Pertanyaan yang seringkali ditanyakan dan menjadi perhatian bagi banyak orang adalah apakah masih terjadi kekerasan di kampus? kekerasan di lingkungan perguruan tinggi bukan lagi sekadar isu yang tersembunyi di balik tembok kampus. Ia telah menjalar ke permukaan, menggugah kesadaran kita akan ketidakamanan yang mungkin mengintai di sekitar kita.Â
Dari kasus-kasus yang mencoreng nama baik lembaga pendidikan hingga statistik yang menggambarkan kenyataan pahit, kita menyadari bahwa kekerasan tidak mengenal batas. Namun, di balik angka dan laporan, terdapat cerita-cerita yang menggugah, panggilan untuk tindakan, dan harapan untuk perubahan.
Laporan-laporan kekerasan yang tidak bisa diabaikan dan seringkali mencuat menjadi sebuah pertanyaan publik, kekerasan seperti apa? dan mengapa kasus kekerasan pelecehan seksual terus menghantui perguruan tinggi? Pertanyaan ini mengundang kita untuk menjelajahi lapisan-lapisan kompleksitas manusia, kekuasaan, dan budaya.Â
Variabel-variabel seperti ketidakseimbangan kekuatan, budaya patriarki yang tertanam kuat, dan minimnya fasilitas pendukung menciptakan kondisi yang merangkul kekerasan seksual sebagai ancaman yang nyata. Namun, di balik kesulitan tersebut, terdapat upaya-upaya gigih untuk meredam terjadinya kasus pelecehan seksual.Â
Modus yang digunakan oleh pelaku seringkali melibatkan janji-janji atau iming-iming tertentu, di mana seorang dosen dapat menipu mahasiswanya dengan menunjukkan sosok yang penyayang untuk menutupi niat seksualnya.Â
Contoh nyata adalah kasus di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Gorontalo, di mana seorang rektor dilaporkan atas dugaan pelecehan seksual terhadap beberapa dosen dan tenaga kependidikan (Nawu, 2024). Kasus lain di Universitas Halu Oleo, Kendari, menunjukkan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi kapan saja dan di mana saja (Muhaimin, 2024).Â
Dilansir dari pasal 5 Permendikbud nomor 30 tahun 2021, Jenis-jenis kekerasan seksual di kampus meliputi kekerasan verbal, non-fisik, fisik, dan melalui teknologi (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi, 2021). Kekerasan verbal seringkali berupa penggunaan bahasa yang menyinggung, tekanan untuk melakukan aktivitas seksual, dan komentar seksual yang tidak diinginkan.Â
Kekerasan fisik bisa berupa tindakan seperti menyentuh, mencium, atau bahkan tindakan yang lebih serius seperti pemerkosaan. Kekerasan melalui teknologi termasuk penyebaran konten seksual tanpa persetujuan atau pelecehan seksual melalui media sosial.Â
Namun, apa sebenarnya yang memicu terjadinya berbagai bentuk kekerasan ini? ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban merupakan faktor signifikan, ditambah dengan faktor lingkungan seperti pencahayaan yang tidak memadai atau pengawasan di area kampus tertentu yang dapat meningkatkan risiko.Â
Tuntutan akademis yang tinggi juga dapat menimbulkan tekanan besar bagi mahasiswa, yang kadang berujung pada perilaku tidak sehat. Manipulasi dan ancaman oleh pelaku membuat korban merasa tidak berdaya dan terpaksa melakukan tindakan yang tidak diinginkan (Suyanto, 2021).Â