Mohon tunggu...
Alief El_Ichwan
Alief El_Ichwan Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis

mantan wartawanI Penulis LepasI Menulis artikel-cerpen-puisi-perjalan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bersepeda Trans Celebes (1)

4 Juni 2014   09:06 Diperbarui: 30 Maret 2017   16:00 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Usai merakit sepeda, mengemas pannier dan pernak-pernik sepeda lainnya di samping bandara Sam Ratulangi, Manado (Selasa,15/4) hujan turun cukup deras. Suasana ini, mengingatkan pada banjir bandang di Ibu Kota Sulawesi beberapa waktu lalu. Hampir bersamaan dengan bencana itu, saya merencanakan jejalah pulau yang mirip huruf “K” dengan awal start dari kota ini.
Hari pertama, saya direncanakan tak langsung gowes. Harus ada pemulihan dulu. Perjalanan Bandung ke Manado melalui Surabaya, karena tak ada penerbangan langsung dari kota Kembang ke kota berjuluk Tinutuan, yang dikenal nona-nona cantik berkulit putih ini, cukup menyita waktu. Tapi harus destinasi ke mana?
Agak sedikit bingung.Tak ada bayangan secuil pun, tetang kota Manado. Sedang letak bandara pun di pinggiran luar kota Manado. Saat hujan mulai reda, saya mulai mengayuh ke luar bandara. Namun hujan kembali membesar. Selintasan saya melihat kantor Polsek di sebelah kanan. Sepeda segera saya arahkan ke sana. Tak ada pilihan lain untuk istirahat di sini, sebelum besok melalui gowes. Dua orang petugas, mengizinkan untuk istirahat di sana.
Namun, tidur tak begitu panjang terlelap. Selalu terjaga dengan suara HT (Handly Talky) di dekat pembaringan pada sebuah dipan tanpa alas apapun. Terakhir terbangun mendengar suara hujan di atap kantor Polisi yang terbuat dari seng. Jam digital di HP menunjukan hampir jam empat.
“Yah, awal perjalanan yang kurang mulus,” kata saya membatin, namun siatuasi apapun harus segera berkemas. Hari pertama, memulai perjalanan ke arah Tomohon dengan tujuan ke danau Tondano.
Meski masih rintik hujan, saya segera pamitan. Masih pagi dengan suasana basah  terasa sepi. Namun suasana merayakan hari Paskah nampak terasa dimana-mana. Mengingatkan pada perayaan akan lebaran di masyarakat mayoritas muslim.
Terdengar suara mendecit  berulang-ulang dari arah ban depan. Rupanya saat perakitan, rem kurang senter. Saya perbaiki dulu di sebuah warung yang tutup. Pengetahuan membengkel memang sangat diperlukan saat turing bersepeda sendirian.
Duh, enaknya kalau ada warung makan. Perut sudah terasa lapar. Setidaknya mendapatkan nasi kuning seperti banyak di jual di pinggir jalan di kota Bandung. Semalam hanya makan nasi bungkus yang dibekali Cak Adhi, goweser dari Surabaya yang mengantar kepergian saya untuk jelajah Celebes.
Saya mulai menyusuri jalan trans Sulawesi. Kendaraan cukup ramai. Kembali hujan turun agak lebat. Saya menepi ke arah warung di seberang jalan. Beruntung disini, bisa membuatkan mie rebus ditambah telur.
Sambil menikmati sarapan pagi, saya melihat arah jalan yang akan ditempuh. Jalan memanjang membelah bukit. Agaknya jalan belum lama diperlebar. Terlihat menurun lalu melambung naik.
Sementara sebagai kompas arah tujuan, hanya berbekal GPS (Gerakan Bertanya Saja). Juga tak dilengkapi alat penunjuk kecepatan dan jarak. Saya Cuma membawa hp jadul tak bisa mengkases segala fitur gadget yang ada sekarang.
Mengingat ini, saya cuma senyum-senyum. Paling penting banyak bertanya agar tak sesat di jalan. Dengan cara ini, sering menemukan hal tak terduga ketimbang berbekal alat canggih.
Seperti saat menuju arah ke Tomohon, mendadak ada petunjuk makam Tuanku Imam Bonjol. Saya segera tergelitik untuk mengunjunginya. Bahwa saya baru mengetahui, jika pahlawan dari ranah Minang itu di makamkan jauh di luar tanah kelahirannya.
Arah ke makam Imam Bonjol agak menanjak. Namun tak begitu jauh, hanya berjarak 300 m dari arah jalan trans Sulawesi. Tepatnya di desa Lotta kecamatan Peneleng Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Di depan sebuah masjid, ada bangunan “rumah Gadang”.
Namun tak banyak yang digali dari keberadaan makam pahlawan ini. Tak ada yang bisa ditanyai seperti penunggu makam atau semacam kuncen. Hanya dari ibu sang pemilik warung, masyarakat di sekitar makam beragama Islam.

