2020. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19). Jakarta (ID). Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P).
[4] Lu R, Zhao X, Li J et al. Genomic characterisation and epidemiology of 2019 novel coronavirus: implications for virus origins and receptor binding. Lancet 2020; pii: S0140-6736(20)30251-8. doi: 10.1016/S0140-6736(20)30251-8.
[5] Woolhouse, M.E.J. and Gowtage-Sequeria, S. (2005). Host range and emerging and reemerging pathogens. Emerging Infectious Diseases, 11, 1842--1847.
[7] Robbins J (2012) The Ecology of Disease, The New York Times, accessed on 17/3/2020 from
[8] EcoHealth Alliance (2019). Infectious disease emergence and economics of altered landscapes -- IDEEAL. Published by EcoHealth Alliance, New York, New York, U.S.A.
[9] https://blogs.worldbank.org/opendata/five-forest-figures-international-day-forests
[10] https://www.carbonbrief.org/deforestation-has-driven-up-hottest-day-temperatures
[11] https://www.epa.gov/ghgemissions/sources-greenhouse-gas-emissions
[13] https://www.bbc.com/future/article/20200427-how-air-pollution-exacerbates-covid-19
[14] https://www.bbc.com/news/science-environment-24021772
[15] https://public.wmo.int/en/media/press-release/wmo-climate-statement-past-4-years-warmest-record
[16] https://time.com/5779156/wuhan-coronavirus-climate-change/
[17] https://blogs.ei.columbia.edu/2014/09/04/how-climate-change-is-exacerbating-the-spread-of-disease/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H