Mohon tunggu...
Alief Mahmudi
Alief Mahmudi Mohon Tunggu... -

Sastrawan,\r\nManager Produksi Penerbit Galuh Patria Group dan Penerbit IDEKATA Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sarkem

7 Maret 2012   01:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:25 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sarkem

Cerpen Alief Mahmudi

Matahari pelan lenyap diarah barat, malam merangkak memenuhi kodratnya. Langit yang semula berawan kuning keemasan, perlahan berubah temaram, semakin temaram, dan tinggal menyisakan warna hitam yang pekat. Jalan-jalan semula terang mulai dihiasi lampu-lampu. Kendaraan-kendaraan serentak menyalakan lampunya, menjadikan sepanjang jalan Malioboro seperti dipenuhi kunang-kunang yang berkejaran.

Sejak sebelum matahari tenggelam, dari stasiun Tugu luruske selatan para pedagang telah bersiap dengan daganganya. Ratusan penarik becak berselang-seling dengan andong, berderet sepanjang trotoar. Pedagang batik terhimpit di tengah daganganya. Pengasong mondar-mandir dengan kotak rokoknya. Dan ketika malam semakin menanjak, sekelompok pengamen juga nampak sibuk meningkahi malam.

Malam merangkak dan langit semakin memperlihatkan warna jelaga. Semakin masuk ke tepi jurang malam yang dingin dan menganga, sepanjang jalan Malioboro semakin desesaki orang-orang yang datang dari segala penjuru arah. Jalanan meriah. Malam yang tenggelam seakan menjadi isyarat untuk memadati seruas jalan yang membelah lurus dari hadapan Keraton Yogyakarta.

Dingin dan gelap malam pun berubah menjadi gerah. Gelak tawa, raung kendaraan, teriakan serak pengamen, menyempurnakan malam menjadi lebih semarak. Suara derum kendaraan juga menjadi suara yang khas ketika berhamburan bersama hiruk-pikuk manusia. Dan tepat di depan sebuah pusat perbelanjaan, sekelompok pengamen menghambur ke trotoar ketika beberapa lagu telah rampung dinyanyikan.

“Go, ngaso?”

Yang diteriaki  mengangguk. Menghamburlah lima orang pengamen ke trotoar.

Jalan tepat di belakang duduk lima orang itu dipenuhi kendaraan merayap. Hargo menurunkan  angklungnya, meletakkannya di sebelah pot besar kemudian berdiri. Sebatang rokok terselip di telinga. Ia berjalan dan meminjam api ke pedagang batik. Dan kasar ia kemudidanmelemparkan tubuhnya ke atas becak yang terparkir di depan.

“Istirahat, Go?”

Yoh, Lek.”

Dari utara sebuah becak yang melaju tiba-tiba menggencet rem. Kejadian itu luput dari perhatiannya.

Dari becak yang berhenti mendadak itu turun seorang gadis muda, bersama pasanganya. Dengan tergesa becak berbalik, kembali ke arah dari mana ia datang.

Sekilas Hargo sempat melihat becak yang telah berbalik itu. Ia melihat gadis yang menumpang becak itu meloncat ke atasnya, duduk disamping teman lelakinya yang sudah lebih dulu naik. Dari isyarat tangan gadis itu meminta penarik becaknya lekas-lekas pergi.

Malam pun diselimuti langit berawan pekat. Bulan bersinar bagai bara yang akan padam, dan letak temaram sinarnya mengisyaratkan berakhirnya pesta sepanjang jalan. Langit bulan Oktober yang berawan menjadi pertanda akan bergantinya musim kemarau ke musim penghujan. Ketika siang hawa menjadi sangat panas. Sementara malam hari angin seperti berhenti. Semburat-semburat mendung cokelat sesekali nampak di awang-awang. Namun hingga malam ini, lumut-lumut di tembok pagar masih kering kehitaman. Belum ada setetes pun air hujan.

Dalam keremangan Hargo berjalan diantara tembok yang mengapit dirinya. Ia memanggul angklung, seperti pejuang yang berjalan di lorong-lorong hutan. Gang yang dilewatinya lenggang, namun semakin masuk kedalam, suara-suara alunan musik mulai menggema ditelinga.

Gang itu, andaikata orang mau memperhatikan, memiliki sejarahnya yang dramatik. Sebgai jalan setapak yang sempit dan anyir ada garis-garis ribuan cerita yang tergantung dan terinjak di tanah yang becek.

Secara historis, gang yang dilewatinya ini telah beberapa kali megalami perubahan panggilan. Ketika pada masa pembangunan jalan dan rel kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa dari Batavia hingga Surabaya pada 1884, tempat ini bernama Balokan karena merupakan tempat disimpannya balok-balok kayu bantalan rel. Ada juga yang menyebutnya gang 3, karena berada dalam urutan ke-3. Dan ada juga yang menyebutnya Pasar Kembang karena berada di Jl. Pasar Kembang. Namun, cerita itu belum memiliki arti, seandainya disandingkan dengan cerita-cerita yang terinjak kaki-kaki orang yang lalu lalang setiap malam.

Dalam setiap decakan, gemercik lumpur yang terinjak merupakan satu tulisan yang tak ingin dibaca, terlebih dibunyikan. Semua cerita itu berlendir, dan setiap pemiliknya ingin membuang sedkit demi sedikit bersama tenggakan alkohol dan erangan hasrat yang memuncak, hingga tak ada cerita lagi, kecuali hari-hari yang patah, dan tenggelam dalam lubang-lubang selakangan masing-masing. Semua cerita itu milik wanita. Dan wanita-wanita—yang sesungguhnya pandai bercerita itu—ingin menamatkan setiap kisah hanya dalam persenggaman yang liar.

Sampai di bagian gang yang terang, kini terdapat dua jalan; lurus dan ke kanan. Hargo mengambil jalan ke arah kanan, melewati satu anak tangga, dann masuk ke dunia dengan sambutan derum musik dangdut yang menyergap telinga.

Ia terus berjalan, lelah dan tergesa. Sepanjang gang yang dilewatinya rumah-rumah memasang lampu warna-warni, meja-mejanya setengah basah tertumpah bir.

Wanita-wanita cekikikan, bermanja di pangkuan pelanggannya. Ditingkahi musik karaoke, lengking suaranya membaur dalam celoteh lelaki-lelaki mabuk dan aroma bir yang menyengat.

“Sudah pulang, Go?” sejenak ia berhenti, seorang wanita tambun menyapa di ujung belokan. Ia seorang germo. Hargo mlembalas sapaan wanita itu dengan senyum yang pas, dan kembali menerabas puluhan wanita yang duduk disepanjang gang.

Ia sampai disebuah pintu. Ia mengetuk pintu itu. Namun tak ada jawaban. Mengetuk lagi. Tak ada jawaban lagi. Seorang wanita muda kemudian datang menghampiri.

“Adikmu tadi keluar, Mas.” Katanya. Hargo nampak tak hirau, sudut matanya hanya menyapa sebentar wanita berok mini yang berdiri di belakangnya. Dengan acuh Hargo meletakkan angklungnya di atas kursi kayu di samping pintu. ia duduk di sana, melepas topi dan mengipaskannya ke kening yang berkeringat.

“Mungkin Adikmu tidak berniat keluar lama, jadi kuncinya dibawa.” Wanita yang tadi masih berdiri, seperti salah tingkah. Ada minat jelas yang tak sampai pada matanya.

“Mungkin dia ada sesuatu di jalan, jadi terlambat pulang,” tambahnya. Hargo memandang wajahnya sejenak. Wanita itu beridiri kebingungan. Hargo mengangguk pelan.

“Kalau Mas mau, Istirahat ditempatku saja. Nanti kalau Rida sudah pulang aku bangunin.”

Hargo kembali memandang wajah wanita di depannya. Matanya menyelidik tanpa bisa dimengerti maksudnya. Sejenak kebisuan menguasai dua orang itu. Namun tak lama berselang, terdengar suara seorang germo tmabun berteriak. Wanita yang semula hanyut dalam diam itu pun tersentak dirinya dipanggil.