Perjalanan menuju ke kota Tomohon dengan interval turun naik. Sempat memasuki terowongan pendek. Terlihat sebuah patung Yesus Kristus yang cukup besar. Ketika memasuki pusat kota, jalan agak kecil menanjak  berkelok-kelok dan menanjak.
Ada yang khas pada angkutan kota di sini. Mereka memasang laoud speker dengan membunyikan musik keras-keras. Lagu yang diputar berupa dangdut mix dengan nada yang monoton dan menghentak-hentak.
Menggowes di tanjakan menuju ke Tomohon ini, teringat pada pembicaraan saat menunggu hujan reda di Bandara. Ada yang berkomentar: bersepeda dengan membawa beban seperti yang saya jalani tak akan bisa dilakukan. Saya hanya tersenyum. Mungkin melihat pisik saya yang kecil.
Sementara itu, perjalanan awal gowes di Celebes juga agak terganggu dengan hujan yang silih berganti beberapa kali. Sesekali istirahat sambil menunggu hujan agak reda, namun saya anggap sebagai jeda untuk memulihkan tenaga. Sempat pula makan siang saat menunggu hujan reda.
Tiba di jalan arah yang menuju ke danau Tondano, hujan tak turun lagi. Nampak terhampar kawasan yang datar dan luas. Sebagian berupa hamparan sawah. Paling menarik, cukup banyak sapi yang merumput. Berpadu dengan burung burung-burung kuntul yang ada di dekatnya. Sesekali ada burung yang berbulu putih dan berleher panjang itu, ada yang terbang. Sebuah lanskap alam yang eksotis.
Tiba di tepi danau Tondano hari menjelang sore. Sepeda yang saya gowes melaju di jalan di pinggir danau dengan perlahan. Sedang kerimbunan pohon kiri dan kanan jalan membuat udara terasa sejuk. Di tepian terlihat jajaran rumah dibangun di atas permukaan air danau.
Ketika di tepian ada ada pelataran yang datar, saya segera menghentikan kayuhan. Pas untuk bermalam dengan mendirikan tenda, pikir saya. Terlebih ada akses ke danau berupa bebatuan. Dan, kehadiran saya disana, langsung dikerubuti sejumlah anak-anak. Awalnya, mereka mengira saya turis bule.
Mereka banyak bertanya: asal-usul saya dari mana? Mau kemana? Di sepeda bawa apa saja? Sampai merk dan harga sepeda yang saya miliki? Duh, gaya dengan khas Sulawesi yang cepat, kurang bisa saya tangkap. Terlebih banyak kosa kata daerah yang tak dipahami.
Anak-anak ini, mereka juga begitu antusias ketika saya mulai menggelat tenda. Mata mereka nampak takjub begitu mudahnya membuat tenda. Begitu pula pada lampu tenda yang saya bawa. Serta peralatan berkemah lainnya seperti kompor berbahan spirtus. Saya sempat memperagakannya dengan menjerang air di teko kecil untuk membuat teh manis. Cetusan “weey” berupa kekaguman ke luar berkali-kali dari mulut mereka.
Namun saya juga kagum pada mereka. Begitu tangkas mereka berenang di danau Tondano. Tanpa takut dan khawatir tenggelam. Bahkan ketika ada wisatawan lokal yang tertarik dengan aktifitas saya, lalu mereka melemparkan uang koin ke arah danau. Anak-anak segera berebutan menyelam. Tak lama seorang anak muncul dengan koin sudah di tangan.
Menjelang malam, sempat memasak mie dengan telur. Suasana terasa lenggang. Hanya kecipak air yang memukul-mukul ditepian. Nun diseberang danau, terlihat lampu-lampu rumah yang ada di tepian danau Tondano. Namun udara biasa saja, tak dingin seperti di Ranca Upas dan Cikole Lembang. Udaranya mengingatkan saat berkemah di waduk Jatiluhur
Rupanya bulan masih sedang purnama. Meski awalnya ditingkap awan hitam, namun perlahan terbentuk sempurna tanpa sungkan. Cahayanya membias di permukaan air danau. Arahnya dari sebelah kiri tenda yang menghadap danau. Suasana yang cukup memakau.
Saya teringat pada rekan-rekan goweser di Bandung yang suka bike camping. Jika saja danau Tondano ini bisa dipindahkan, pasti akan dijadikan tempat tamasya sambil bersepeda dan kemping, memasak, membuat api unggun dan berbincang segala sambil diselingi gelak tanwa.
Namun saya disini sendirian. Saya segera menelusup ke dalam sleeping bag. Saya biarkan penutup depan tenda terbuka setengahnya. Toh, udara tak begitu dingin. Hingga cahaya bulan menerobos  kelambu mengucapkan salam pada cahaya lampu tenda di dalam. “Selamat datang di Sulawesi....”
***
Semalam beberapa kali terbangun. Hujan turun dan pohon --yang entah pohon apa namanya tepat berada di atas tenda, menjatuhkan buah sebesar kelereng. Dan, menjelang pagi burung-burung terdengar riang berceloteh.
Sambil mengeringkan tenda yang basah, saya memasak air untuk menyeduh teh celup. Airnya dari bidon dari sisa semalam. Saat hendak memasak mie instan, agak ragu menggunakan air danau. Subuh tadi, saya baru BAB. Meski bekas tak nampak dibuyarkan ombak danau. Akhirnya, saya hanya merebus telur. Dan, hari ini memulai gowes tanpa mandi pagi. Sungguh saya iri pada anak-anak di pinggiran danau Tondano ini. Mereka berenang tanpa mengenal rasa takut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun