“Hati-hati kalau memasuki Poso,” sebuah sms masuk ke hp jadul saya. Kekhawatiran dari adik saya yang di Jakarta. Namun dari informasi keadaannya sudah aman. Terlebih saya tak akan memasuki kota Poso, karena 3 km sebelum masuk ke kota yang sering diberitakan banyak kerusuhan itu, saya berbelok memasuki ke arah Tentena menuju Danau Poso.
Awalnya saya agak kecewa setiba di Tentena. Kok, danau Poso hanya sebegini? Di pinggir danau penuh warung. Padahal saya ingin berkemah lagi seperti di Danau Tondano. Rasanya tak ada bagian yang indah di danau ini. Selain ada sebuah perahu yang tertambat, juga ada keramba-keramba untuk ternak ikan. Hanya paling menarik ada jembatan yang terbuat dari kayu yang diberi atap. Jembatan ini, merupakan jembatan lama yang kini jadi ciri khas Kota Tentena.
Padahal untuk mencapai kota ini, butuh perjuangan yang melelahkan. Tanjakan mulai dari Kecamatan Pandiri dengan rute jalan mengikuti lekuk pegunungan. Paling mengesalkan, ketika jalan terasa menurun tapi masih tetap digowes, hingga saya memeriksa kedua roda ban sepeda. Seperti ban terjepit rem. Ternyata ketika menengok ke belakang jalan memang menanjak.
Menuju ke Tentena, berarti saya mulai memasuki jantung pulau Celebes. Suasana rimba makin terasa. Lembah yang dalam dipenuhi pepohonan yang tinggi menjulang. Terdengar suara gemuruh air dari arah bawah ditingkahi suara burung entah jenis apa.
Tiba di Tentena menjelang jam 5 sore. Kali ini, saya tak memilih istirahat di masjid, namun sebuah Guest House sederhana bertarip Rp 50 ribu. Meski di sini, ada masjid cukup besar. Letaknya tak sepelemparan batu dengan sebuah gereja. Namun saya ingin benar-benar istirahat. Tanpa berbincang setelah salat Isya, yang terkadang sampai larut malam.
Duh, ketika mengambil uang lewat ATM, di sebuah bank ternyata tak ke luar. Padahal perbekalan sudah menipis. Gawatnya, kalau mau mengurus error ini, menunggu dua hari sampai Senin. Saya putuskan besok, tetap melanjutkan perjalanan menyusuri danau Poso.
Namun, saya menjumpai hal yang tak terduga. Ada perkampungan masyarakat Bali yang bertransmigrasi sejak tahun 1978. Salah satunya Gusti Ngurah Gurem, yang berasal dari Tabanan Bali. Ia dan anak gadisnya sedang mempersiapkan sebuah upacara di sawah miliknya.