Buku dengan judul "Ketika Sejarah Berseragam" karya Katherine E. McGregor merupakan sebuah buku yang menceritakan tentang Kemiliteran Indonesia di masa Orde baru. Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2007 oleh National University of Singapore Press (NUS Press) dengan versi berbahasa Inggris. Kemudian diterbitkan kembali dalam versi Bahasa Indonesia tahun 2008 oleh penerbit Syarikat di Yogyakarta. Buku ini terdiri dari 6 bagian dengan total xxvi dan 459 halaman.Â
Pada masa pemerintahan Soeharto atau yang sering kita kenal dengan masa Orde Baru sekitar tahun 1966-1998, pilar politik atau kemiliteran menjadi sebuah kekuasaan yang dominan dalam pemerintahan. Banyak pejabat negara atau pemerintahan yang diangkat sendiri oleh Soeharto semata -- mata hanya untuk kepentingan politik nya saja. Adanya Representasi militer di masa lampau penting untuk dikaji lebih dalam karena militer menempati posisi yang tinggi dalam masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh peran ganda petinggi dalam bidang pertahanan dan bidang sosio-politik.
Politik di masa Orde Baru menjadi peranan penting terutama pada kekuasaan pemerintahan. Salah satu tokoh yang di ceritakan di dalam buku ini adalah Nugroho Susanto. Nugroho sendiri merupakan seorang ahli sejarah di masa Orde Baru dan menjadi pejuang kemerdekaan tahun 1945-1949. Nugroho sendiri sudah memiliki kecintaan di dunia kemiliteran dan menjadi orang yang bertanggung jawab atas militerisasi sejarah resmi Indonesia di masa Orde Baru. Kajian di dunia militer kebanyakan mengkaji tentang militer Indonesia yang memusatkan perhatian nya terutama pada peran ganda militer yang menggabungkan peran politik dan peran pertahanan. Sementara itu, militer Indonesia masa Orde Baru sering digambarkan sebagai pihak yang tidak kenal kompromi dan memaksakan kehendak mereka pada warga negara melalui kekerasan.
Selanjutnya saya akan langsung masuk dalam pembahasan di Bab 1 buku "Ketika Sejarah Berseragam". Di bab 1 ini akan membahas mengenai Sejarah dalam Pengabdian kepada Rezim yang Otoriter. Â Sepanjang Rezim Orde Baru, sejarah digunakan untuk membela peran politik di ranah politik dan untuk memajukan nasionalisme dan keselarasan. Rezim Orde Baru sering digambarkan sebagai rezim yang otoriter. Dalam bidang ideologi dan dengan bidang sejarah resmi, gambaran ini memang benar, namun komposisi kekuasaan sepanjang seluruh rezim ini antara Soeharto dan militer tidak konstan.
Satu contoh yang dapat diberikan pada buku ini mengenai peran militer baik sebagai diktrator maupun sebagai pelindung sejarah resmi adalah pengangkatan Nugroho Notosusanto sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI oleh presiden Soeharto untuk mengawasi representasi masa lalu nasional di dalam Museum Sejarah Monumen Nasional yang terletak di lantai dasar Monumen Nasional atau sering dikenal Monas. Dalam proses pembangunan Museum ini sebenarnya sudah diprakarsai oleh presiden Soekarno, namun baru terselesaikan ketika Presiden Soeharto diangkat menjadi presiden. Pembangunan Museum Sejarah Monumen Nasional, pada dasarnya menggambarkan tentang kemiliteran pada saat itu. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan keinginan dari Soekarno yang ingin agar pembangunan dari Museum Sejarah Monumen Nasional lebih menggambarkan tentang kondisi Indonesia selama 400 tahun silam.
Dalam periode Demokrasi Terpimpin dan Orde baru, Sejarah juga digunakan untuk memajukan keseragaman ideologis dan persamaan tentang masa lalu nasional. Perbandingan antara versi Demokrasi Terpimpin dengan rezim Orde Baru menenai masa lalu yang disajikan di Museum Sejarah Monumen Nasional menyiratkan bahwa tema di masa lalu yang gemilang tetap dipertahankan. Namun, rezim Orde Baru lebih mengarah ke suatu penekanan yang lebih besar pada tradisi Panjang pemimpin militer dan pada adanya ancaman terhadap bangsa.
Di bab II dalam buku ini membahas mengenai Nugroho Notosusanto dan Awal Mula Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata. Mungkin banyak dari kita yang belum tahu siapa sih Nugroho Notosusanto? Nugroho Notosusanto adalah seseorang propagandis yang paling penting dalam rezim Orde Baru, juga sebagai kepala Pusat Sejarah ABRI (1965-1985) dan sebagai Menteri Pendidikan. Pusat Sejarah ABRI sendiri didirikan dengan tujuan politis membela versi sejarah, namun menurut versi Peristiwa Madiun adalah pemebrontakan Komunis. Sekitar awal tahun 1960 -- an, Nugroho merupakan seorang tokoh yang cukup dikenal baik karena kegiatan nya di kemahasiswaan. Nugroho sendiri juga merupakan seorang Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan pernah menjadi ketua Senat Fakultas Sastra. Pada tahun 1964, Jenderal Nasution menunjuk Nugroho sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI dan dengan jabatan inilah Nugroho membuat proyek -- proyek sejarah penting salah satu contohnya karya nya adalah "Angkatan Darat mengenai usaha Kudeta tahun 1965".
Setelah mengenal lebih dekat denga Nugroho Notosusanto, pada bab III ini kita akan membahas mengenai Sejarah untuk Membela Rezim Orde Baru. Terjadinya aksi kudeta sekitar tahun 1965, membuat Pusat Sejarah ABRI segera bertindak dan turun langsung untuk segera menerbitkan narasi usaha kudeta versi Angkatan Darat. Hasil yang diperoleh adalah 40 Hari Kegagalan "G-30-S" yang Sebagian besar merupakan versi propaganda Angkatan Darat yang bertujuan untuk membuktikan bahwa usaha adalah persekongkolan komunis. Pusat Sejarah ABRI Â menegaskan bahwa buku 40 Hari Kegagalan "G-30-S" 1 Oktober -- 10 November telah berhasil menyakinkan masyarakat bahwa PKI adalah dalang dari aksi kudeta tersebut dan kudeta bukan peristiwa internal militer.
Memasuki bab IV, buku ini akan membahas mengenai Mengkonsolidasi Kesatuan Militer. Pada awal peiode Orde Baru, militer Indonesia sudah mengalami perpecahan di bagian internalnya. Penyebab utama terjadinya perpecahan ini adalah di awal peiode pasca-revolusi adanya konflik antara generasi KNIL dengan PETA. Pada awal Rezim Orde Baru, militer harus berhadapan dengan masalah perpecahan internal yang semakin mendesak posisi dari militer itu sendiri. Terjadinya penyerahan kekuasaan kepada generasi muda militer pada awal tahun 1970, membuat kepemimpinan militer mulai memikirkan dampak nya. Militer ingin memastikan bahwa etos yang terbentuk dalam era mereka harus diteruskan pada generasi selanjutnya. Adanya seminar yang diadakan tahun 1972 mengenai pewarisan nilai -- nilai memperkenalkan interpretasi yang baru mengenai nilai -- nilai 1945. Dalam seminar ini juga memperlihatkan perbedaan yang menonjol dengan jelas antara Demokrasi Terpimpin tentang nilai -- nilai 1945 dengan yang diusulkan pada seminar 1972 yaitu bahwa dalam seminar perjuangan bersenjata jauh lebih banyak ditekankan.
Di bagian Buku bagian Bab V Mempromosikan Militer dan DwiFungsi Kepada Masyarakat Sipil. Pertengahan tahun 1980 muncul salah satu kontroversi sejarah yang paling penting dalam masa Orde Baru. Orang yang paling beranggung jawab dalam hal ini tentu saja Nugroho Notosusanto, terlebi khusus dalam kurikulum sejarah nasional yang direvisi selama masa jabatan beliau. Dalam bab ini juga menjelaskan mengenai tentang Buku Sejarah Nasional Indonesia yang merupakan sebuah prakarsa yang timbul dari Seminar 1972 mengenai pewarisan nilai.
Sejak periode Demokrasi Terpimpin sampai awal periode Orde Baru, militer Indonesia bergerak dari satu posisi yang sangat defensif yang menghasilkan sejarah hanya untuk tujuan internal militer. Bergerak nya rezim Orde Baru, militer bergerak memperketat pengendalian nya atas sejarah resmi. Selain itu adanya seminar 1972 tentu saja memiliki tujuan yaitu menanamkan rasa hormat yang langgeng terhadap militer Indonesia, khususnya melalui konsep pewarisan nilai -- nilai 1945. Peran Nugroho disini adalah membela versi sejarah serta promosi nilai -- nilai militer yang terkait yang terdapat di dalamnya, sambal diberi penegasan bahwa sejarah harus digunakan sebagai sarana untuk memberi inspirasi kepada rakyat untuk berperan dalam hal pembangunan nasional.