Mengkeramatkan hutan sebagai salah satu kearifan lokal, tak bisa berangsung apabila tak ada pemangku adatnya. Keadaan ini, dapat dilihat di kawasan hutan  yang telah berisiaancang, Kabupaten Garut. Bagi masyarakat Sunda, leuweung Sancang punya kaitan erat dengan Prabu Siliwangi, sebagai karuhunnya.
Meski ada sejumlah kuncen, namun mereka lebih mengedepankan nilai komersil lueweung Sancang, ketimbang memelihara keberadaan lingkungannya. Keadaan ini terlihat dari: nyaris habisnya pepohonan dari penjarahan saat era reformasi. Ketika saya memasuki kawasan ini, lewat Sancang 12, pepohonan yang besar nyaris tak nampak lagi. Sebagian telah berubah menjadi ladang berbagai komiditas pertanian.
Pemahaman hutan, bukan hanya area berbagai tanaman dan binatang. Namun hutan juga menyimpan 10 kali konsumsi energi dunia. Kawasan hutan di Indonesia banyak menyimpan energy terbarukan. Yaitu energi listrik sebesar 28.617 mega watt.
Energi listrik dari panas bumi yang berada di hutan ini, berada di 199 titik. Yaitu 48 titik di hutan konservasi, 56 titik di hutan lindung, 50 titik di hutan produksi, 45 titik di area pegunungan lainnya.
Sementara itu, lokasi penyimpanan panas bumi untuk energi listrik berada di Batang Gadis, Kerinci, Sablat (Sumatera), Gn. Talaga Bodas, Gn. Kamojang (Garut), Gn. Halimun-Salak (Bogor) dan Gn. Rinjani (Lombok).
Bahwa masyarakat tradisional lebih arif memperlakukan hutan, disadari pemerintah sekarang ini. Presiden Jokowi telah memberikan SK Pengakuan Hutan Adat seluas 13.122,3 hektar dari 12,7 juta hektar. Bagaimana pun, masyarakat adat lebih memahami pengelolaan hutan. Keadaan ini, seiring dengan pencangan Hari Hutan Internasional (HHI) pada tanggal 21 Maret melalui resulusi PBB nomor 67/200 tahun 2012. Sedangkan di Indonesia diinisiasi sejak tahun 2014.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H