Ia menoleh. Wanita gemuk melambaikan tangannya, dan seorang lelaki berjaket krem telah berdiri di sampingnya.

Laras lalu memandang Hargo. Yang dipandang menunduk. Dengan air muka yang sulit diterjemahkan wanita muda itu pun pergi menemui pelanggannya.

Daratan ini tidaklah luas. Bahkan terlalu sempit untuk hidup lebih dari tiga ratus wanita, dan dikunjungi lebih dari tiga ratus lelaki setiap malam. Maka pada permukaan senja, liat-liat lumpur yang belum sempat kering akan kembali terinjak, dan memadat. Tak ada hujan. Belum. Namun lumberan basah dari wisma yang padat, bercampur sisa-sisa birahi, luber ke gang-gang sempit dan membawa tanah melebur dengan bakal orok yang terbuang dalam malam.

Malam memuncak. Pelacur-pelacur muda, barangkali telah tiga atau empat kali berdansa, bersenggama. Sementara yang tua terkantuk-kantuk menunggu, mengharapkan seongok kelelahan menyapa dinding kelaminnya. Tapi, ah, malam hanyalah waktu, yang tanpa bisa diketahui dari dalam gairah. Dari dalam kamar yang tak lagi dirahasiakan, erangan beradu dengan cekikik wanita. Ketika itu selalu ada yang muncrat. Dan selalu, direlung gang-gang yang terbatas pagar besi itu, ada sisa kemudaan yang hampa, tumpah tanpa tersentuh.

Pulihan wanita telah mondar-mandir, tua muda,  juga pria. Barangkali tak ada yang menarik, atau tak ada yang pantas ditertariki hinga Hargo bersandar, dan membiarkan begitu saja setiap dada dan paha berkeliaran di depan matanya. Beberapa menyapa, beberapa sempat hinggap, lalu kabur oleh kedinginan wajahnya, namun tetap sambil bersolek manja, seperti capung yang lari dari tangan mungil bidadari kecil, dan mendarat tak jauh darinya, menggoda.

Di hadapan pemuda itu hanyalah tembok. Tembok dengan lumut kecoklatan setengah menghitam. Lima meter di kirinya, bahan tak sampai, keremangan lain seperti terbatas oleh tembok pikirannya. Suara karaoke dari puluhan wisma yang beradu segera terbengkalai begitu sampai di daun telinganya. Tak ada suara yang masuk, hanya kekacauan, dan malam yang luput bagai dalam pertapaan.

Wanita-wanita tua muda duduk menyilangkan paha dan membuka dua buah kancing bajunya yang teratas. Menggoda, mencolek kelamin setiap orang yang melintas, seperti hewan buas, yan siap menerkam apa saja yang melintas di hadapannya. Tanah ini seperti rimba. Dan selalu begitu.

Memasuki gang, tak ada hukum yang berlaku, hanya kesetiaan dan kepercayaan terhadap birahi. Jadi sungguh, tanah ini lebih dari permata, tanpa kekerasan, tanpa kejahatan, meski tanpa hukum atau segala hal tentang peraturan yang selalu membuat orang lebih bersemangat berbuat jahat. Di tanah ini tak ada pemerkosaan yang bisa disaksikan setiap hari di berita koran, juga tak ada pembunuhan. Hanya memang, di sinilah seorang manusia dikuliti dari jiwanya, masing-masing, dengan sukarela.

Puluhan tahun yang lalu, entah kapan tepatnya, mungkin dua puluh tahun, seorang wanita muda tersesat di tanah berlumpur ini. Namanya Anjani, entah asli atau bukan, di tanah ini nama hanya sebuah aksesori, dimana malam yang yang asli harus disembunyikan, demi melayani birahi yang tak tertahan.

Wanita itu sangat muda, barangkali baru belasan, namun telah mebawa seonggok tubuh berumur tiga tahun yang bejalan lucu dan selalu mengaitkan tangannya ke jemari Andjani. Ada seorang lelaki, pasti. Dan lelaki itu hanya menulis keranuman tubuh Anjani dalam daftar koleksi perawan yang dibungkus dalam satu map bersama tisu bekas darah keperawanannya. Lelaki itu bangka, tentu. Dan Anjani membawa sisa bau busuk dari kelamin dan mulut bangka itu. Sisa kelamin itulah yang berwujud tingkah laku lucu seorang anak bernama Hargo.

Sebelumnya, anjani dan Hargo sempat tumbuh besar di sebuah kampung yang tak mungkin dan tak ingin diingat kembali. Tak ada yang lebih indah, atau menjengkelkan dari sepatah dua patah lembaran dimana ia bermain tanah di tanah lapang, dan berada di punggung ibunya ketika menuju kebun tebu. Entah dimana tanah permai itu, ia tak pernah menanyakan kepada Anjani, Ibunya, ketika wanita itu masih hidup—atau tepatnya sebelum ia menghilang.

Hargo dikenalkan ibunya tanah berlendir ini ketika berumur tiga tahun lebih empat bulan, belum terlalu baik untuk mengingat. Tapi ia masih memiliki ingatan hari-hari pertama dimana ia tidak lagi diajak ke kebun tebu setiap pagi, tapi bergantian digendong wanita-wanita asing yang belum pernah dikenalnya. Ada lelaki, sekali lagi. Seseorang yang seharusnya ia panggil Ayah, namun pahit.

Ibunya hanya anak petani tebu biasa, dalam sebuah desa yang tak mengenal jalan beraspal. Jauh. Dan lelaki itu—Hargo ingat perbuatan terakhir yang dilakukan lelaki yang seharusnya ia panggil Ayah itu.

Sebagai orang desa Ibunya tak pernah berangan untuk keluar dari pagar sawah yang membalut desanya, ingin pun tidak. Tapi tiba-tiba saja lelaki itu datang, dan tanpa sungkan menggarap lahan tebu manis diselakangan Ibunya yang wangi manggar, terlalu muda. Itulah kemudian ia terpaksa menikahi lelaki itu juga, meski tanpa udara bernama cinta. Ia diperkosa, dengan bius dari kota. Dan, tentu, ia harus menikahinya juga.

Awal pernikahan yang masam Anjani sempat tinggal di daerah pinggiran kota Jombang, ikut lelakinya. Tapi perlakuan lelaki yang ia panggil suami itu memaksanya untuk pulang, membesarkan anaknya yang masih merah ditengah balutan ladang tebu desanya. Tiga tahun suaminya datang, meminta maaf. Anjani menghadapinya sebagai orang desa.

Anjani dibawa ke kota, kota yang Jauh, untuk kedua kalinya, dan tanpa disadari ia telah dijual di tanah yang becek ini. Suaminya pemabuk. Ia tak hanya memukul Anjani bila tak mau melayani orang-orang yang datang kepadanya. Dan, ketika itu, Hargo sudah mulai bisa mengingat. Ia juga bisa merasakan gembira ketika seonggok mayat dengan perut buncit ditemukan di tanah yang jauh: Ayahnya.

Sejak umur tiga tahun itu Hargo tumbuh besar di lingkungan ini. Bermain lumpur, dan tidur ketika Ibunya mulai berdandan ( ketika itu Ibunya mulai biasa melayani orang). Dan lima tahun kamudian, ia mendapat Adiknya, Rida.

Rida pun lahir seperti Hargo, tanpa pengakuan, dan besar sebagai saudara yang sama-sama: tanpa lelaki bernama Ayah. Maklum, hanya itu yang ada, karena semua berpangkal dari asmara, atau birahi.

Anjani manusia, biasa, wanita. Ia pelacur, tapi bukan seperti lainnya, mungkin. Ada satu hal yang membedakan Anjani dengan pelacur lainnya: harapan. Ada semacam angan, yang terbawa dalam mimpi usang berbentuk satu permohonan atas cinta dan kasih sayang, dari lelaki. Dan untuk itulah ia rela melahirkan meski pada akhirnya ia mengalami kejadian yang sama: penghianatan.

Anjani sekali lagi, menahan berbulan-bulan bau busuk abab dan kelamin lelaki yang—katanya—akan menikahinya.

Namun Anjani keliru, ia tak menyadari apakah ia masih dianggap wanita yang memiliki keinginan, dan itu yang selalu berkelebat dalam benak Hargo, ketika ia memandang Adiknya.

Kini Bulan telah condong dan tertutup atap seng. Tak ada kabut, hanya awan yang emnggunpal-gumpal dengan bercak-bercak hitam yang tak rata, seperti kapas bekas usapan darah dalam kegelapan. Hargo bangkit, memantik kretek, dan mulai melihat kemeriahan sekelilingnya. Hah, kenapa aku harus berjarak dengan kebagagiaan ini? Bukankah aku bagian darinya, bagiaan dari kebahagiaan malam, sejak kecil?. Entahlah. Wajahnya cemas. Adiknya tak pulang hingg larut malam, itu membuat emosinya memuncak.

Ada seberkas gelisah, dan dilapisi guratan amarah. Ia mondar-mandir, bukan, berdiri, hanya berdiri dan menghisap kreteknya dalam-dalam. Sekali lagi terlihat wanita melintas, sejenak, menyapa, dan meninggalkan aroma parfum yang menyengat. Hargo kembali duduk, dan terpekur dengan amarahnya yang mulai nyata.

Ada angklung. Oh, tidak. Ada bangku, rapuh, dan itulah yang kemudian menjadi tumbal kakinya. Prakk!. Gaduh. Beberapa wanita tak jauh dari tempatnya memandang, maklum. Mereka telah mengerti, begitulah Hargo bila ada masalah tentang Adiknya. Selama ini Rida tak pernah seberani ini. Belum pernah Hargo mendapatinya pulang larut, toh ia tidak bekerja atau apapun. Rida masih harus sekolah, esok. Tapi kenapa ia tak pernah mengikuti perintahku, dan memakai seragam putih abu-abu dengan layak? Entahlah.

Beberapa wanita saling gunjing melihat tingkah Hargo yang sesaat kesetanan. Ada yang yang menggunjing, ada yang tak acuh, ada yang sewot: Ah, Orang Adiknya udah saatnya mangkal masih aja dibiarin perawan. Hahaha… Namun diantara mata yang mencibir itu, terselip sepasang mata, dalam, dan menatapnya seperti berkaca: mata Laras.

Wanita itu memandangi pemuda yang berkilap wajahnya, dirembesi peluh. Ah, seandainya… Tapi saat ini telah terlambat untuk berandai-andai. Tapi apakah salah jika aku diberi kesempatan sekali saja untuk mengusap peluhnya, dan menenangkan hatinya, meskipun hanya terjadi dalam angan? Tidak! Untuk berangan pun kau tidak berhak. Ada batasan, dimana kau adalah orang yang—meski semua tahu bukan keinginanmu—tapi terlah terjadi: kau telah dikuliti dari jiwamu, dimana tubuhmu hanya menjadi milik manusia, yang bisa membayar—tentu. Dan jiwamu terkubur semakin dalam ketika seonggok lendir meraba selakangan, dan berakhir pada percumbuan yang lelah.

Tapi bukankah pemuda itu pun memiliki seorang Ibu, yang juga seperti diriku? Oh, tidak. Ibunya punya angan, untuk itu ia memiliki mereka.

Aku juga punya angan.

Tidak! Kau jelas-jelas tidak.

Dan, brakk!! Kegaduhan kembali terjadi ketika sebuah pintu dihantam kursi yang telah rompal. Ada perkelahian, tak jelas. Laras memejamkan matanya, mengusap pada sudut matanya yang tak bisa disembunyikan dari air mata, mendengar suara Hargo beradu dengan tangis Adiknya dibalik pintu yang baru saja terbanting. Semua paham, itu terjadi hanya karena ia terlalu sayang pada Adiknya, hanya ia keluarga satu-satunya yang ia kenal dalam dunia. Tapi, selalu ada yang menggunjing, selalu ada yang tak acuh, selalu ada yang sewot. Dan, selalu, ada yang jatuh dari kelopak mata seorang wanita: Laras.

*)Alief Mahmudi. Tinggal di Sanggar Kutub.

Direktur Produksi Penerbit IDEKATA Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun