Mohon tunggu...
Alief El_Ichwan
Alief El_Ichwan Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis

mantan wartawanI Penulis LepasI Menulis artikel-cerpen-puisi-perjalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dimangsa Jabatan: Ibarat Menunggangi Harimau

5 Mei 2017   07:59 Diperbarui: 5 Mei 2017   09:02 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Para pemimpin legendaris, sering digambarkan figurnya sedang menunggang kuda. Ada Pangeran Diponegoro. Dengan gagah pahlawan nasional ini, digambarkan sedang menunggang kuda. Begitu Jendral Sudirman; yang menunggang kuda. Meski tubuhnya ringkih akibat didera sakit par-paru, namun nampak gagah saat naik kuda. Sedangkan tokoh dunia, ambil saja Alexander Zulkarnaen atau Iskandar Zulkarnaen.

Diasumsikan bahwa menunggang kuda terlihat gagah, maka ada seorang ulama yang gehgeran menunggang kuda ketika aksi demo. Barangkali dia ingin menunjukkan, bahwa dia juga punya hobi menunggang kuda. Atau dia tak mau kalah dengan Pak De Jokowi yang menunggang kuda bersama Prabowo.

Kuda sebagai binatang tunggangan, membuat figure penunggangnya memiliki kharisma.  Tapi apabila tunggangannya itu, berupa binatang “maung” atau harimau, rasanya belum pernah ada. Kalaupun ada yang menungang binatang buas, paling anak sunat menunggang “sisingaan”. Konon, kesenian khas dari Subang ini,  untuk menyindir pihak penjajah yang memiliki lambang singa.

Akan tetapi ada ungkapan, bahwa gambaran pemimpin di Indonesia sekarang, ibarat seorang sedang nunggang maung (mengendarai harimau). Jika dia turun dari punggung binatang yang ditungganginya, maka dia akan dimangsa. Dengan kata lain, dia dimakan oleh “kekuasaan”-nya.

Bukan hanya satu atau dua orang kejadian: dimangsa jabatannya sendiri. Entah setelah lengser, maupun sedang menunggangi jabatannya. Tidak sedikit pemimpin yang dulu berkuasa seperti menunggangi harimau. Setelah lengser menjadi penghuni “perut kekuasaan”. Tidak pula sedikit pemimpin yang dulu berkuasa, menjadi penghuni bui akibat korupsi atau menyalahgunakan kekuasaan.

Keadaan ini, akibat ketika dia menunggang “pelana kekuasaan” , segala langkah dan kebijakannnya ibarat ungkapan “mulutmu adalah harimaumu”. Maka jika kebijakan dan langkahnya salah, kemudian hari akan menerkam dan memangsanya. Sehingga dengan begitu, dia perlu terus untuk menunggang “pelana” kekuasaan.

Jadi, benarkah ada sinyalemen bahwa pemimpin atau yang berkuasa kebanyakan tak mau lengser? Akan tetapi, dia terus berusaha untuk melanggengkan kekuasaannya. Alasannya, apabila dia lengser dan tak memiliki kekuasaan atau jabatan, maka dia akan dimangsa oleh kekuasaan yang pernah ditungganginya.

Fenomena ini, dapat kita lihat dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Tidak sedikit yang awalnya walikota, jauh-jauh hari mencalonkan diri menjadi gubernur. Tidak sedikit pula, yang awalnya Bupati ingin menjadi Gubernur. Bahkan tak sedikit awalnya wakil Gubernur ingin menjadi Gubernur. Atau awalnya wakil walikota mencalonkan menjadi walikota.

Alih-alihnya, peningkatan kerier, katanya. Toh, apa salahnya? Barangkali terinspirasi kemenangan Jokowi-Ahok. Yang awalnya menjadi kepala daerah di masing-masing wilayahnya, kini menjadi Gubernur DKI Jakarta. Terlebih, ketika Jokowi menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia. Bagaimana pun, ini suatu prestise. Sebuah kebanggaan! Sehingga tak heran, banyak yang ingin naik jabatan dengan cara diam-diam menggunting dalam lipatan.

Akibatnya, tak sedikit kepala daerah dari tingkatan walikota atau bupati, ingin naik merasakan menunggang “pelana” Gubernur. Meski setelah masa reformasi, jabatan gubernur “kurang diambeuan”  (kurang dihargai) oleh tingkat jabatan dibawahnya. Setelah adanya Pilkada secara langsung pemilihnya masyarakat, walikota dan bupati yang notabene di bawah gubernur seringkali membangkang. Terkadang sering terjadi friksi diantara mereka, karena kebijakan yang saling bertolak belakang.

Bagaimanapun pemimpin yang baik, bukan “menjual dirinya” untuk dipilih menjadi pemimpin. Tapi pemimpin yang baik akan dicari bahkan “dibeli” untuk menjadi pemimpin. Masyarakat akan berbondong-bondong memberikan dukungan. Semisal dengan menyumbangkan dana. Pemimpin seperti ini, akan amanah ketika menaiki “pelana kekuasaan”. Dia tak akan takut kelak dimangsa oleh kekuasaannya saat lengser atau kalah. Pemimpin yang baik, dia akan dikenang sampai kapan pun. Bahkan ribuan karangan bunga dikirim sebagai tanda masih cinta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun