Mohon tunggu...
alief firdaus
alief firdaus Mohon Tunggu... Editor - mahasiswa uin khas jember

fakultas ushuluddin adab humaniora prodi ilmu hadis angkatan2021

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aktualisasi Hadis Gender dalam Konsep Islam

29 Mei 2023   05:19 Diperbarui: 29 Mei 2023   05:22 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandangan mayoritas ulama klasik, termasuk dalam mazhab Malikiyah, adalah bahwa perempuan tidak dapat menjadi qadli atau hakim. Meskipun ada pendapat minoritas yang memperbolehkannya, pandangan mayoritas didasarkan pada beberapa argumen.

Salah satu argumen yang sering dikemukakan adalah bahwa kaum atau golongan yang dipimpin oleh perempuan tidak akan sejahtera karena dianggap bahwa pemikiran perempuan dianggap lemah. Ini mencerminkan pandangan bahwa pemimpin harus memiliki kemampuan pemikiran yang kuat dan strategis. Argumen ini juga mencerminkan pandangan bahwa perempuan lebih cocok untuk memimpin dalam urusan domestik dan keluarga, di mana mereka dianggap memiliki keahlian dan tanggung jawab yang lebih sesuai.

Selain itu, beberapa ulama juga berpendapat bahwa perempuan adalah aurat, yaitu sesuatu yang perlu dijaga dari paparan publik. Sebagai pemimpin, seseorang perlu tampil secara aktif di masyarakat, dan hal ini dianggap tidak sesuai dengan pandangan bahwa perempuan seharusnya menjaga auratnya.

Namun, penting untuk dicatat bahwa ada juga pendapat yang berbeda dalam tradisi Islam. Beberapa ulama dan cendekiawan muslim kontemporer telah mengusulkan interpretasi baru yang memungkinkan perempuan untuk berperan sebagai hakim atau qadli dalam konteks modern. Mereka berargumen bahwa dalam Islam, penting untuk mempertimbangkan prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan, dan kebutuhan masyarakat yang berkembang.

Dalam diskusi tentang peran perempuan dalam kepemimpinan, persaksian, dan imamah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pendapat mayoritas yang menolak perempuan sebagai pemimpin dan dalam hal persaksian didasarkan pada pandangan tradisional tentang peran dan kualitas perempuan. Namun, dalam konteks yang terus berkembang, ada ruang untuk penafsiran dan interpretasi yang lebih inklusif dan sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan.

Gender dapat diartikan sebagai seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari pengaruh budaya dan lingkungan tempat individu dibesarkan. Gambaran yang umumnya terbentuk adalah bahwa laki-laki digambarkan sebagai sosok yang kuat, tegar, dan perkasa, sementara perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah, rapuh, dan lembut.

Namun, pemahaman semacam ini menjadi masalah ketika digunakan sebagai dasar untuk pelecehan dan ketidakadilan. Misalnya, karena laki-laki dianggap kuat, mereka diharapkan untuk selalu menang, dan karena perempuan dianggap lemah, mereka diharapkan untuk selalu kalah. Atau karena laki-laki dianggap tegar dan perkasa, mereka dianggap pantas menjadi pemimpin, sementara perempuan dianggap rapuh dan hanya layak dipimpin. Namun, realitanya tidak selalu demikian, karena kekuatan fisik tidak selalu menentukan keunggulan intelektual, dan tidak semua orang yang tegar dan perkasa mampu menjadi pemimpin yang baik. Bahkan, sikap tegar dan perkasa seringkali digunakan secara negatif oleh beberapa pemimpin yang bersifat kejam dan otoriter.

Kesenjangan gender ini telah terbentuk di dalam masyarakat, dan salah satu penyebabnya adalah stigma agama yang mengatakan bahwa perempuan tidak memiliki otoritas penuh sejajar dengan laki-laki. Ini merupakan tantangan bagi agama dan sosial untuk mempertimbangkan bagaimana menjaga disiplin ilmu sosial yang inklusif yang mengakui peran universal manusia. Gender juga memiliki keterkaitan dengan ilmu-ilmu yang memiliki dimensi keagamaan.

Dalam konteks ini, perlu adanya perubahan paradigma dan upaya untuk mengatasi ketimpangan gender yang ada. Semakin banyak orang menyadari bahwa kemampuan dan potensi seseorang tidak dapat ditentukan semata-mata berdasarkan gender mereka. Penting untuk mendorong kesetaraan gender dan memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan potensi mereka tanpa adanya pembatasan berdasarkan stereotip gender yang kaku..

Dalam sejarah peradaban Islam, terutama di wilayah Arab sebelum kedatangan Islam, martabat perempuan seringkali direndahkan. Pola perkawinan, relasi antarsuku, perbudakan, senioritas laki-laki, pembunuhan perempuan, dan dendam atas pembunuhan merupakan hal-hal yang memengaruhi kehidupan perempuan pada masa itu. Sebelum Islam, karakteristik perempuan dianggap berbeda secara negatif dibandingkan dengan karakteristik yang diidealkan pada laki-laki. Sikap misoginis ini merasuki pemikiran masyarakat Muslim, baik dalam hal politik maupun ekonomi, selain perbedaan biologis yang nyata. Dalam pandangan Islam, perbedaan biologis dianggap sebagai bawaan sejak lahir, namun hal ini tidak seharusnya memengaruhi hakikat peran perempuan dalam ruang publik.

Dalam konteks ini, hadis dan Al-Quran memiliki peran penting dalam jangka panjang sebagai pijakan bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah ketidakadilan gender. Keyakinan mutlak umat Islam adalah bahwa Islam adalah agama wahyu yang telah selesai dan otentik dalam mengatasi masalah ketimpangan gender, seperti yang terdapat dalam firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat 1.

Dalam kajian islam, hadits menjadi suatu sumber yang otentik pula dalam menetapkan hukum syara' maupun dalil-dalil penguat dari Al-Qur'an yang mana bisa dijadikan sebagai penyeimbang dan penguat suatu permasalahan yang menjadi konteks persoalan. 

Adapun hadits yang membahas tentang gender ada pengklasifikasian khusus tentang stigma-stigma perempuan dalam beberapa hal diantaranya yaitu: Artinya "Menceritakan kepada kami muhammad bin mutsanna menceritakan kepada kami khalid bin harist menceritakan kepada kami humaid at tawil dari Hasan dari Abi Bakrah berkata: Allah telah memberiku manfaat dengan kalimat yang aku dengar dari Rasulullah saw. pada perang jamal setelah saya hampir ikut serta dalam perang jamal lalu berperang bersama mereka. Abi Bakrah berkata "ketika sampai berita kepada Rasululah saw bahwa penduduk Persia telah mengangkat bintu Kisra sebagai ratu. Rasulullah berkata: tidak akan sukses suatu kaum jika mereka dipimpin oleh seorang wanita.

Dalam konteks hadits yang Anda sebutkan mengenai pernyataan Nabi bahwa "Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita," terdapat diskusi yang panjang dalam dunia ilmu hadis dan fikih mengenai makna hadits tersebut. 

Para ahli hadis umumnya telah menyepakati keaslian hadits tersebut, salah satunya berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Imam Al-Bukhari. Imam At-Tirmidzi juga menyebutkan bahwa hadits tersebut memiliki tingkat kehasanan dan kesahihan yang baik. Alasan di balik dituturkannya hadits ini oleh Abu Bakrah adalah karena terjadi konflik politik yang memanas antara Sayyidah Aisyah dan Sayyidina Ali bin Abu Thalib, yang kemudian memicu Perang Jamal pada tahun 36 H. Posisi politik Abu Bakrah sendiri diketahui tidak berpihak pada Sayyidah Aisyah, dan sikapnya didasarkan pada pernyataan Nabi yang disebutkan di atas.

Pengajar hadis menjelaskan konteks peristiwa yang menyebabkan Nabi mengucapkan pernyataan tersebut. Kisahnya adalah bahwa dalam salah satu bagian wilayah Persia, terjadi pembunuhan raja yang dilakukan oleh putranya sendiri, akibat dari konflik internal di kerajaan. Intrik dan kekacauan melanda kerajaan, dan akhirnya diputuskan untuk mengangkat seorang putri Kisra sebagai raja. Sayangnya, putri Kisra ini tidak berhasil memimpin kerajaan dengan baik. 

Banyak penjelasan mengenai penyebabnya, termasuk disebutkan bahwa kemunduran kerajaan tersebut disebabkan oleh Kisra yang merobek surat dakwah dari Nabi, dan akhirnya mengalami kekacauan dalam istana. Sehingga terjadilah 'kutukan' terhadap putri tersebut, dan doa Nabi mengenai kemunduran kerajaan itu pun terkabul. Ini merupakan penjelasan yang ditemukan dalam karya Irsyadus Sari Syarh Shahih Al-Bukhari oleh Imam Al-Qasthalani dan Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi oleh Imam Al-Mubarakfuri.

Dalam diskusi dalam konteks syariat, Syekh Muhammad Al-Aini dalam karya Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari mengutip pendapat mayoritas ulama mengenai pemahaman hadits tersebut: bahwa perempuan tidak dapat menjadi qadli atau hakim, meskipun ada pendapat minoritas dalam Mazhab Maliki yang memperbolehkannya. 

Pendapat serupa juga dapat ditemukan dalam syarah Shahih Al-Bukhari lainnya, seperti Irsyadus Sari karya Imam Al-Qasthalani dan Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani. Tidak hanya dalam hal menjadi qadli, tetapi juga dalam hal kesaksian dan kepemimpinan, perempuan dilarang. Mengapa mayoritas ulama memiliki pendapat demikian? Salah satu argumen yang disampaikan oleh Imam Al-Munawi dalam Faidhul Qadir mengenai hadits

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun